Refleksi Hari Pahlawan

Inilah Sejarah Hebat yang Diabaikan Sekolah sejak Orde Lama

Pertempuran dahsyat di Surabaya melibatkan kiai dan santri, ada proses dan strategi, namun tidak mencatat Nahdlatul Ulama.

Editor: Yuli
zoom-inlihat foto Inilah Sejarah Hebat yang Diabaikan Sekolah sejak Orde Lama
M Sulton Fatoni

Dari Mojokerto ada Hizbullah pimpinan KH Moenasir Ali yang sempat berkarir di militer namun mengundurkn diri. Dari Malang ada Kiai Mukti Harun yang cukup ditakuti tentara Belanda dan Jepang. Kiai Harun menjadi rujukan para pejuang kemerdekaan. Kiai Mukti juga membekali Bung Tomo dengan wirid, air minum, serta bambu runcing. Di tempat Kiai Mukti Harun saat ini terdapat monumen Hizbullah.

Dari barat Surabaya juga datang Kiai Bisri Mustofa, pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Rembang. Kediaman Kiai Bisri juga tempat berkumpulnya para kiai yang akan berangkat ke Surabaya. Kiai Abbas Buntet Cirebon misalnya, terlebih dulu singgah di Rembang menemui Kiai Bisri untuk kemudian bersama-sama berangkat ke Surabaya. Kiai Amin Babakan Cirebon juga datang ke Surabaya meski harus menjual 100 gram emas untuk biaya perang. Di luar yang saya sebutkan di atas tentu masih banyak para kiai-santri yang ikut bertempur di Surabaya.

Keseriusan para kiai yang tergabung dalam Nahdlatul Ulama dalam pertempuran di Surabaya pada Oktober-Nopember 1945 menjadikan peristiwa tersebut luar biasa. Tentara sekutu dengan peralatan modern dihadapi para kiai bersama arek-arek Suroboyo dengan peralatan ala kadarnya, seperti senjata rampasan dari Jepang yang sangat terbatas, bambu runcing dan benda-benda aneh lainnya.

Agus Sunyoto, seorang sejarahwan NU mengatakan, para kiai memilih bambu runcing itu mengandung makna agung. Bambung runcing dari depan tampak lubang yang lonjong. Itu adalah simbol ibu. Jadi pejuang yang menenteng bambu runcing selalu diikuti doa ibu.

Di luar simbol fisik seperti bambu runcing, para kiai mempunyai senjata di luar nalar manusia. Senjata itu adalah kekuatan yang langsung dari Allah Swt melalui benda-benda biasa saja, bukan senjata. Kiai Abbas Cirebon misalnya, bertempur di Surabaya hanya bermodalkan bakiak, butiran tasbih, dan doa khusus pada kolam penuh air yang dipakai wudhu pasukan Hizbullah. Bahkan pada 1994, saat Muktamar NU Cipasung, butiran tasbih itu masih tersisa dan diserahkan kepada Gus Dur untuk bekal menghadapi intervensi Penguasa Orde Baru.

Kiai Sa'dullah dari Pondok Pesantren Sidogiri membekali Laskar Hizbullah Pasuruan dengan berbagai ilmu, di antaranya "Lembu Sekilan". Kiai Syamsul Arifin dari Pondok Pesantren Sukorejo Situbondo lain lagi. Kiai Syamsul menyiapkan minyak “kidang kencana” bagi Laskar Hizbullah.  Walhasil, Pertempuran di Surabaya waktu itu memang sejak awal dirancang berlangsung “tidak biasa” mengingat rasionalitas telah membentur batu karang: diplomasi selalu kalah, perjanjian Renville dan Linggarjati merugikan, situasi politik nasional tidak stabil, carut marut ekonomi nasional, sedangkan di sisi lain kemerdekaan terancam.

Memasuki 1946 hingga 1949, tidak sedikit para kiai ditangkap Belanda, atau memilih perang gerilya dan bersembunyi, pondok pesantren diserbu, para santri disiksa. Kiai Asad misalnya, pasca pertempuran di Surabaya hampir empat tahun bersembunyi berpindah-pindah tempat menghindari kejaran Belanda. Kiai Jauhari Zawawi Kencong juga harus bersembunyi cukup lama di hutan-hutan. Begitu juga Kiai Sa’dullah Sidogiri yang menuju Malang meski Pondok Pesantrennya diserbu Belanda.

Kini Indonesia merdeka. Para kiai pun lega. Nahdlatul Ulama juga telah kembali ke fungsi sosial agamanya. Berbagai macam ilmu kesaktian itu pun kembali tersembunyi di bilik-bilik pondok pesantren. Ilmu itu sampai kini masih dipelajari para santri meski dengan bungkus yang berbeda.

Ilmu itu sekarang hanya menjelma jadi wirid yang rutin dibaca santri, kadang habis salat fardhu, terkadang juga jadi wirid di malam hari. Santri itu pun kini belajar normal mengkaji kitab-kitab klasik di bidang fiqh, tasawuf dan tauhid.

Laskar-laskar itu bukan sedang tidur. Mereka masih terjaga dan sewaktu-waktu bisa saja keluar jika para kiai memanggilnya. Saya teringat statemen KH Mustofa Bisri dalam satu acara di Semarang tahun lalu saat membicarakan maraknya aksi kekerasan yang cenderung radikal di Indonesia.

“Kalau Nahdlatul Ulama mau, bisa saja dalam waktu singkat memusnahkan kelompok-kelompok keras itu. Tapi NU tidak mau melakukan karena itu tugas Pemerintah.”  Pada kesempatan lain saat memperingati 1000 hari Kewafatan Gus Dur di Ciganjur, KH Mustofa Bisri berkata sambil menoleh kepada Pak Akbar Tandjung, “Kalau NU mau bisa saja bertindak keras mempertahankan Gus Dur Pak Akbar. Tapi Gus Dur gak mau, NU gak mau,” kata Gus Mus mengingatkan.

Jadi, para laskar itu masih terjaga dan belum diperlukan kiai untuk keluar dari sarangnya. Al-fatihah.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Publikasikan Karya di Media Digital

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved