Kisah Mak Yati, Mantan Pemulung Yang Kini Menjadi Pencari Kapuk.
Sementara itu, ketika musim penghujan, satu kilo kapuk, laku di jual Rp 1000.
SURYA Online, PASURUAN-Sudah sekitar satu tahun, Mak Yati, menempati rumah barunya di Dusun Gunung Sari, Kelurahan Kertosari, Kecamatan Purwosari, Kabupaten Pasuruan. Rumah bercat warna biru yang kini menjadi tempat tinggalnya itu, merupakan pemberian dari Kementrian Sosial, tahun lalu.
Jika sebelumnya, Mak Yati bekerja bekerja mengumpulkan botol bekas di Jakarta, kini sehari-hari wanita beruban ini bekerja menjadi pengumpul kapuk. Mak Yati mengaku, terpaksa menjadi pengumpul kapuk , karena tidak ada sawah yang dipanen.
"Biasanya ya jadi buruh tani, tapi sekarang lagi nggak musim panen. Jadi terpaksa nyari kapuk untuk dijual," kata Mak Yati saat ditemui, Senin (14/10/2013) malam.
Wanita paro baya ini mengatakan, penghasilan dari menncari kapuk tidak sebesar ketika dia menjadi pemulung di Jakarta. Pada saat masih menjadi pemulung, dia bisa mendapatkan uang minimal Rp 25.000, sehari.
Sementara, kini, penghasilannya tidak menentu. Dia menceritakan, pada saat musim kemarau seperti sekarang, satu kilo kapuk dihargai Rp 500. Sementara itu, ketika musim penghujan, satu kilo kapuk, laku di jual Rp 1000.
Meski tak bisa mendapatkan penghasilan seperti ketika menjadi pemulung, namun tidak membuatnya berkecil hati. Ia mengaku tetap bersyukur, dan menikmati kehidupannya sekarang.
"Ada enaknya ada enggaknya. Kalau di Jakarta cari penghasilan gampang, tapi tidak punya tempat tinggal. Kalau di desa, punya rumah, tapi mencari penghasilan susah," terangnya.
Mak Yati mengaku, kelak jika dirinya mempunyai cukup modal, dia ingin mencoba berdagang. Selain itu, berdagang, dia juga mempunyai cita-cita ingin membeli lahan untuk bertani.
Sementara itu, untuk membantu menambah penghasilan keluarganya, suaminya, Maman, bekerja menjadi pencari rumput. Suaminya, dipercaya oleh seseorang untuk merawat tiga ekor kambing. Suaminya akan mendapat imbalan seekor kambing, bila kambing-kambing yang dirawatnya sudah berkembang biak.
Sebenarnya, suaminya sudah mendapatkan bantuan modal, berupa mesin pembuat tepung, dari Dinas Sosial Provinsi Riau. Namun, alat yang sudah tiga bulan di rumahnya itu, belum pernah dipakai sama sekali.
"Ya gimana lagi, tidak ada yang mau diselep (digiling), yasudah disimpan saja," kata Maman.
Maman menuturkan, selain mencari rumput, terkadang dia juga mencari kayu bakar dari hutan di sebelah rumahnya untuk dijual. Satu pikul kayu, ia jual dengan harga Rp 25.000.
Mak Yati mengatakan, banyak yang teman-temannya yang mengatakan jika dirinya semakin kurus, berbeda dengan tubuh Mak Yati pada saat ia masih tinggal di Jakarta. Mak Yati mengaku, mencari makan di Jakarta lebih mudah, jika dibandingkan dengan di desa.
"Gimana nggak kurus, untuk makan aja susah," kata Mak Yati.
Dia mengatakan, walaupun mencari uang tidak semudah seperti saat menjadi pemulung, namun tahun ini dia tetap bisa berkurban. Sesuai dengan apa yang pernah diucapkannya pada tahun lalu, pada tahun ini dia berkurban dua ekor kambing lagi.
Meski demikian, Mak Yati mengaku tak pernah menyesali kehidupannya yang sekarang. Sebaliknya, dia tetap bersyukur dan lebih banyak berdoa. "Dijalani saja hidup ini. Kami kan sekarang tinggal antri untuk dipanggil (mati)," imbuhnya. (rbp)