Pileg 2019

KPU Keok Lagi lawan Oesman Sapta Odang dalam Kasus Hukum

Ketua Umum Partai Hanura sekaligus Ketua Dewan Perwakilan Daerah ( DPD), Oesman Sapta Odang ( OSO) kembali menang secara hukum melawan keputusan KPU.

Editor: Iksan Fauzi
surya/fatimatuz zahro
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, dan juga Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang hadir meramaikan jalannya kampanye akbar cagub cawagub Jatim nomor urut 1 Khofifah Indar Parawansa - Emil Elestianto Dardak di GOR Bayuangga Kota Probolinggo, Sabtu (23/6/2018). 

KPU akan mengambil keputusan setelah mempelajari putusan MA dan PTUN Jakarta terkait keputusan tentang pelarangan calon DPD RI dari parpol. Nantinya, KPU tetap akan melibatkan pakar hukum tata negara. KPU tak ingin ada perdebatan lagi tentang tindak lanjut yang akan dilakukan KPU atas adanya putusan MK, MA, dan PTUN.

"Kalau kapan, secepatnya setelah salinan putusan PTUN diterima. Pokoknya secepatnya setelah salinan diterima, kami akan lakukan rapat lagi untuk membahas tindak lanjutnya," kata Ketua KPU Arief Budiman.

Para komisoner KPU telah meminta masukan kepada delapan pakar hukum tata negara dalam forum diskusi di kantor KPU RI, Jakarta. Mereka membahas tentang adanya putusan MA yang membatalkan Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 tentang larangan pengurus partai politik menjadi calon anggota DPD RI.

"Kami tanya tentang aspek dari sisi hukum. Memaknai substansi putusan, seperti apa lalu harus melihat bagaimana. Kami ingin tahu makna dari putusan hukum bagaimana menyikapi," ujar Arief.

KPU juga berencana melakukan audiensi dengan MK sebelum mengambil keputusan perihal syarat calon anggota DPD RI ini.

Menurut Arief, meskipun sebelumnya MK telah menganjurkan agar KPU untuk kembali berpegang pada peraturan tertinggi, yakni UU Pemilu nomor 7 Tahun 2017, namun KPU perlu mempertimbangkan sejumlah fakta hukum. Sementara, KPU bukan merupakan ahli hukum yang bisa memberikan pandangan mengenai fakta-fakta hukum.

Pakar hukum tata negara yang hadir dalam diskusi dengan pihak KPU di antaranya Feri Amsari, Jimmy Z Usfunan, dan Auliya Khasanofa. Sebagian besar dari pakar menyarankan KPU untuk mengikuti putusan MK yang melarang pengurus parpol menjadi calon anggota DPD.

Feri Amsari menyarankan KPU mengikuti putusan MK karena pada masa Pemilu 2009, KPU juga menghadapi persoalan yang sama. Dan saat itu, KPU memilih mengikuti putusan MK.

Selain itu, secara tingkatan tataran hukum, putusan MK lebih tinggi karena merupakan penafsiran undang-undang dan diuji lagi bertentangan-tidaknya dengan UUD 1945.

Feri mengatakan, putusan MK sudah memaknai UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Dasar putusan itulah yang kemudian digunakan oleh KPU untuk memperbarui PKPU nomor 14 tahun 2018 menjadi PKPU nomor 26 Ttahun 2018.

Jika sebuah pasal dalam Undang-Undang telah diputus melalui uji materi MK, maka dapat dikatakan bahwa pasal tersebut sesuai dengan konstitusi. Jika dalam hal ini KPU tak jalankan putusan MK, kata Feri, maka lembaga penyelenggara pemilu itu bisa disebut mengabaikan Undang-Undang Dasar 1945.

Kalau kemudian mengabaikan putusan MK, maka cenderung orang mengatakan itu sama saja mengabaikan UUD 1945," ujar dia.

Putusan MK, kata Feri, juga bersifat final dan mengikat, yang berati berkekuatan hukum tetap sejak dibacakan. Putusan MK tentang syarat pencalonan anggota DPD itu sendiri dibacakan pada tanggal 23 Juli 2018.

Artinya, sejak tanggal tersebut, putusan MK telah diberlakukan. Pun, putasan MK mengikat siapa saja tanpa terkecuali.

Feri mengakui, dalam hal syarat pencalonan anggota DPD, KPU dihadapkan pada dua putusan besar. Di satu sisi KPU harus mematuhi putusan MK, di sisi lain muncul putusan MA dan PTUN yang seolah membuka ruang bahwa anggota parpol diperkenankan mencalonkan diri sebagai anggota DPD.

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved