Reuni Akbar Alumni 212
Reuni Akbar Alumni 212 - Jika Prabowo Datang Jadi Tamu Kehormatan, PA 212 Sarankan Jokowi Tak Hadir
Panitia Reuni Akbar Alumni 212 mengundang secara lisan Prabowo Subianto untuk hadir di acara itu di Monas, Minggu (2/12/2018).
Diskusi di tempat lain, politisi Partai Solidaritas Indonesia ( PSI) Mohamad Guntur Romli menilai Reuni Akbar Alumni 212 bagian upaya menjadikan Indonesia seperti Suriah. Namun, upaya tersebut sampai saat ini gagal.
"Kalau saya pribadi memandang bahwa 212 dari aksi menjadi reuni ( Reuni Akbar Alumni 212) itu merupakan upaya menjadikan Indonesia sebagai Suriah, ingin menjadi Indonesia menjadikan seperti Suriah yang penuh dengan kekacauan dan pola-polanya sebenarnya sudah mereka lakukan. Cuma berhasil atau tidaknya sampai hari ini itu tidak berhasil," ujar Guntur dalam diskusi 'Reuni 212: Gerakan Moral atau Politik?' di Gado-Gado Boplo Satrio, Kuningan, Jakarta Selatan, Sabtu (1/12/2018).
Guntur Romli juga melihat pola-pola yang dilakukan sama seperti pola-pola yang dilakukan oposisi menjatuhkan Presiden Bashar Al Assad.
"Kalau di Suriah jelas agama sebagai alat politik untuk menjatuhkan Bashar Al Assad dan juga salah satu tandanya, yakni menjadikan masjid sebagai alat politik dan pengumpulan massa. Itu juga yang terjadi di Istiqlal pada tahun 2016 jadi ada pola-pola yang sama mereka lakukan," katanya.
"Di Suriah Assad disebut dengan Syiah kalau di sini isu Jokowi adalah PKI itu kan santer sekali," imbuhnya.
Lebih lanjut, aktivis Nahdlatul Ulama itu menjelaskan upaya menjadikan Indonesia sama seperti Suriah gagal.
Dia mengatakan Indonesia lebih demokratis karena Presiden Suriah Bashar Al Assad mendapatkan kekuasaan dari ayahnya.
"Bahwa isu-isu politik antara Suriah dan Indonesia itu berbeda. Bashar Al Assad itu mendapat kekuasaan dari ayahnya, kalau di sini demokratis, semua terbuka. Hanya kalau mau ganti presiden silakan nanti 2019 ada pemilu pilpres," bebernya.
Di tempat yang sama, Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) Boni Hargens menilai Reuni Akbar Alumi 212 merupakan gerakan politik oposisi.
Hal itu dapat dilihat dari sisi historis, waktu dan wacana atau narasi yang dibuat.
"Dari aspek sejarah, Gerakan 212 bermula dari kasus 'penistaan' yang dituduhkan pada Mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama alias Ahok yang pada tahun 2016 sedang berkampanye politik melawan pasangan Anies-Sandi. Ahok ketika itu adalah pasangan terkuat dalam berbagai survei independen," ujar Boni.
"Keadaan berbalik setelah Ahok menyebut ayat suci Al-Maidah. Inilah titik masuk bagi lawan politik untuk menyerang secara sistematis dan pada akhirnya Ahok kalah dalam pemilihan yang digelar awal 2017," imbuhnya.
Singkatnya, kata Boni, dari aspek historis, 212 adalah gerakan politik yang bercampur dengan gerakan moral.
Dari segi waktu, Gerakan 212 semakin aktif menjelang pemilu 2019.
"Berdasarkan apa yang kami amati, menunjukkan bahwa Komunitas 212 memang telah menjadi gerakan kampanye politik yang tidak bisa lagi dianggap sebagai perjuangan moral murni, eskalasi gerakan yang seiring dengan momen kampanye politik yang semakin mendekati waktu pemilihan 2019 mensinyalir 212 sebagai gerakan oposisi yang bertujuan meraih kekuasaan," jelasnya.