Kilas Balik

Kisah Dibalik Pemberontakan PETA di Blitar - Supriyadi Menghilang, Soekarno Dihantui Rasa Bersalah

14 Februari 1945, pasukan PETA di Blitar di bawah pimpinan Supriadi melakukan pemberontakan melawan penjajah Jepang. Ada kisah dibalik peristiwa itu

rintahani johan pradana/citizen
Monumen 7 Prajurit Peta Blitar 

SURYA.co.id - Pada 14 Februari 1945, pasukan PETA di Blitar di bawah pimpinan Supriadi melakukan sebuah pemberontakan melawan penjajah Jepang.

Shodancho Supriyadi, Shodancho Muradi, dan rekan-rekannya adalah lulusan angkatan pertama pendidikan komandan peleton PETA di Bogor.

Mereka dikembalikan ke daerah asalnya untuk bertugas di bawah Daidan (Batalyon) Blitar.

Baca: Ramai Jenderal Kardus, Reaksi Cerdas Gibran Rakabuming Malah Bikin Menantu SBY Salut

Baca: 5 Fakta Kasus SPG yang Dibakar Hidup-hidup di Hutan Blora, Kejadian 2011 Silam juga Turut Terungkap

Baca: Terungkap Kata-kata Terakhir Putri Diana Sebelum Tewas dalam Kecelakaan dengan Kekasihnya

Baca: Musisi Bebi Romeo Ungkap Kisah Seram di Rumah Ahmad Dhani, Dia Sendiri Takut Kok, Katanya

Dilansir dari Intisari, rencana pemberontakan tersebut tersulut karena para komandan muda itu tersentuh melihat penderitaan rakyat Indonesia yang diperlakukan bagaikan budak oleh tentara Jepang.

Dalam buku "Tentara Gemblengan Jepang" yang ditulis Joyce L. Lebra dan diterjemahkan Pustaka Sinar Harapan pada 1988, dibeberkan persiapan-persiapan yang dilakukan Shodancho Supriyadi dan para shodancho lain.

Tanggal 14 Februari 1945 dipilih untuk pemberontakan, karena saat itu akan ada pertemuan besar seluruh anggota dan komandan PETA di Blitar, sehingga diharapkan anggota-anggota PETA yang lain akan ikut bergabung dalam aksi perlawanan.

Tujuannya adalah untuk menguasai Kota Blitar dan mengobarkan semangat pemberontakan di daerah-daerah lain.

Walaupun rencana pemberontakan sudah dipersiapkan, akan tetapi saat itu terjadi hal yang tidak diduga.

Tiba-tiba pimpinan tentara Kekaisaran Jepang memutuskan untuk membatalkan pertemuan besar tersebut.

Selain itu, Kempetai (polisi rahasia Jepang) ternyata sudah mencium rencana aksi Supriyadi dan kawan-kawan.

Soekarno sebenarnya mengetahui rencana pemberontakan para prajurit PETA karena sewaktu berkunjung ke Blitar, ia sempat ditemui para pemimpin PETA, salah satunya adalah Supriyadi.

"Apa yang tidak diketahui orang sampai sekarang ialah bahwa Soekarno sendiri tersangkut dalam pemberontakan ini," kata Soekarno, seperti dikutip dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, halaman 231

Soekarno berusaha keras mencegah aksi pemberontakkan itu karena waktunya dianggap belum tepat dan pemberontakkan pasti bisa ditumpas militer Jepang.

"Kami sudah merencakan pemberontakan, tetapi kami ingin tahu pendapat Bung Karno sendiri," ujar Shodancho Supriyadi.

"Pertimbangkanlah masak-masak. Pertimbangkan untung dan ruginya,

"Saya minta saudara-saudara memikirkan tindakan pemberontakan tidak hanya dari satu segi." jawab Soekarno.

Supriyadi pun menimpali pendapat Soekarno dengan penuh semangat,

"Saya menjamin. Kita akan berhasil!".

Selain itu, meski Soekarno dipercaya Jepang sebagai tokoh yang bisa memimpin rakyat Indonesia, jika para pemimpin PETA ditangkap dan dijatuhi hukuman mati, ia tidak bisa melakukan pembelaan.

Karena dalam kasus yang begitu sensitif itu, Soekarno malah akan dianggap sebagai pendukung pasukan pemberontak.

Bahkan ia juga bisa dijatuhi hukuman mati sehingga cita-citanya untuk memerdekakan bangsa Indonesia akan menjadi kandas.

Tepat 14 Februari 1945 dini hari pukul 03.00 WIB, pasukan PETA pimpinan Shodancho Supriyadi menembakkan mortir ke Hotel Sakura yang menjadi kediaman para perwira militer Kekaisaran Jepang.

Markas Kempetai juga ditembaki senapan mesin.

Akan tetapi kedua bangunan tersebut sudah dikosongkan, karena pihak Jepang telah mencium rencana aksi pemberontakan PETA.

Supriyadi gagal menggerakkan satuan lain untuk memberontak dan rencana pemberontakan ini pun terbukti telah diketahui oleh pihak Jepang.

Muradi, rekan Supriyadi dalam pemberontakan itu, bersama pasukannya dihukum mati di Pantai Ancol oleh Kenpeitai (Pengadilan Militer) Tentara Kekaisaran Jepang, pada 16 Mei 1945.

Supriadi, menurut sejarah Indonesia dinyatakan hilang dalam peristiwa ini.

Muradi tetap bersama dengan pasukannya hingga saat-saat terakhir.

Mereka pada akhirnya, setelah disiksa selama penahanan oleh Kempeitai, diadili dan dihukum mati dengan cara dipenggal sesuai hukum militer Tentara Kekaisaran Jepang di Eevereld (sekarang pantai Ancol).

Soekarno sendiri sangat menyesali atas aksi pemberontakan PETA karena tidak berhasil mencegahnya. Ia juga merasa bersalah karena tidak bisa melakukan pembelaan.

"Aku terpaksa memalingkan muka. Aku tidak memiliki kekuatan. Tidak ada yang dapat kulakukan..

Dalam keadaan apapun aku tidak akan membuka rahasia ini. Aku terpaksa akan menyangkal bahwa aku tahu mengenai peristiwa ini," kata Soekarno

Perasaan bersalah itu bahkan terus menghantui Bung Karno seumur hidupnya seperti tertulis dalam buku otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Cindy Adams, Media Pressindo, 2014. (*)

Baca: Ini 5 Potret Pesona Naysilla Mirdad yang Tetap Dipuji Cantik Meski Tak Pernah Tampil

Baca: Selain Dita Soedarjo, 2 Putri Konglomerat Ini Juga Sukses Menaklukkan Hati Aktor-aktor Ternama

Baca: Sophia Latjuba Berbalas Sayang dengan Desainer Interior Kaya, Inikah Pengganti Ariel Noah?

Baca: Ria Ricis Mengaku Salah Telah Membuat Murka Warga Tulungagung Gara-gara Baliho Kiki Challenge

Sumber: Grid.ID
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved