Berita Entertainment
10 Fakta Adik Pramoedya Ananta Toer jadi Pemulung di Usia Senja: Bergelar Doktor, Fasih 5 Bahasa
Satu fakta yang cukup mencengangkan adalah keberadaan Soesilo Toer, adik Pramoedya yang kini tinggal di Kabupaten Blora.
Singkat cerita, menempuh pendidikan di sana tidaklah mudah.
Soes diharuskan mengabdi selama dua tahun di Rusia karena tidak lulus dengan predikat cum laude.
Dia kemudian melanjutkan program pascasarjana di Institut Perekonomian Rakyat Plekhanov. Gelar PhD yang lazimnya ditempuh 2 tahun disabetnya hanya dalam tempo 1,5 tahun.
Selama 11 tahun di Rusia, Soes bekerja apa saja, mulai dari penulis, penerjemah, peneliti dan pekerja kasar. Karena latar belakang pendidikannya, Soes berpendapatan tinggi.
Dia hidup bergelimang harta di Rusia. Sepekan sekali, dia bersantap di restoran berkelas di Rusia.
Berpindah-pindah lokasi tergantung seleranya. Soes mengaku sering mentraktir teman-temannya dan menggelar pesta kecil-kecilan.
"Saya penggila buku-buku sastra Rusia. Bahkan suatu ketika dosen belum pernah baca, saya sudah khatam. Selama saya bekerja di Rusia, duit saya banyak. Seminggu sekali makan di restoran berkelas. Saat itu, biaya hidup 1 rubel sehari di Rusia. Padahal sebulan saya kantongi 400 rubel," kenangnya sambil tersenyum.
8. Pulang langsung ditangkap
Pada tahun 1973, Soes pulang ke Tanah Air.
Saat menginjakkan kaki di bandara di Jakarta, dia tiba-tiba ditangkap polisi dan dijebloskan di penjara selama 6 tahun.
Bukannya mengabdi kepada negara selama 10 tahun sesuai janji pemerintah sebelum dia pergi studi, Soes kini justru harus melewati masa suram di balik dinginnya jeruji besi.
Dia dituding antek komunis hanya karena dia lulus dari jurusan politik dan ekonomi di Rusia.
Jurusan yang ditekuni Soes disebut masuk zona merah yang membahayakan kestabilan negara.
Apalagi, dia adalah adik dari Pramoedya Ananta Toer yang lebih dulu dituding berhaluan komunis.
"Hanya saya yang ditangkap saat turun dari pesawat. Puluhan lainnya lolos karena posisi bidangnya aman. Sebut saja ilmuwan, dokter, insinyur, dan lain-lain. Apakah karena Mas Pram yang lebih dulu dituding komunis. Setahu saya, Mas Pram itu PNI, bukan PKI. Saya itu murni belajar, ingin kaya dan tidak ada intervensi dari siapa pun. Saya memahami apa itu Marxisme-Leninisme, tapi bukan berarti saya terlibat di dalamnya," ungkap Soes.
Soes masih ingat betul, beberapa saat sebelum dia kembali ke Indonesia, Kedutaan Indonesia di Moskow menggelar pengajian untuk mendoakan para korban keganasan PKI.
Soes tidak hadir kala itu karena dia merasa tak mendapatkan undangan. Namun, dia menduga, akibatnya dia dinilai terlibat PKI.
"Saya heran, kan tidak diundang jadi saya tidak tahu jika ada tahlilan. Malah dituding PKI. Saya wajib lapor di Rusia. Saya itu tidak suka politik. Saya hanya ingin belajar, kerja, dan kaya," ungkap Soes.
Tanpa pengadilan dan pembuktian atas kesalahannya, pada tahun 1978, Soes akhirnya keluar dari tahanan politik masa Orde Baru. Soes lantas menetap di Jakarta.
9. Predikat Eks Tapol
Berpredikat eks tahanan politik Orde Baru sungguh menyengsarakan Soes.
Di mana-mana dia dituding PKI, dicurigai dan diawasi.
Susah mendapat pekerjaan layak, apalagi bisa diterima dengan baik di lingkungan.
Bahkan, Soes sering dimaki-maki hingga diarak karena dituding PKI.
Beruntung saja tak sampai dianiaya hingga masuk rumah sakit.
Soes bercerita, dia terpaksa melakoni pekerjaan serabutan untuk bisa menyambung hidup, mulai dari berdagang kain hingga menulis.
Karena jasa teman baiknya, Soes sempat menjadi dosen hampir 6 tahun di salah satu universitas swasta di Jakarta. Namun, kariernya sebagai dosen ekonomi hancur setelah karibnya itu meninggal dunia.
Soes kembali merasa dipersulit mencari pekerjaan yang layak.
Tidak hanya Soes, Toer bersaudara lainnya juga terkena imbasnya. Dia memperkirakan hal itu terjadi setelah peristiwa 1965 meletus. Kakak-kakak Soes, seperti Prawito Toer dan Koesalah Soebagyo Toer, juga dituding antek PKI. Mereka sama-sama dijebloskan ke penjara.
Sementara itu, adik Soes, Soesetyo Toer, memilih kabur ke Papua dan berganti identitas, termasuk nama.
"Adik saya lari ke Papua dan namanya diganti baru supaya aman. Tapi, sampai sekarang kami tak tahu bagaimana kabarnya," tutur Soes.

10. Buat Perpustakaan
Kini, Soesilo tinggal di rumah warisan keluarga di Blora.
Meski kini rumah bersejarah berdinding kayu usang dan tembok retak itu tidak terawat, dibangun sebuah perpustakaan kecil yang diberi nama Perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa (Pataba).
Selain untuk mengenang sang kakak, perpustakaan mini itu juga diwujudkan untuk mendorong generasi muda setempat gemar membaca.
Soes sendiri mewarisi bakat kakaknya dalam menulis.
Hingga saat ini Sus sudah menerbitkan sekitar 20 buku hasil karyanya. "Katanya rumah ini mau dibangun oleh pemerintah. Tapi belum tahu kapan," kata Soes.
Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Soes memulung, juga bercocok tanam, beternak ayam dan kambing bersama istrinya. Ada sekitar 50 ekor ayam dan 16 ekor kambing.
Hewan-hewan ternaknya itu dibiarkan saja berkeliaran. Bahkan terkadang kambing dan ayam itu masuk ke dalam rumah.
Soes bergerak memunguti sampah bernilai jual mulai sehabis maghrib hingga dini hari di wilayah perkotaan Blora. Tak menentu juga durasinya, bergantung banyak tidaknya barang bekas yang menumpuk di keranjang yang ditumpang di atas jok motor bututnya.
Hasil memulungnya itu tidak hanya untuk diuangkan, tetapi juga dimanfaatkan untuk makan ternak.
Sepulang memulung, hasilnya dipilah-pilah dan ditata rapi di halaman rumah. Bagi Soes yang bergelar doktor politik dan ekonomi di Rusia, memulung sampah bukanlah pekerjaan hina.
Soes malah bangga karena selain halal, dia secara tak langsung ikut membantu membersihkan sampah kota.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Soesilo Toer Dituding PKI, Jadi Pemulung Lalu Bangun Perpustakaan untuk Sang Kakak (2)