Liputan Khusus Ancaman Gunung Berapi
Suku Tengger Yakini Gunung Sebagai Pelindung
Pendekatan ilmiah dan hasil pantauan kondisi jelang letusan tak bisa dengan mudah diterima masyarakat.
SURYA Online, PROBOLINGGO - Masyarakat di kaki gunung jarang mau menerima pemahaman ilmiah seputar letusan.
Mereka lebih percaya pada peristiwa yang dianggap sebagai tanda atau bisikan ‘langit’.
Namun, begitu gunung meletus, mereka berguguran sebagai korban.
Pemerintah terutama petugas di lapangan seringkali kesulitan mengajak warga di kaki gunung mengungsi.
Pendekatan ilmiah dan hasil pantauan kondisi jelang letusan tak bisa dengan mudah diterima masyarakat.
Banyak alasan warga untuk bertahan di kampung yang menjadi lintasan bahaya itu.
Alasan paling sederhana, adalah takut harta bendanya dijarah atau ternaknya mati.
Alasan lebih rumit adalah keyakinan masyarakat kaki gunung; letusan gunung tak akan membunuh.
Sebab, mereka setiap tahun sudah memberikan pengorbanan berupa sesaji.
Dukun adat Ngadisari di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Sutomo (55), misalnya, dengan sangat yakin, Gunung Bromo tidak akan ‘marah’ terlalu hebat pada warga sekitar.
Menurutnya erupsi adalah sebuah kehendak Sang Maha Kuasa.
“Namun, pengalaman panjang mengajarkan selama ini, nyawa warga di sekitar Bromo selalu selamat. Karena itu setiap kali Bromo dinaikkan status menjadi awas, warga di sini tetap menolak mengungsi. Kami lebih memilih untuk tetap tinggal di rumah,” kata Sutomo.
Ngadisari, tempat Sutomo tinggal ini merupakan desa terdekat dari Bromo.
Penduduk desa ini mayoritas dari suku Tengger. Mereka tersebar di tiga dusun, yakni Ngadisari, Wonosari dan Cemoro Lawang.
Dusun terakhir ini paling dekat dengan Bromo, sekitar 7 kilometer.