Feature

Kisah Mantan Atlet Angkat Berat Peraih Banyak Medali, Hidup Pas-pasan Kerja Jadi Kuli

Jatmiko pernah merasakan kebanggaan saat mewakili daerah dalam Kejuaraan Nasional (Kejurnas) cabang olah raga angkat berat.

Penulis: Aflahul Abidin | Editor: Rahadian Bagus Priambodo
SURYAMALANG.COM/Hayu Yudha Prabowo
Jatmiko, mantan atlet angkat berat saat bekerja di SDN Bandungrejosari III, Kota Malang, Jumat (12/8/2016) 

Pria kelahiran 4 Juni 1974 itu pertama kali tertarik masuk dunia angkat berat profesional setelah tamat SMP tahun 1992.

Selain urusan ekonomi, alasan lain ia tak melanjutkan sekolah juga karena merasa bermasalah dengan bagian kepalanya.

“Kalau dibuat berpikir yang berat, ini sering sakit,” ujarnya sambil memegang bagian belakang leher.

Untuk mengasah bakat yang sudah dimiliki sejak masih SMP itu, Miko belajar pada seorang pelatih angkat berat di daerah Dinoyo, Lowokwaru, Kota Malang.

Di sana, ia digembleng hingga akhirnya bisa turun langsung pada perlombaan tingkat nasional.

Selain prestasi yang sudah didapat, Miko juga merasa bangga saat nyaris lolos ke ajang Pekan Olahraga Nasional (PON) 2007, andai saat itu ia bisa menganggat beban sedikit lebih berat lagi.

Saat bertanding di Pra-PON, ia hanya menduduki peringat enam.

Padahal, atlet di cabang olah raga sama yang akan diloloskan ke PON adalah urutan lima besar. Miko mengenang, selisih berat yang bisa ia taklukkan dibanding atlet yang ada diurutan kelima hanya belasan kg saja.

Meski mencintai angkat berat, ia menganggap dunia itu tidak berpihak secara finansial.

Sebagai atlet, Miko hanya merasakan punya duit lumayan saat mengikuti Training Centre (TC) dan ketika ikut dalam kejuaraan.

Seumur hidup, Miko pernah mengikuti dua kali TC. Di sana, saban bulan ia menerima gaji sekitar Rp 1 juta. Akan tatapi, TC begitu menyita waktu Miko. Hal itu yang membuatnya tidak betah.

Di sela latihan angkat berat itu, Miko muda juga sudah bekerja sebagai tukang bangunan. Dua kegiatan itu praktis memakan waktu Miko seharian penuh.

Jadwal istirahat pun berantakan. “Saat itu kerja pukul tujuh pagi sampai empat sore. Habis magrib latihan sampai pukul sepuluh,” tuturnya.

Berlatih, berkompetisi, dan bekerja, menjadi rutinitas yang tak lepas dari Miko selama belasan tahun.

Selain menjadi tukang bangunan, Miko juga pernah bekerja sebagai kuli angkut di toko bangunan dan tukang angkat-angkat batang pohon di sebuah proyek.

Halaman
123
Sumber: Surya Malang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved