Sosok

Intan Andaru, Dokter Sekaligus Penulis Novel

Mengenakan sandal jepit, kaus, celana jeans dan topi, Intan Andaru berkeliling Asmat, mencari warga yang membutuhkan bantuan kesehatan

Penulis: Delya Octovie | Editor: Cak Sur
ist
Intan Andaru saat berfoto bersama warga Suku Asmat 

Di sana, ia memulai komunitas RAK KACA (Gerakan Suka Membaca), sekaligus mendirikan perpustakaan umum.

"Bertugas di daerah membuat saya ingin mengangkat kisah-kisah sosial di sana, cerita-cerita yang mungkin belum didengar orang. Penulis itu kan berproses ya, saya tidak ingin karya saya begitu-begitu saja. Saya ingin pembaca tidak hanya terhibur, tetapi juga mendapat informasi penting dengan membaca karya saya," terangnya.

Menyebrang Genre

Tulisan pertama Intan yang ia publikasikan sendiri, memang telah mengangkat permasalahan yang cukup kompleks di masyarakat, yakni soal penerimaan terhadap pengidap HIV/AIDS.

Buku kumpulan cerpen tersebut diberi judul 'Saat Waktu Berkejaran', yang ia luncurkan tak lama usai kelulusannya, yakni pada tahun 2013.

Tetapi, pada perjalanannya, peserta Residensi Penulis ASEAN-Jepang dan pembicara di ASEAN literary Festival 2017 ini menelurkan tulisan berupa novel, mini novel, sampai antologi cerpen, yang semuanya bergenre roman.

Di antaranya adalah Teman Hidup (2017), Namamu dalam Doaku (2015) dan Jatuh di Hatimu (2014).

"Kemudian, saya mendapat banyak masukan dari teman-teman, bagaimana kalau menulis tidak hanya tentang cinta saja, tetapi yang lebih berdampak pada masyarakat? Tulisan saya yang cinta-cintaan ini kan lebih pada tujuan menghibur, kenapa tidak mengangkat tujuan yang lebih besar?" paparnya.

Intan pun seakan kembali pada runtutan pengerjaan novel seperti buku pertamanya.

Cerita-cerita di buku pertamanya, ia dapatkan dari kisah para pasiennya selama Co-Ass di RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

Ia mengaku tak tahu mengapa, selama itu banyak pasien pengidap HIV/AIDS yang bertemu dengannya.

"Mau tak mau sebagai seorang dokter, pasti saya menanyakan hal-hal pada pasien saya, yang berkaitan dengan penyakitnya. Akhirnya muncul cerita-cerita menarik di sana," ucapnya.

Lewat cerita-cerita pasiennya, Intan menyadari bahwa sebenarnya penyakit yang mereka derita tak separah itu.

Yang memperparah sesungguhnya adalah stigma negatif yang disematkan masyarakat pada mereka.

Alumnus SMAN 1 Genteng ini mengungkap sebuah kisah yang membekas di antara kisah-kisah lainnya.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved