Kilas Balik

Pengakuan Pilot Pesawat Pengebom Hiroshima saat PD II - Tak Menyesal Malah Buat Aksi Kontroversial

Kisah serangan bom atom di kota Hiroshima dan Nagasaki Jepang dalam Perang Dunia II tak lepas dari peran Brigadir Jenderal Paul Warfield Tibbets

Penulis: Putra Dewangga Candra Seta | Editor: Musahadah
Ade Sulaeman
Paul Tibbets di usia pensiun 

SURYA.co.id - Kisah serangan bom atom di kota Hiroshima dan Nagasaki Jepang dalam Perang Dunia II tak lepas dari peran Brigadir Jenderal Paul Warfield Tibbets Jr.

Ia merupakan pilot pesawat pengebom B-29 Superforttresses Enola Gay.

Sebagai pilot yang kenyang asam garam pertempuran, nama Tibbets populer sejak awal PD II.

Tapi lewat aksinya menjatuhkan bom atom di Hiroshima pada 6 Agustus 1945, nama Tibbets tak sekedar populer, tetapi makin melegenda.

Dilansir dari Intisari, Tibbets lahir pada tahun 1915 di Quincy, Ilinois, AS, dan menghabiskan masa remajanya di Miami, AS.

Tibbets sempat kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Cincinnati tapi kemudian memilih mengundurkan diri.

Pada tahun 1937, Tibbets bergabung dengan Army Air Corps dan menjadi penerbang pesawat pengebom di Eropa.

Dalam peperangan udara di Eropa, Tibbets dikenal sebagai pilot yang handal, maka militer AS kemudian memintanya untuk pulang ke AS dan bertugas sebagai test pilot pesawat pengebom terbaru AS, B-29 Superforttresses.

Pada bulan Agustus 1945, Tibbets dan timnya dipercaya oleh pemerintah AS menerbangkan B-29 Enola Gay dan melepaskan bom atom ke daratan Jepang

Saat itu Tibbets yang baru berumur 30 tahun sudah berpangkat kolonel karena pretasinya di medan tempur.

Setelah melakukan latihan dan persiapan matang, B-29 Enola Gay sukses melepaskan bom atom di Hiroshima dan mengakibatkan sekitar 70.000–146.000 orang tewas serta 100 ribu lainnya luka-luka.

Bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima merupakan bom nuklir pertama yang digunakan dalam perang.

Sementara bom atom kedua yang dijatuhkan di kota Nagasaki pada 9 Agustus 1945 juga mengibatkan bencana yang luar biasa, tapi Tibbets tidak ikut dalam misi itu.

Pasca PD II, Tibbets yang menjadi sosok perhatian dunia, menyatakan tidak menyesal atas misinya mengebom atom Hiroshima.

Ia berpendapat jatuhnya bom atom di Jepang yang kemudian menghentikan PD II telah menyelamatkan jutaan nyawa prajurit sekutu.

Tibbets juga tetap aktif sebagai anggota AU AS (USAF) dan baru pensiun pada tahun 1966 dengan pangkat Brigadir Jenderal.

Tibbets kemudian pindah ke kawasan Columbus untuk menjalankan bisnis penerbangan hingga tahun 1985.

Tapi kontroversi tentang pengeboman atom Hiroshima dan Nagasaki tetap saja mengusik ketenangan Tibbets di masa pensiunnya.

Misalnya saja, pada tahun 1976 untuk mengenang pengeboman atas Hiroshima dan Nagasaki, Tibbets kembali menerbangkan pesawat B-29 dalam sebuah acara Air Show dan memperagakan bagaimana cara bom atom dijatuhkan.

Aksi peragaan yang dimaksudkan untuk mengenang sejarah itu justru menimbulkan kritik dan kecaman peristiwa pengeboman Jepang makin gencar.

Namun, Tibbets tetap menanggapi dengan kepala dingin tanpa pernyataan penyesalan.

Untuk menghindari aksi kecaman atau sasaran demonstran lebih lanjut jika dirinya sudah meninggal, Tibbets berpesan agar makamnya dibuat tanpa identitas.

Permintaan Tibbets atas tata cara pemakamannya akhirnya dituruti.

Pada 1 November 2007, Tibbets meninggal karena serangan stroke dan gagal jantung serta juga karena usianya sudah lanjut (92).

Jenasahnya kemudian dikremasi dan abunya ditabur di laut Selat Inggris, karena disanalah tempat yang sering dilintasi Tibbets saat mengudara selama PD II

Baca: Kisah Perjalanan Tupolev Tu-16 Badger TNI AU Hingga Akhir Hayatnya, Pensiun Gara-gara Urusan Politik

Baca: Jet Tempur MiG-21 AURI, Si Pencegat yang Tak Sempat Unjuk Kehebatan Meski Daya Gertaknya Sangar

Kisah Lahirnya Pesawat B-29 Superfortress

B-29 Superfortress dalam PD II
B-29 Superfortress dalam PD II (Ade Sulaeman)

Dilansir dari Intisari, inilah sepenggal kisah B-29 Superfortress buatan Boeing, yang lahir ke dunia menjadi algojo pamungkas guna menutup lembaran kelam Perang Dunia II.

Didesain sebagai pesawat pengebom strategis, B-29 mampu terbang tinggi dan menjangkau jarak yang sangat jauh.

Pesawat berukuran tambun (panjang 30,18 meter, bentang sayap 43,06 meter) ini merupakan pengebom terbesar dan tercanggih pada eranya.

Kehadiran si Benteng Super sebagai penerus si Benteng Terbang (B-17 Flying Fortress) sekaligus membuat ciut negara lain. Kapasitas bawa bom B-29 tiga kali lipat dibanding B-17 dan jangkauan terbangnya dua kali lipat lebih jauh.

Rencana Amerika Serikat (AS) membuat “superbomber” mulai dicetuskan Januari 1940.

Awalnya Korps Udara AD AS (USAAF) yang menginginkan agar Paman Sam mempunyai pengebom raksasa untuk menyaingi lahirnya pesawat-pesawat pengebom Jerman.

Dari permintaan itu, melalui prototipe XB-29, Boeing berhasil memenangi kompetisi mengalahkan Model 33 (Consolidated), XB-30 (Lockheed), dan XB-31 (Douglas).

Hancurnya pangkalan AL AS di Pearl Harbour, 7 Desember 1941, yang sekaligus menarik keterlibatan AS dalam PD II, makin memompa semangat AS mewujudkan pengebom baru yang akan menjadi raja di udara.

Pada 21 September 1942 prototipe XB-29 pun berhasil terbang dan tak lama setelah itu sebanyak 1.664 unit pesanan langsung diteken

Produksi B-29 sendiri total mencapai 3.970 unit, sepertiga dari produksi B-17 yang 12.731 unit.

Tanggal 1 Juni 1943, Wing Pengebom Berat ke-58 didirikan AS untuk mengakomodir si Benteng Super. Wing inilah yang pertama kali memulai pelatihan pilot dan teknisi B-29 sebelum siap  operasional.

Hingga pada akhirnya dua B-29 model silverplate diikutsertakan dalam misi bom atom, Proyek Manhattan. Enola Gay dan Bockscar, nama kedua B-29, masing-masing menjatuhkan bom atom “Little Boy” di Hiroshima pada 6 Agustus 1945 dan “Fat Man” pada 9 Agustus 1945 di Nagasaki.

Pengeboman dari ketingian 31.000 kaki itu menewaskan 240.000 orang seketika. Jepang menyerah dan PD II berakhir. 

Enola Gay kini tersimpan di Smithsonian Museum, sementara Bockscar di National Museum of United States Air Force.

(Ditulis oleh Roni Sontani. Seperti pernah dimuat di Majalah Angkasa edisi Februari 2016)

Sumber: Grid.ID
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved