Menguak Riwayat Gerbong Maut Bondowoso

Jangan pernah melupakan sejarah. Dari sana bagaimana perjalanan sebuah bangsa dimulai tercatat oleh waktu.

Editor: Heru Pramono
zoom-inlihat foto Menguak Riwayat Gerbong Maut Bondowoso
foto:ist
GERBONG MAUT - Stanley Chrislie, Sherly Jessica, Brigitta Amelia, Pratiwi Pangestu, Stephen Tirtoutomo, dan Ronald Wyenantea foto bersama dua veteran di Bondowoso yang menjadi narasumber pembuatan video Gerbong Maut.
SURYA Online, SURABAYA - Jangan pernah melupakan sejarah. Dari sana bagaimana perjalanan sebuah bangsa dimulai tercatat oleh waktu. Gerbong maut Bondowoso menjadi sisipan perjalanan itu yang direkam kembali oleh tujuh mahasiswa Desain Komunikasi Visual (DKV) UK Petra. Kisah memilukan 100 pejuang di masa kemerdekaan terungkap kembali berkat video dokumenter berdurasi 22 menit.

Tiga gerbong bernomor GR 5769, GR 441, dan GR 10152 mungkin tak menarik untuk dikenal. Mendengarnya pun pasti hampir tidak pernah. Namun, kisah dibalik ketiga gerbong tersebut menarik tujuh mahasiswa yang tengah mendapat tugas mata kuliah Audio Visual II.

Mereka adalah Sherly Jessica sebagai sutradara, Stanley Chrislie di bagian Sound and Special Effect, Stephen Tirtoutomo sebagai Main Editor, Brigitta Amelia sebagai Producer Manager, Ronald Wyenantea sebagai Cameraman, dan Pratiwi Pangestu sebagai Art Director. Serta Ronal Wahyudi, seorang talenta yang memerankan Detective Ronald Doyle.
Tema budaya yang harus diangkat dalam bentuk video dokumenter cukup membuat mereka pusing di awal. Karena sebagian besar kelompok lain membuat cerita kaitan sejarah dan kuliner, mereka terinspirasi untuk mengupas sejarah dalam bentuk lain.
“Ada seorang pengajar yang memberi ide tentang kereta api. Semula sama saja, kebingungan masih terjadi lalu kami mulai browsing internet,” tutur Stephen Tirtoutomo (22), mahasiswa semester delapan DKV UK Petra, Sabtu (5/1/2013).

Dari Google, diketahuilah istilah gerbong maut. Kebetulan artikel yang mereka baca itu disusun oleh dosen DKV sendiri, Aniendya Christianna SSn. Tertariklah mereka dengan kisah gerbong maut karena namanya terkesan seram dan sedikit demi sedikit mulai terkumpulkan datanya.
“Gerbong-gerbong itu tersebar di Bondowoso, Surabaya, dan Malang. Kami mencoba cek kebenarannya sekaligus menelusuri peristiwa sejarah itu melalui video dokumenter yang kami buat ini,” papar Stephen.
Teknik survei dan wawancara untuk pengumpulan data dimulai. Diketahui bahwa gerbong maut ini telah merenggut puluhan nyawa tawanan di masa penjajahan Belanda yang berada di kawasan Bondowoso.

“Gerbong itu membawa seratus tawanan dari Bondowoso menuju Surabaya,” kata Stanley Chrislie (21), mahasiswa semester delapan DKV UK Petra.
Bagaimana peristiwa ini dikuak dikemas seperti sebuah film detektif oleh mereka. Muncullah peran seorang detektif bernama Ronald Doyle yang ingin memecahkan misteri gerbong maut. Dia bergegas menuju kota Bondowoso dimana cerita gerbong maut ini berasal.

Pengambilan gambar dimulai selama Februari hingga April 2012. Tim video dokumenter ini mewawancarai para veteran yang ada di Surabaya dan Bondowoso.
“Kami mendapat banyak pemaparan dari Pak Mudjahit, Letnan Kolonel (Purnawirawan) di Bondowoso, dan Ilham, cucu tawanan yang selamat dari gerbong maut,” tutur Stephen. Ilham malah masih menyimpan peta jalur gerbong maut dari Bondowoso ke Surabaya itu.

Memakai kamera DSLR Canon EOS 60D dan Nikon D7000 mereka mengambil gambar di Bondowoso selama sehari, Malang selama sehari juga, dan beberapa kali harus bolak-balik ke Gedung Juang 45 Surabaya. “Proses syuting nggak lama, waktu terbanyak diperlukan untuk proses editing,” imbuh Stephen.

Melacak yang Terabaikan

Berkat karya video dokumenter Gerbong Maut Bondowoso, mereka dipanggil Bupati Bondowoso pada November 2012. “Kami diundang dalam acara peringatan Gerbong Maut yang diadakan di lahan bekas Stasiun Bondowoso,” ujar Stephen.
Video mereka dianggap membantu pelacakan keberadaan tiga gerbong maut itu. Kini, satu gerbong asli ada di Malang sedangkan yang dua gerbong belum diketahui. “Satu di Gedung Juang 45 Surabaya itu hanya monumen atau replika. Namun, besinya masih asli,” papar Stanley.

Pengalaman aneh dialami ketika merekam gambar di Gedung Juang 45 Surabaya. “Mereka tidak memperbolehkan kami ambil gambar di atas pukul 18.00. Dan tempat replika gerbong itu sendiri berada di halaman belakang dan tak terawat,” ujar Stanley. Meski demikian, semangat mereka tetap kuat dan dengan menyisihkan kesan yang janggal, video itu pun selesai.

Dikatakan Stanley bahwa mereka sempat ditawari seorang sutradara lokal untuk menjadi tim pembuatan film sejarah. Namun, karena kesibukan akademik, mereka masih menolaknya. Sempat dikatakan juga oleh narasumber di Bondowoso bahwa sutradara Hanung Bramantyo sempat ingin mencari data untuk membuat film layar lebar Gerbong Maut. “Tetapi karena orang-orang di Bondowoso nggak mau kasih informasi banyak, jadinya survei terhambat dan batal. Entah, sekarang ini mereka justru mau terbuka menceritakan semua kisah,” ungkap Stephen.
Film dokumenter ini bisa dinikmati oleh semua kalangan usia. “Dari usia antara 18 hingga 25 tahun,” ujar Sherly.

Menurutnya, sebagai generasi muda harus melestarikan nilai-nilai sejarah yang selama ini telah diperjuangkan oleh para pahlawan. Supaya apa yang telah dimiliki sekarang tidak akan sia-sia.

Gerbong Ketiga yang Memilukan

Walaupun Proklamasi Kemerdekaan telah dikumandangkan, tetapi cengkeraman penjajah Belanda masih terasa kuat di bumi tanah air. Pada 1947, Belanda melakukan penangkapan besar-besaran terhadap rakyat Indonesia tanpa melihat apakah mereka terlibat atau tidak dengan aktivitas perjuangan.

Akibatnya, penjara Bondowoso penuh dan jumlah tawanan mencapai sekitar 637 orang. Karena tak lagi menampung, pihak Belanda bermaksud memindahkan tawanan ke tahanan Bubutan di Surabaya menggunakan alat transportasi kereta api.

Sekali angkut, kereta memuat 100 orang. Tahap pertama dan kedua berjalan lancer karena gerbong diberi ventilasi meskipun sempit. Namun, pada tahap ketiga gerbong tertutup rapat tanpa ventilasi udara. Perintah langsung datang dari Komandan J Van den Dorpe, Kepala Penjara Bondowoso di masa itu.

“Perjalanan selama 16 jam itu sangat berat dilalui. Tanpa udara dan air, para tawanan tidak mampu bertahan,” kisah Stephen. Rutenya dari Kota Bondowoso-Tamanan-Kalisat-Probolinggo-Wonokromo, Surabaya.

Sabtu, 23 November 1947, pukul 05.30. Gerbong pertama bernomor GR 5769 diisi 32 orang, gerbong kedua bernomor GR 4416 terisi 30 orang, dan sisanya masuk ke gerbong ketiga bernomor GR 10152. Gerbong terakhir ini masih baru dan dianggap akan lebih baik.

Hawa panas menyeruak di dalam gerbong beratap dan berdinding plat baja tersebut. Mereka yang tak kuasa menahan suhu panas membanting-bantingkan tubuh di dalam kereta. Suara tangan menggedor dinding kereta tak dihiraukan Belanda.
Ketika gerbong berhenti di Stasiun Kalisat selama dua jam karena menunggu kereta dari Banyuwangi. Matahari tepat berposisi di atas kepala, bisa dibayangkan bagaimana panasnya suhu udara dalam gerbong-gerbong itu.

“Konon, terungkap cerita bahwa di antara mereka terpaksa minum air kencing tawanan lainnya untuk sekilas menepis rasa haus,” kata Stanley. Akhirnya, hujan turun deras ketika dekat Stasiun Jatiroto. Melalui lubang-lubang kecil di dinding dan atap kereta, tetesan air diteguk oleh para tawanan.

Sayangnya, gerbong ketiga tak mendapat mukjizat kecil ini sebab masih baru sehingga lubang tak ditemui di sana. Setelah 16 jam perjalanan dan sampai di Stasiun Wonokromo pada pukul 20.00, terdata 46 orang meninggal. Bahkan, tak ada yang hidup sama sekali di gerbong ketiga. Sebelas orang sakit parah, 31 orang sakit, dan 12 sehat tetapi dalam kondisi lemas lunglai.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved