Coto Makassar Ala Maya, Jl Mayjen Sungkono, Surabaya

“Sering sih makan coto, tetapi kalau Ala Maya ya baru ini. Kuahnya segar, saya cocok.”

Penulis: Marta Nurfaidah | Editor: Satwika Rumeksa

Nining Barokah baru saja pulang dari Palu, Sulawesi Tengah. Padatnya agenda acara membuat dia tak sempat mencicipi salah satu masakan khas Sulawesi, Coto Makassar. Masih ingin menyantap makanan itu, mampirlah dia ke kedai Coto Makassar Ala Maya.

Dia tak datang sendiri. Anak dan menantunya pun diajak sekalian. “Sekarang lega, sudah bisa makan coto Makassar,” ucap Nining lega, Rabu (4/4/2013).

Seporsi coto yang masih panas dilahapnya dengan beberapa bungkus burasa atau buras. Sambal taoco dicampur di kuah bersamaan dengan sambal pedas biasa. “Rasa kuahnya lebih mantap dan legit. Itu karena bahan kacang tanahnya,” ucap Nining yang sedikit banyak paham bahan apa saja yang dipakai dalam kuah coto.

Sementara Bramasto D Prasetyo dan Dini termasuk pembeli baru. “Sering sih makan coto, tetapi kalau Ala Maya ya baru ini. Kuahnya segar, saya cocok,” kata Bramasto.

Dini yang duduk di sampingnya hanya tertawa. “Iya racikan bumbunya pas,” sahut Dini. Keduanya menandaskan semangkuk coto Makassar dengan buras.

Rasa buras yang gurih membuat coto semakin asik dihabiskan perlahan-lahan. Kalau ketupat, rasanya sudah terlalu familier bagi mereka.

Ketupat dan buras ini menjadi satu bagian sajian coto Makassar buatan Maya. Keduanya disiapkan sejak pukul 07.00, dimasak selama 1,5 jam. Jika ketupat beras dimasak biasa, maka beras untuk buras dikaru terlebih dulu dengan santan.

Baik ketupat dan buras ini dihidangkan di tiap meja, bersamaan dengan sambal taoco, sambal cabe pedas, garam, dan kecap manis. Semangkuk kecil irisan jeruk nipis tak lupa menyertainya.

“Jeruk nipis ini untuk menghilangkan rasa amis bagi pembeli yang tak begitu suka bau olahan sapi yang masih kuat,” ujar Maya.

Termasuk juga digunakannya banyak bawang putih dalam kuah. Taburan irisan daun bawang dan bawang goreng pun menambah aroma kuah semakin menggugah selera makan.

Kuah coto ini dibuat dari kaldu daging dan jerohan sapi. Jerohan yang biasa dipakai antara lain hati, jantung, limpa, babat, lidah, sum-sum, dan otak. Setiap hari, kebutuhan daging sapi mencapai lima kilogram.
Kacang tanah yang sudah digoreng dan dihaluskan ditambahkan ke dalamnya bersamaan dengan taoco. Oleh sebab itu, kuahnya tak bening tetapi berwarna kecokelatan. Belum lagi bumbu rempah seperti sereh, lengkuas, dan daun salam yang juga dimasukkan.

Selain coto, di kedai ini disajikan pula sup iga dan ragam minuman. Seperti es pisang ijo, es palu butung, dan es kacang merah. Es pisang ijo ini yang paling disukai konsumen, terbuat dari pisang raja yang dibalut tepung warna hijau.

“Kalau es palu butung itu dari pisang kepok dan bubur sum-sum,” kata Solikin, karyawan Coto Makassar Ala Maya yang sudah ikut bergabung selama 12 tahun ini.

Lebih seru lagi es kacang merah. Es batu diserut diletakkan di atas kacang merah yang diolah bersama gula pasir dan bubuk cokelat. Susu cokelat manis ditambahkan di atasnya membuat rasa cokelatnya semakin kuat. Cocok dikonsumsi waktu cuaca panas dan perut lapar sebab kacang merahnya sendiri sudah mengenyangkan.

Antara Ambon dan Makassar

Maya dibesarkan di keluarga Ambon yang gemar mencoba masakan baru khas daerah lain. Coto Makassar adalah salah satunya. Berawal dari coba-coba, akhirnya menjadi usaha serius.

Kedai makanan pertama dibuka Maya di Ambon, tetapi kemudian dia memutuskan pindah ke Surabaya. Semula, Maya juga menjual sup iga dan rawon, namun kemudian masakan yang paling disukai pembeli adalah coto.
Kedai Coto Makassar pertama yang dikelolanya pertama dibuka di Jl Dr Soetomo sejak 1999 hingga 2009. “Lalu, saya pindah ke Mayjen Sungkono ini. Sup iga tetap masuk dalam daftar menu juga,” ucapnya.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved