Berita Entertainment
10 Fakta Adik Pramoedya Ananta Toer jadi Pemulung di Usia Senja: Bergelar Doktor, Fasih 5 Bahasa
Satu fakta yang cukup mencengangkan adalah keberadaan Soesilo Toer, adik Pramoedya yang kini tinggal di Kabupaten Blora.
SURYA.co.id I BLORA - Nama sastrawan Pramoedya Ananta Toer tak hanya dikenal di Indonesia, tetapi juga dunia.
Karya-karya Pram -panggilan pria kelahiran 6 Februari 1925 ini- telah diterjemahkan lebih dari 41 bahasa asing.
Pram juga satu-satunya sastrawan Indonesia yang pernah diusulkan untuk mendapat nobel sastra.
Sastrawan besar ini berpulang pada 30 April 2006 pukul 08.55 di usia 81 tahun.
Jenazah Pram dimakamkan di TPU Karet Bivak.
Kini nama Pram kembali disebut-sebut setelah sutradara Hanung Bramantyo berencana memfilmkan novel karyanya, Bumi Manusia.
Pro kontra film ini pun mencuat hingga akhirnya masyarakat terutama generasi millenial mulai mengulik sejarah dan biografi Pramoedya Ananta Toer hingga keluarganya.
Satu fakta yang cukup mencengangkan adalah keberadaan Soesilo Toer, adik Pramoedya yang kini tinggal di Kabupaten Blora.
Beginilah fakta-fakta mengejutkan dari Soesilo Toer.
1. Menjadi pemulung
Di usia menginjak 81 tahun, Soesilo masih berkutat mencari rejeki memunguti barang-barang bekas di kampungnya.
Ya, adik Pram itu telah lama menjadi pemulung.
Setiap malam sehabis maghrib hingga dini hari dia memulung di wilayah perkotaan Kabupaten Blora, Jawa Tengah, dengan mengendarai motor butut berkeranjang.
Di usia senja memasuki 81 tahun, dia masih bersemangat berkutat mencari rezeki memunguti barang-barang bekas bernilai jual di kampung kelahirannya itu.

2. Master dan Doctor dari Rusia
Di luar perkiraan, ternyata Soes, sapaan karibnya, memiliki gelar master jebolan University Patrice Lumumba dan doktor bidang politik dan ekonomi dari Institut Perekonomian Rakyat Plekhanov Uni Soviet. Keduanya berada di Rusia.
Dokumentasi akademis miliknya itu masih tersimpan rapi. Nyaris tanpa cacat, baik itu ijazah doktor ekonomi politik yang diabsahkan oleh The Council of Moscow Institute of National Economy maupun sertifikat lain yang diperoleh selama menempuh studi di Rusia sejak tahun 1962-1973.
Semua catatan penting yang membuktikan ia pernah berhasil di Rusia itu terbungkus plastik di dalam koper dan terkunci rapat di lemari pakaian.
3. Fasih Berbahasa Asing
Kamis (31/5/2018) sore, Kompas.com berkesempatan berbincang dengan Soes di rumah yang kini ditempatinya di Jalan Sumbawa Nomor 40, Kelurahan Jetis, Blora.
Senyum ramah terpancar dari guratan wajahnya yang telah menua saat kami mulai bertatap muka. Rambutnya putih, matanya sipit. Bulu uban dibiarkan tumbuh menutupi sebagian wajahnya.
Tak disangka, ingatan Soes masih tajam menyerupai respons lelaki sehat paruh baya. Tutur bicaranya lugas, mengalir deras menjawab pertanyaan demi pertanyaan.
Itulah Soes dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Terkadang dia bercanda mencairkan suasana, namun lebih sering dia serius mengisahkan sekelumit perjalanan hidupnya. Soes fasih berbahasa Inggris, Rusia, Jerman, dan Belanda. Entah itu secara lisan maupun tulisan.
Bahkan, dia menyebut dirinya diglosia, kemampuan menguasai variasi bahasa dalam masyarakat. "Mas ingin wawancara pakai bahasa apa? Gini-gini saya menguasai beberapa bahasa lho," kata Soes tersenyum mengawali pembicaraan.

4. Riwayat Studi Luar Biasa
Soes menempuh pendidikan dasar di Blora dan pendidikan menengah di Jakarta. Di Jakarta, awalnya dia ikut kakak sulungnya, Pramoedya Ananta Toer, sebab saat itu, bapaknya, Mastoer, guru di Blora itu, sudah tiada.
Sebelum hijrah ke Rusia, Soes sempat menjadi mahasiswa Fakultas Ekonomi di Universitas Indonesia (UI).
Sus juga mahasiswa BI jurusan ekonomi yang beralih menjadi IKIP di Jakarta Selatan. Dia lolos tanpa tes di bangku kuliah itu karena tertolong dengan predikat nilainya yang memuaskan hasil menempa pendidikan menengah atas di Jakarta.
Nilai semua mata pelajaran di atas rata-rata. Nilai ekonominya 10. Namun, perjalanan di kedua kampus itu terhenti di tengah jalan karena biaya kuliah terlalu tinggi baginya.
Soes pun akhirnya menyelesaikan pendidikan diplomanya di Akademi Keuangan Bogor yang berada di bawah Badan Pengawas Keuangan (BPK).
Saat menjadi mahasiswa, untuk menunjang hidup Soes bekerja di sebuah perusahaan penerbitan. Gaji Soes tidak besar, status pekerjaannya pun tidak tetap. Sejatinya, pekerjaan itu hanya sampingan.
Tiang utamanya adalah dana keluarga. Uang keluarga diputarnya di sejumlah pedagang kecil yang membutuhkan modal dadakan. Dari pinjaman itu, bunga yang didapatkan digunakan untuk menyokong biaya sekolah dan hidup sehari-hari.
"Hidup waktu itu demikian susah dan keras. Uang saku dari Mas Pram sangat minim. Sampai kini, kalau teringat terkadang miris sendiri. Kasihan terhadap kemiskinan bangsa sendiri. Mengapa aku harus begitu kejam mencari sesuap nasi. Aku tahu itu tidak halal, tapi kalau sok-sokan berperikemanusiaan, hadiahnya lapar dan bencana bagiku," ungkap anak ketujuh dari sembilan bersaudara pasangan Mastoer dan Siti Saidah itu.
5. Pegawai Asuransi
Lulus kuliah, Soe diterima bekerja sebagai clerk atau pegawai asuransi di sebuah kantor dagang, bekas milik Belanda yang dinasionalisasi atas tuntutan buruh.
Posisinya strategis. Tentunya dengan gaji besar. Kehidupan perekonomian Soes mulai meningkat signifikan. Makan enak, tak lagi melarat.
"Namun, sungguh aku tidak suka. Kerjanya membosankan, setiap hari hanya dipenuhi angka-angka. Kantornya berisik oleh suara mesin hitung, mesin bagi, mesin tulis, mesin bagi, dan mesin kali," ujar Soes.
6. Ikut Wajib Militer
Pada saat Soes berada di atas angin, Indonesia mendadak dilanda kegoncangan ekonomi dan politik.
Pemerintah membentuk Batalyon Serbaguna Trikora. Karier suksesnya selama lebih dari setahun itu perlahan berubah karena situasi negara waktu itu.
Soes mengikuti pelatihan wajib militer yang menguras fisik saat itu. "Aku tak tahu apa penyebabnya. Pemerintah bertekad membebaskan Irian Barat. Saat itu militer memegang kuasa termasuk di kantorku, hingga akhirnya aku ikut latihan menjadi sukarelawan ke Irian Barat. Jabatanku kabag distribusi dan pangkatku letnan waktu itu, tapi kenyataannya aku jenderal bintang tujuh alias pusing dengan nasib ke depannya," tutur Soes terkekeh.
7. Terbang ke Rusia
Setelah Perundingan Den Haag, Irian Barat masuk ke dalam pangkuan Ibu Pertiwi. Indonesia berhasil membebaskan Irian Barat.
Soes lalu mendulang kesempatan terbang ke luar negeri setelah lolos penjaringan beasiswa otoritas Rusia. Dari sekitar 9.000 pendaftar, hanya 30 orang yang lolos, termasuk Soes. Dia melanjutkan pendidikannya di Fakultas Politik dan Ekonomi University Patrice Lulumba.
"Aku tidak jadi berangkat ke Irian Barat, namun aku bebas dari pakaian hijau yang enam bulan membungkusku. Aku berangkat ke Rusia sekitar tahun 1962. Di situlah kisah hidup baruku dimulai," tutur Soes.
Singkat cerita, menempuh pendidikan di sana tidaklah mudah.
Soes diharuskan mengabdi selama dua tahun di Rusia karena tidak lulus dengan predikat cum laude.
Dia kemudian melanjutkan program pascasarjana di Institut Perekonomian Rakyat Plekhanov. Gelar PhD yang lazimnya ditempuh 2 tahun disabetnya hanya dalam tempo 1,5 tahun.
Selama 11 tahun di Rusia, Soes bekerja apa saja, mulai dari penulis, penerjemah, peneliti dan pekerja kasar. Karena latar belakang pendidikannya, Soes berpendapatan tinggi.
Dia hidup bergelimang harta di Rusia. Sepekan sekali, dia bersantap di restoran berkelas di Rusia.
Berpindah-pindah lokasi tergantung seleranya. Soes mengaku sering mentraktir teman-temannya dan menggelar pesta kecil-kecilan.
"Saya penggila buku-buku sastra Rusia. Bahkan suatu ketika dosen belum pernah baca, saya sudah khatam. Selama saya bekerja di Rusia, duit saya banyak. Seminggu sekali makan di restoran berkelas. Saat itu, biaya hidup 1 rubel sehari di Rusia. Padahal sebulan saya kantongi 400 rubel," kenangnya sambil tersenyum.
8. Pulang langsung ditangkap
Pada tahun 1973, Soes pulang ke Tanah Air.
Saat menginjakkan kaki di bandara di Jakarta, dia tiba-tiba ditangkap polisi dan dijebloskan di penjara selama 6 tahun.
Bukannya mengabdi kepada negara selama 10 tahun sesuai janji pemerintah sebelum dia pergi studi, Soes kini justru harus melewati masa suram di balik dinginnya jeruji besi.
Dia dituding antek komunis hanya karena dia lulus dari jurusan politik dan ekonomi di Rusia.
Jurusan yang ditekuni Soes disebut masuk zona merah yang membahayakan kestabilan negara.
Apalagi, dia adalah adik dari Pramoedya Ananta Toer yang lebih dulu dituding berhaluan komunis.
"Hanya saya yang ditangkap saat turun dari pesawat. Puluhan lainnya lolos karena posisi bidangnya aman. Sebut saja ilmuwan, dokter, insinyur, dan lain-lain. Apakah karena Mas Pram yang lebih dulu dituding komunis. Setahu saya, Mas Pram itu PNI, bukan PKI. Saya itu murni belajar, ingin kaya dan tidak ada intervensi dari siapa pun. Saya memahami apa itu Marxisme-Leninisme, tapi bukan berarti saya terlibat di dalamnya," ungkap Soes.
Soes masih ingat betul, beberapa saat sebelum dia kembali ke Indonesia, Kedutaan Indonesia di Moskow menggelar pengajian untuk mendoakan para korban keganasan PKI.
Soes tidak hadir kala itu karena dia merasa tak mendapatkan undangan. Namun, dia menduga, akibatnya dia dinilai terlibat PKI.
"Saya heran, kan tidak diundang jadi saya tidak tahu jika ada tahlilan. Malah dituding PKI. Saya wajib lapor di Rusia. Saya itu tidak suka politik. Saya hanya ingin belajar, kerja, dan kaya," ungkap Soes.
Tanpa pengadilan dan pembuktian atas kesalahannya, pada tahun 1978, Soes akhirnya keluar dari tahanan politik masa Orde Baru. Soes lantas menetap di Jakarta.
9. Predikat Eks Tapol
Berpredikat eks tahanan politik Orde Baru sungguh menyengsarakan Soes.
Di mana-mana dia dituding PKI, dicurigai dan diawasi.
Susah mendapat pekerjaan layak, apalagi bisa diterima dengan baik di lingkungan.
Bahkan, Soes sering dimaki-maki hingga diarak karena dituding PKI.
Beruntung saja tak sampai dianiaya hingga masuk rumah sakit.
Soes bercerita, dia terpaksa melakoni pekerjaan serabutan untuk bisa menyambung hidup, mulai dari berdagang kain hingga menulis.
Karena jasa teman baiknya, Soes sempat menjadi dosen hampir 6 tahun di salah satu universitas swasta di Jakarta. Namun, kariernya sebagai dosen ekonomi hancur setelah karibnya itu meninggal dunia.
Soes kembali merasa dipersulit mencari pekerjaan yang layak.
Tidak hanya Soes, Toer bersaudara lainnya juga terkena imbasnya. Dia memperkirakan hal itu terjadi setelah peristiwa 1965 meletus. Kakak-kakak Soes, seperti Prawito Toer dan Koesalah Soebagyo Toer, juga dituding antek PKI. Mereka sama-sama dijebloskan ke penjara.
Sementara itu, adik Soes, Soesetyo Toer, memilih kabur ke Papua dan berganti identitas, termasuk nama.
"Adik saya lari ke Papua dan namanya diganti baru supaya aman. Tapi, sampai sekarang kami tak tahu bagaimana kabarnya," tutur Soes.

10. Buat Perpustakaan
Kini, Soesilo tinggal di rumah warisan keluarga di Blora.
Meski kini rumah bersejarah berdinding kayu usang dan tembok retak itu tidak terawat, dibangun sebuah perpustakaan kecil yang diberi nama Perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa (Pataba).
Selain untuk mengenang sang kakak, perpustakaan mini itu juga diwujudkan untuk mendorong generasi muda setempat gemar membaca.
Soes sendiri mewarisi bakat kakaknya dalam menulis.
Hingga saat ini Sus sudah menerbitkan sekitar 20 buku hasil karyanya. "Katanya rumah ini mau dibangun oleh pemerintah. Tapi belum tahu kapan," kata Soes.
Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Soes memulung, juga bercocok tanam, beternak ayam dan kambing bersama istrinya. Ada sekitar 50 ekor ayam dan 16 ekor kambing.
Hewan-hewan ternaknya itu dibiarkan saja berkeliaran. Bahkan terkadang kambing dan ayam itu masuk ke dalam rumah.
Soes bergerak memunguti sampah bernilai jual mulai sehabis maghrib hingga dini hari di wilayah perkotaan Blora. Tak menentu juga durasinya, bergantung banyak tidaknya barang bekas yang menumpuk di keranjang yang ditumpang di atas jok motor bututnya.
Hasil memulungnya itu tidak hanya untuk diuangkan, tetapi juga dimanfaatkan untuk makan ternak.
Sepulang memulung, hasilnya dipilah-pilah dan ditata rapi di halaman rumah. Bagi Soes yang bergelar doktor politik dan ekonomi di Rusia, memulung sampah bukanlah pekerjaan hina.
Soes malah bangga karena selain halal, dia secara tak langsung ikut membantu membersihkan sampah kota.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Soesilo Toer Dituding PKI, Jadi Pemulung Lalu Bangun Perpustakaan untuk Sang Kakak (2)