Kisah Perjalanan Tupolev Tu-16 Badger TNI AU Hingga Akhir Hayatnya, Pensiun Gara-gara Urusan Politik
Debut dari pesawat Tu-16 ini pun sempat mewarnai beberapa peristiwa penting di Indonesia, hingga pada akhirnya pensiun gara-gara urusan politik
Penulis: Putra Dewangga Candra Seta | Editor: Putra Dewangga Candra Seta
SURYA.co.id - Di tahun 1960an, bisa dikatakan era kejayaan bagi TNI Angkatan Udara (AU), yang saat itu bernama AURI.
Karena pada era tersebut, TNI AU merupakan angkatan udara yang memiliki alutsista paling canggih di jajaran negara berkembang lainnya di dunia.
Baca: Kisah Empat Marinir Indonesia Tantang Kapal Perang Malaysia, Aksi Mereka Bikin Geleng-geleng Kepala!
Baca: Ketika Pasukan Marinir TNI AL Harus Mengikuti Beratnya Latihan Perang RIMPAC Dalam Keadaan Berpuasa
Baca: Tampak Gagah, Ternyata Begini Spesifikasi Dari Pesawat C-130J Super Hercules yang Dipesan TNI AU
Pesawat-pesawat canggih buatan blok timur (terutama Uni Soviet) didatangkan untuk memperkuat sistem persenjataan TNI AU dalam mengamankan teritorial.
Kehadiran pesawat asal Uni Soviet dan sekutunya seperti MiG-21 Fishbed dan pesawat bomber strategis legendaris Tupolev Tu-16 Badger memberikan efek gentara negara lain terhadap kekuatan Indonesia.
Indonesia pun pada era itu menjadi salah satu negara dengan pasukan udara paling menakutkan.
Dilansir dari majalah angkasa edisi koleksi 2011, kala itu hanya ada tiga buah pesawat pembom yaitu, B-58 Hustler yang dioperasikan AS, V Bomber yang dioperasikan Inggris dan Tupolev Tu-16 milik Uni Soviet.
Pesawat pembom strategis Tupolev Tu-16 merupakan salah satu pesawat kombatan yang paling ditakuti di dunia.

Keberadaannya cukup menakutkan, maka negara yang memilikinya pun cukup disegani di lingkungan internasional.
Tu-16 memiliki kemampuan jelajah hingga 7.200 km dengan kecepatan jelajah yang mencapai 1.050 km per jam serta memiliki kemampuan terbang hingga pada ketinggian 12.800 km.
Kemampuan angkut muatan bomnya pun cukup menakjubkan, Tu-16 mampu membawa bom seberat 9.000 kg.
Tercatat ada 12 pesawat pembom Tupolev Tu-2, 24 Lavockhin La-11 (Russian Thunderbolt) dan 12 jet tempur MiG-17 buatan Tiongkok.
Debut dari pesawat Tu-16 ini pun sempat mewarnai beberapa peristiwa penting di Indonesia, hingga pada akhirnya pensiun gara-gara urusan politik
1. Diuber Javelin
Dilansir dari laman tni-au.mil.id yang mengutip dari majalah Angkasa, di masa Dwikora awak Tu-16 pernah merasakan ketangguhan dari Tu-16.
Ternyata, berkali-kali pesawat ini dikejar pesawat tempur Inggris akibat penyadapan percakapan AURI di Lanud Polonia Medan dari Butterworth, Penang.
“Jadi mereka tahu kalau kita akan meluncur,” ujar Marsekal Muda (Pur) Syah Alam Damanik, penerbang Tu-16 yang sering mondar-mandir di selat Malaka.

Damanik menuturkan pengalamannya di kejar Javelin pada tahun 1964. Damanik terbang dengan ko-pilot Sartomo, navigator Gani dan Ketut dalam misi kampanye Dwikora.
Pesawat diarahkan ke Kuala Lumpur atas saran Gani. Tidak lama kemudian, dua mil dari pantai, Penang (Butterworth) sudah terlihat.
Tiba-tiba salah seorang awak melaporkan bahwa dua pesawat Inggris take off dari Penang.
Damanik tahu apa yang harus dilakukan. Dia berbelok menghindar.
“Celaka, begitu belok, nggak tahunya mereka sudah di kanan-kiri sayap. Cepat sekali mereka sampai,” pikir Damanik.
Javelin-Javelin itu rupanya berusaha menggiring Tu-16 untuk mendarat ke wilayah Singapura atau Malaysia (forced down).
Dalam situasi tegang itu, “Saya perintahkan semua awak siaga. Pokoknya, begitu melihat ada semburan api dari sayap mereka (menembak-Red), kalian langsung balas,” perintahnya.
Perhitungan Damanik, paling tidak sama-sama jatuh. Anggota Wara (wanita AURI) yang ikut dalam misiseketika ketakutan dan wajah mereka pucat pasi.
Dalam keadaan serba tak menentu, Damanik berpikir cepat. Pesawat ditukikkannya untuk menghindari kejaran Javelin.
Mendadak sekali. “Tapi, Javelin-Javelin masih saja nempel. Bahkan sampai pesawat saya bergetar cukup keras, karena kecepatannya melebihi batas (di atas Mach 1).”
Dalam kondisi high speed itu, sekali lagi Damanik menunjukkan kehebatannya. Ketinggian pesawat ditambahnya secara mendadak.
Pilot Javelin yang tidak menduga manuver itu langsung kebablasan. Sambil bersembunyi di balik awan yang menggumpal, Damanik membuat heading ke Medan.
Seluruh awak bersorak kegirangan. Tapi kasihan yang di bagian ekor (tail gunner).
Mereka berteriak ternyata bukan kegirangan, tapi karena kena tekanan G yang cukup besar saat pesawat menanjak.
Akibat manuver yang begitu ketat saat kejar-kejaran, perangkat radar Tu-16 jadi ngadat.
“Mungkin saya terlalu kasar naiknya. Tapi nggak apa-apa, daripada dipaksa mendarat oleh Inggris,” ujar Damanik mengenang peristiwa itu.
Baca: Sosok Pesawat Bomber Australia yang Rencananya Digunakan Membom Jakarta Saat Ketegangan Timor Timur
2. Menyusup ke Australia dan Malaysia
Dilansir oleh Grid.id dari sumber "Bakti TNI AU 1946-2003", Pertengahan 1963, AURI mengerahkan tiga Tu-16 versi bomber (Badger A) untuk menyebarkan pamflet di daerah musuh.
Satu pesawat ke Serawak, satunya ke Sandakan dan Kinibalu, Kalimantan. Keduanya wilayah Malaysia.
Pesawat ketiga ke Australia. Khusus ke Australia, Tu-16 yang dipiloti Komodor Udara (terakhir Marsda Purn) Suwondo bukan menyebarkan pamflet. Tapi membawa peralatan militer berupa perasut, alat komunikasi dan makanan kaleng.
Skenarionya, barang-barang itu akan didrop di Alice Springs, Australia (persis di tengah benua), untuk menunjukkan bahwa AURI mampu mencapai jantung benua kangguru itu.
Maka pada hari H pukul 01.00 WIB, ketiga Tu-16 lepas landas dari markas mereka di Madiun menuju sasaran masing-masing.
Tu-16 terbang rendah untuk menghindari pantauan radar lawan.

Ketika pesawat sampai di wilayah udara Australia, Suwondo dan anak buahnya agak was-was.
Hal ini wajar karena bisa saja pesawat mereka disergap oleh pesawat pemburu RAAF macam F-86 Sabre.
Namun semuanya berjalan lancar, Tu-16 berhasil menyusup ke Australia dan menjatuhkan bawaannya yang berlabel Made In Indonesia tadi tepat di Alice Spring.
Tujuannya ialah memberikan efek psikologis bagi Australia jika berani membantu Malaysia dalam konfrontasi, maka AURI dapat segera melakukan serangan ke negeri Kangguru tersebut.
Padahal Alice Springs ditongkrongi over the horizon radar system. “Untuk memantau seluruh kawasan Asia Pasifik,” ujar Marsma (Pur) Zainal Sudarmadji, pilot Tu-16 angkatan Ciptoning II.
Sedangkan kedua Tu-16 yang terbang menyebarkan pamflet propaganda juga berhasil melaksanakan misinya walaupun sempat diuber-uber oleh pesawat tempur Inggris.
Ketiga pesawat kemudian kembali dengan selamat di pangkalan Madiun.
Misi berhasil dan dibutuhkan waktu delapan jam saja untuk pergi-pulang dari sasaran masing-masing.
Gara-gara ulah Tu-16 AURI pemerintah Australia panik bukan main lantaran ada pesawat pembom musuh segede gaban masuk ke wilayah udara mereka tanpa diketahui.
3. Pernah Bersiap Untuk Operasi Trikora
Saat Trikora dicetuskan, angkatan perang Indonesia sedang berada pada “puncaknya”.
Lusinan persenjataan Blok Timur dimiliki. Mendadak AURI berkembang jadi kekuatan terbesar di belahan bumi selatan.
Dalam mendukung kampanye Trikora, AURI menyiapkan satu flight Tu-16 di Morotai yang hanya memerlukan 1,5 jam penerbangan dari Madiun.
“Kita siaga 24 jam di sana,” ujar Kolonel (Pur) Sudjijantono, salah satu penerbang Tu-16.
“Sesekali terbang untuk memanaskan mesin. Tapi belum pernah membom atau kontak senjata dengan pesawat Belanda,” ceritanya kepada Angkasa.
Saat itu, dikalangan pilot Tu-16 punya semacam target favorit, yaitu kapal induk Belanda Karel Doorman.
Lain lagi kisah Idrus Abas (saat itu Sersan Udara I), operator radio sekaligus penembak ekor (tail gunner) Tu-16.
Bulan Mei 1962, saat perundingan RI-Belanda berlangsung di PBB, merupakan saat paling mendebarkan.
Awak Tu-16 disiagakan di Morotai. Dengan bekal radio transistor, mereka memonitor hasil perundingan.
Mereka diperintahkan, “Kalau perundingan gagal, langsung bom Biak,” ceritanya mengenang.
“Kita tidak tahu, apakah bisa kembali atau tidak setelah mengebom,” tambah Sjahroemsjah yang waktu itu berpangkat Sersan Udara I, rekan Idrus yang bertugas sebagai operator radio/tail gunner.
Istilahnya, one way ticket operation.
4. Akhir Perjalanan Sang Bomber
Sungguh ironis nasib akhir Tu-16 AURI. Pengadaan dan penghapusannya lebih banyak ditentukan oleh satu perkara yaitu 'politik', seperti dilansir oleh tni-au.mil.id dari majalah Angkasa.
Bayangkan, “AURI harus menghapus seluruh armada Tu-16 sebagai syarat mendapatkan F-86 Sabre dan T-33 T-bird dari Amerika,” ujar Bagio Utomo, mantan anggota Skatek 042 yang mengurusi perbaikan Tu-16.
Bagio menuturkan kesedihannya ketika terlibat dalam tim “penjagalan” Tu-16 pada tahun 1970.
Tidak dapat dipungkiri, memang, Tu-16 pembom paling maju pada zamannya. Selain dilengkapi peralatan elektronik canggih, badannya terbilang kokoh.
“Badannya tidak mempan dibelah dengan kampak paling besar sekalipun. Harus pakai las yang besar. Bahkan, untuk membongkar sambungan antara sayap dan mesinnya, laspun tak sanggup. Karena campuran magnesiumnya lebih banyak ketimbang alumunium,” ujar Bagio.
Namun konyol sekali, beberapa bagian pesawat bisa tidak cocok dengan spare pengganti. Bahkan dengan spare yang diambil secara kanibal sekalipun.
“Kita terpaksa memakai sistem kerajinan tangan, agar sama dan pas dengan kedudukannya. Seperti blister (kubah kaca-Red), mesti diamplas dulu,” kenang Bagio lagi.
Sebenarnya, persediaan suku cadang Tu-16 yang dipasok dari Rusia cukup memadai. Tapi urusan politik membelitnya sangat kuat.
Tak heran kemudian, usai pengabdiannya selama Trikora – Dwikora dan di sela-sela nasibnya yang tak menentu pasca G30S/PKI, AURI pernah bermaksud menjual armada Tu-16-nya ke Mesir. Namun hal ini tidak pernah terlaksana.
Begitulah nasib tragis Tu-16.
Farewell flight, penerbangan perpisahannya, dirayakan oleh para awak Tu-16 pada bulan Oktober 1970 menjelang HUT ABRI.
Dijejali 10 orang, Tu-16 bernomor M-1625 diterbangkan dari Madiun ke Jakarta.
“Sempat ke sasar waktu kita cari Monas,” ujar Zainal Sudarmadji. Saat mendarat lagi di Madiun, bannya meletus karena awaknya sengaja mengerem secara mendadak.
Patut diakui, keberadaan pembom strategis mampu memberikan efek psikologis bagi lawan-lawan Indonesia saat itu.
Bahkan, sampai pertengahan 80-an, Tu-16 AURI masih dianggap ancaman oleh AS.
“Lah, wong nama saya masih tercatat sebagai pilot Tu-16 di ruang operasi Subic Bay, kok,” ujar Sudjijantono, angkatan Cakra 1.