Kisah Perjalanan Tupolev Tu-16 Badger TNI AU Hingga Akhir Hayatnya, Pensiun Gara-gara Urusan Politik
Debut dari pesawat Tu-16 ini pun sempat mewarnai beberapa peristiwa penting di Indonesia, hingga pada akhirnya pensiun gara-gara urusan politik
Penulis: Putra Dewangga Candra Seta | Editor: Putra Dewangga Candra Seta
Ketiga pesawat kemudian kembali dengan selamat di pangkalan Madiun.
Misi berhasil dan dibutuhkan waktu delapan jam saja untuk pergi-pulang dari sasaran masing-masing.
Gara-gara ulah Tu-16 AURI pemerintah Australia panik bukan main lantaran ada pesawat pembom musuh segede gaban masuk ke wilayah udara mereka tanpa diketahui.
3. Pernah Bersiap Untuk Operasi Trikora
Saat Trikora dicetuskan, angkatan perang Indonesia sedang berada pada “puncaknya”.
Lusinan persenjataan Blok Timur dimiliki. Mendadak AURI berkembang jadi kekuatan terbesar di belahan bumi selatan.
Dalam mendukung kampanye Trikora, AURI menyiapkan satu flight Tu-16 di Morotai yang hanya memerlukan 1,5 jam penerbangan dari Madiun.
“Kita siaga 24 jam di sana,” ujar Kolonel (Pur) Sudjijantono, salah satu penerbang Tu-16.
“Sesekali terbang untuk memanaskan mesin. Tapi belum pernah membom atau kontak senjata dengan pesawat Belanda,” ceritanya kepada Angkasa.
Saat itu, dikalangan pilot Tu-16 punya semacam target favorit, yaitu kapal induk Belanda Karel Doorman.
Lain lagi kisah Idrus Abas (saat itu Sersan Udara I), operator radio sekaligus penembak ekor (tail gunner) Tu-16.
Bulan Mei 1962, saat perundingan RI-Belanda berlangsung di PBB, merupakan saat paling mendebarkan.
Awak Tu-16 disiagakan di Morotai. Dengan bekal radio transistor, mereka memonitor hasil perundingan.
Mereka diperintahkan, “Kalau perundingan gagal, langsung bom Biak,” ceritanya mengenang.
“Kita tidak tahu, apakah bisa kembali atau tidak setelah mengebom,” tambah Sjahroemsjah yang waktu itu berpangkat Sersan Udara I, rekan Idrus yang bertugas sebagai operator radio/tail gunner.
Istilahnya, one way ticket operation.
4. Akhir Perjalanan Sang Bomber
Sungguh ironis nasib akhir Tu-16 AURI. Pengadaan dan penghapusannya lebih banyak ditentukan oleh satu perkara yaitu 'politik', seperti dilansir oleh tni-au.mil.id dari majalah Angkasa.
Bayangkan, “AURI harus menghapus seluruh armada Tu-16 sebagai syarat mendapatkan F-86 Sabre dan T-33 T-bird dari Amerika,” ujar Bagio Utomo, mantan anggota Skatek 042 yang mengurusi perbaikan Tu-16.
Bagio menuturkan kesedihannya ketika terlibat dalam tim “penjagalan” Tu-16 pada tahun 1970.
Tidak dapat dipungkiri, memang, Tu-16 pembom paling maju pada zamannya. Selain dilengkapi peralatan elektronik canggih, badannya terbilang kokoh.
“Badannya tidak mempan dibelah dengan kampak paling besar sekalipun. Harus pakai las yang besar. Bahkan, untuk membongkar sambungan antara sayap dan mesinnya, laspun tak sanggup. Karena campuran magnesiumnya lebih banyak ketimbang alumunium,” ujar Bagio.
Namun konyol sekali, beberapa bagian pesawat bisa tidak cocok dengan spare pengganti. Bahkan dengan spare yang diambil secara kanibal sekalipun.
“Kita terpaksa memakai sistem kerajinan tangan, agar sama dan pas dengan kedudukannya. Seperti blister (kubah kaca-Red), mesti diamplas dulu,” kenang Bagio lagi.
Sebenarnya, persediaan suku cadang Tu-16 yang dipasok dari Rusia cukup memadai. Tapi urusan politik membelitnya sangat kuat.
Tak heran kemudian, usai pengabdiannya selama Trikora – Dwikora dan di sela-sela nasibnya yang tak menentu pasca G30S/PKI, AURI pernah bermaksud menjual armada Tu-16-nya ke Mesir. Namun hal ini tidak pernah terlaksana.
Begitulah nasib tragis Tu-16.
Farewell flight, penerbangan perpisahannya, dirayakan oleh para awak Tu-16 pada bulan Oktober 1970 menjelang HUT ABRI.
Dijejali 10 orang, Tu-16 bernomor M-1625 diterbangkan dari Madiun ke Jakarta.
“Sempat ke sasar waktu kita cari Monas,” ujar Zainal Sudarmadji. Saat mendarat lagi di Madiun, bannya meletus karena awaknya sengaja mengerem secara mendadak.
Patut diakui, keberadaan pembom strategis mampu memberikan efek psikologis bagi lawan-lawan Indonesia saat itu.
Bahkan, sampai pertengahan 80-an, Tu-16 AURI masih dianggap ancaman oleh AS.
“Lah, wong nama saya masih tercatat sebagai pilot Tu-16 di ruang operasi Subic Bay, kok,” ujar Sudjijantono, angkatan Cakra 1.