Menguak Riwayat Gerbong Maut Bondowoso
Jangan pernah melupakan sejarah. Dari sana bagaimana perjalanan sebuah bangsa dimulai tercatat oleh waktu.
“Perjalanan selama 16 jam itu sangat berat dilalui. Tanpa udara dan air, para tawanan tidak mampu bertahan,” kisah Stephen. Rutenya dari Kota Bondowoso-Tamanan-Kalisat-Probolinggo-Wonokromo, Surabaya.
Sabtu, 23 November 1947, pukul 05.30. Gerbong pertama bernomor GR 5769 diisi 32 orang, gerbong kedua bernomor GR 4416 terisi 30 orang, dan sisanya masuk ke gerbong ketiga bernomor GR 10152. Gerbong terakhir ini masih baru dan dianggap akan lebih baik.
Hawa panas menyeruak di dalam gerbong beratap dan berdinding plat baja tersebut. Mereka yang tak kuasa menahan suhu panas membanting-bantingkan tubuh di dalam kereta. Suara tangan menggedor dinding kereta tak dihiraukan Belanda.
Ketika gerbong berhenti di Stasiun Kalisat selama dua jam karena menunggu kereta dari Banyuwangi. Matahari tepat berposisi di atas kepala, bisa dibayangkan bagaimana panasnya suhu udara dalam gerbong-gerbong itu.
“Konon, terungkap cerita bahwa di antara mereka terpaksa minum air kencing tawanan lainnya untuk sekilas menepis rasa haus,” kata Stanley. Akhirnya, hujan turun deras ketika dekat Stasiun Jatiroto. Melalui lubang-lubang kecil di dinding dan atap kereta, tetesan air diteguk oleh para tawanan.
Sayangnya, gerbong ketiga tak mendapat mukjizat kecil ini sebab masih baru sehingga lubang tak ditemui di sana. Setelah 16 jam perjalanan dan sampai di Stasiun Wonokromo pada pukul 20.00, terdata 46 orang meninggal. Bahkan, tak ada yang hidup sama sekali di gerbong ketiga. Sebelas orang sakit parah, 31 orang sakit, dan 12 sehat tetapi dalam kondisi lemas lunglai.