Pileg 2019
KPU Keok Lagi lawan Oesman Sapta Odang dalam Kasus Hukum
Ketua Umum Partai Hanura sekaligus Ketua Dewan Perwakilan Daerah ( DPD), Oesman Sapta Odang ( OSO) kembali menang secara hukum melawan keputusan KPU.
SURYA.co.id | JAKARTA - Ketua Umum Partai Hanura sekaligus Ketua Dewan Perwakilan Daerah ( DPD) RI, Oesman Sapta Odang ( OSO) kembali menang secara hukum melawan keputusan KPU.
Kemenangan OSO tersebut tentang pelarangan pengurus parpol menjadi calon anggota DPD RI atau senator.
Majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara ( PTUN) Jakarta, pada Rabu (14/11), dalam putusannya menyatakan mengabulkan permohonan gugatan OSO.
"Mengadili, mengabulkan gugatan dari Penggugat untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Edi Sapta Surheza.
Majelis dalam putusannya menyatakan membatalkan Keputusan KPU RI Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 Tentang Penetapan Daftar Calon Tetap Perseorangan Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019, tertanggal 20 September 2018.
Selain itu, majelis juga memerintahkan KPU selaku Tergugat untuk mencabut Keputusan KPU Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 tertanggal 20 September 2018 tersebut.
"Memerintahkan Tergugat untuk menerbitkan keputusan Tentang Penetapan Daftar Calon Tetap Perseorangan Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019 yang baru yang mencantumkan nama Penggugat sebagai Calon Tetap Perseorangan Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019," ujarnya.
Oesman Sapta Odang, selaku Penggugat, diwakili oleh tim kuasa. Edi Septa Surhaza bertindak sebagai hakim ketua, Susilowati Siahaan, hakim anggota I, dan Andi Muh Ali Rahman, hakim anggota II. "Iya menang tadi siang putusan. Keputusan mengabulkan gugatan untuk seluruhnya," ujar Gugum, penasihat hukum OSO.
Menurut Gugum, dengan adanya perintah dari PTUN tersebut, maka KPU selaku penyelenggara pemilu harus menerbitkan Surat Keputusan tentang Daftar calon Tetap (DCT) Anggota DPD yang baru, dengan memasukkan nama OSO. Hal itu dikarenakan nama OSO tidak ada dalam SK KPU tentang DCT Anggota DPD RI Pemilu 2019. "Kami menunggu salinan. Besok, baru ke KPU," tambahnya.
Hal senada disampaikanoleh kuasa hukum OSO lainnya, Yusril Ihza Mahendra. "Gugatan kabul seluruhnya, SK DCT KPU dinyatakan batal dan diperintahkan dicabut," kata Yusril.
Sebelum PTUN Jakarta mengabulkan gugatan ini, pada 25 Oktober 2018, Mahkamah Agung (MA) lebih dulu mengabulkan gugatan uji materi atau judicial review terhadap PKPU Nomor 26 Tahun 2018 tentang larangan pengurus partai politik menjadi calon anggota DPD RI. Uji materi tersebut yang diajukan oleh OSO.
Pengajuan itu merupakan imbas dicoretnya nama OSO dari daftar caleg DPD oleh KPU. Keputusan KPU itu diambil berdasarkan putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 yang dibacakan pada Senin (23/7/2018), yang melarang pengurus parpol menjadi calon anggota DPD atau senator.
OSO sempat menggugat pencoretan itu ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Namun, Bawaslu menolaknya dengan mengacu putusan MK.
Kasus bermula saat Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan judicial review atau uji materi Pasal 128 huruf l UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, memutuskan melarang calon DPD dari parpol. Atas hal itu, KPU membuat peraturan KPU yang melarang calon anggota DPD rangkap jabatan sebagai anggota partai politik. Lantas, KPU mencoret OSO sebagai calon anggota DPD untuk Pemilu 2019.
Minta Masukan Pakar
KPU akan mengambil keputusan setelah mempelajari putusan MA dan PTUN Jakarta terkait keputusan tentang pelarangan calon DPD RI dari parpol. Nantinya, KPU tetap akan melibatkan pakar hukum tata negara. KPU tak ingin ada perdebatan lagi tentang tindak lanjut yang akan dilakukan KPU atas adanya putusan MK, MA, dan PTUN.
"Kalau kapan, secepatnya setelah salinan putusan PTUN diterima. Pokoknya secepatnya setelah salinan diterima, kami akan lakukan rapat lagi untuk membahas tindak lanjutnya," kata Ketua KPU Arief Budiman.
Para komisoner KPU telah meminta masukan kepada delapan pakar hukum tata negara dalam forum diskusi di kantor KPU RI, Jakarta. Mereka membahas tentang adanya putusan MA yang membatalkan Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 tentang larangan pengurus partai politik menjadi calon anggota DPD RI.
"Kami tanya tentang aspek dari sisi hukum. Memaknai substansi putusan, seperti apa lalu harus melihat bagaimana. Kami ingin tahu makna dari putusan hukum bagaimana menyikapi," ujar Arief.
KPU juga berencana melakukan audiensi dengan MK sebelum mengambil keputusan perihal syarat calon anggota DPD RI ini.
Menurut Arief, meskipun sebelumnya MK telah menganjurkan agar KPU untuk kembali berpegang pada peraturan tertinggi, yakni UU Pemilu nomor 7 Tahun 2017, namun KPU perlu mempertimbangkan sejumlah fakta hukum. Sementara, KPU bukan merupakan ahli hukum yang bisa memberikan pandangan mengenai fakta-fakta hukum.
Pakar hukum tata negara yang hadir dalam diskusi dengan pihak KPU di antaranya Feri Amsari, Jimmy Z Usfunan, dan Auliya Khasanofa. Sebagian besar dari pakar menyarankan KPU untuk mengikuti putusan MK yang melarang pengurus parpol menjadi calon anggota DPD.
Feri Amsari menyarankan KPU mengikuti putusan MK karena pada masa Pemilu 2009, KPU juga menghadapi persoalan yang sama. Dan saat itu, KPU memilih mengikuti putusan MK.
Selain itu, secara tingkatan tataran hukum, putusan MK lebih tinggi karena merupakan penafsiran undang-undang dan diuji lagi bertentangan-tidaknya dengan UUD 1945.
Feri mengatakan, putusan MK sudah memaknai UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Dasar putusan itulah yang kemudian digunakan oleh KPU untuk memperbarui PKPU nomor 14 tahun 2018 menjadi PKPU nomor 26 Ttahun 2018.
Jika sebuah pasal dalam Undang-Undang telah diputus melalui uji materi MK, maka dapat dikatakan bahwa pasal tersebut sesuai dengan konstitusi. Jika dalam hal ini KPU tak jalankan putusan MK, kata Feri, maka lembaga penyelenggara pemilu itu bisa disebut mengabaikan Undang-Undang Dasar 1945.
Kalau kemudian mengabaikan putusan MK, maka cenderung orang mengatakan itu sama saja mengabaikan UUD 1945," ujar dia.
Putusan MK, kata Feri, juga bersifat final dan mengikat, yang berati berkekuatan hukum tetap sejak dibacakan. Putusan MK tentang syarat pencalonan anggota DPD itu sendiri dibacakan pada tanggal 23 Juli 2018.
Artinya, sejak tanggal tersebut, putusan MK telah diberlakukan. Pun, putasan MK mengikat siapa saja tanpa terkecuali.
Feri mengakui, dalam hal syarat pencalonan anggota DPD, KPU dihadapkan pada dua putusan besar. Di satu sisi KPU harus mematuhi putusan MK, di sisi lain muncul putusan MA dan PTUN yang seolah membuka ruang bahwa anggota parpol diperkenankan mencalonkan diri sebagai anggota DPD.