Mbah Surip Kembali ke `Rumah Asal` setelah 20 Tahun
Penulis: Heru Pramono |

Ditinggal mati suami ketika 8 anaknya masih kecil, membuat mbah Surip sendirian banting tulang menghidupi keluarga. Mbah Surip pun mengalami perjalanan berliku dalam keimanan.
Cornelius Vrian
Kediri
Suara adzan Ashar menggema dari musala Al Karim Dusun Sobo, Desa Nambaan Kecamatan Ngasem, Kabupaten Kediri. Seorang perempuan tua mengenakan mukena berjalan tertatih – tatih menuju musala untuk menunaikan salat wajib. Sesampainya di serambi musala, dengan susah payah perempuan itu menaiki lantai dengan berpegangan pada sokoguru musala. Dialah mbah Surip (85). Ketika salat dimulai, mbah Surip masih dengan susah payah mengikuti gerakan jemaah lainnya. Begitu salat usai dan imam memimpin dzikir, mbah Surip bertahan dan mengikuti dengan khusyuk. Untuk menahan lelah, perempuan yang wajahnya sudah berkeriput itu menyandarkan tubuhnya pada dinding musala, sembari mulutnya tak henti–henti menyebut asma Allah dalam doa dan dzikir bersama jemaah lainnya.
Bagi jemaah musala Al Karim, sosok mbah Surip dikenal sebagai jemaah yang rajin. Takmir musala Al Karim, H Sunari, mengungkapkan, mbah Surip tidak pernah absen menjalankan salat lima waktu berjemaah di musala. Bahkan dalam keadaan sakit pun, Mbah Surip tetap ikut menjalankan salat berjemaah meski harus berpegangan pada tembok. “Beliau sangat rajin. Bahkan ketika sakit dan terpaksa tidak ke musala, beliau selalu menganggap ada yang kurang,” ujarnya.
Sebenarnya tidak ada yang istimewa pada diri mbah Surip. Dia seperti kebanyakan perempuan desa pada umumnya. Kerja keras sudah dilakoninya sejak masa muda. Perempuan tua yang mengaku berumur 15 tahun saat Jepang mulai menjajah Indonesia pada 1942 itu, bekerja serabutan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. “Semua pekerjaan saya lakukan. Mulai buruh tani hingga buruh cuci. Kalau tidak bekerja, saya makan apa,” tuturnya dalam bahasa Jawa.
Perjuangan hidup Mbah Surip semakin berat ketika suaminya meninggal dunia beberapa tahun setelah menikah. Ia harus menghidupi delapan anaknya seorang diri. Ia pun semakin giat bekerja untuk menyambung hidup keluarganya.
“Anak saya delapan. Tapi, karena tidak punya uang untuk makan, yang empat sakit–sakitan lalu meninggal,” imbuhnya.
Beruntung mbah Surip mendapat tempat bekerja yang layak sebagai buruh cuci di rumah seorang perangkat desa. Ia menerima upah yang cukup untuk menghidupi anak–anaknya. Sayangnya, hal itu harus dibayar mahal oleh mbah Surip. Ia terpaksa berpindah keyakinan, mengikuti majikannya. Rasa utang budi menjadi alasan baginya untuk meninggalkan iman Islam yang telah dipeluknya sejak kecil. “Saya tidak enak kalau tidak ikut. Makanya, agama saya jadi seperti dia,” kenangnya.
Namun, itu justru membuat hati Mbah Surip gundah. Sering dia merasa rindu terhadap Islam. Bahkan rasa rindunya itu melebihi rasa rindu pada sang suami yang telah meninggal dunia. Dia mengibaratkan, kepindahan keyakinannya itu sebagai pindah rumah, sehingga ia selalu ingin kembali ke rumah asalnya.
“Rasanya kangen kalau mendengar suara adzan atau melihat orang salat,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Waktu terus bergulir, hingga anak–anak mbah Surip sudah beranjak dewasa dan memiliki pekerjaan. Bisa dibilang kondisi ekonomi keluarganya sudah mapan. Mbah Surip kemudian memutuskan keluar dari tempat kerja yang sudah menghidupinya selama lebih dari 20 tahun. Apalagi saat itu, majikannya yang dikenal sebagai orang dermawan telah meninggal dunia. Mbah Surip mengambil keputusan drastis dalam hidupnya. Ia kembali memeluk Islam sebagai agama dan keyakinan sekitar tahun 2003 lalu. “Saya pilih kembali Islam dari hati dan pikiran saya sendiri. Saya sudah lama ingin masuk Islam lagi,” katanya.
Sejak kembali memeluk Islam, mbah Surip bertekad untuk benar–benar menjalankan semua kewajiban agama. Selama delapan tahun, ia berusaha untuk tidak meninggalkan salat lima waktu. Bahkan, ia selalu menunaikan salat secara berjemaah di musala yang dekat dengan tempat tinggalnya.
Bagi mbah Surip, panggilan adzan layaknya nyanyian indah yang bergema di telinganya. Itulah yang membuat mbah Surip selalu tertarik untuk segera menunaikan kewajiban salat. “Rasanya adem, ayem kalau mendengar adzan,” tambahnya.
Keajekan mbah Surip menjalankan salat ditularkan ke anak-anak, enam cucu serta dua cicitnya. “Kalau cucu saya tidur pas waktu salat, langsung saya bangunkan biar salatnya tidak bolong,” katanya.
Tidak hanya salat wajib, Mbah Surip juga rajin menjalankan sejumlah salat sunnah seperti salat tahajud dan salat tarawih saat Ramadan. Aktivitas Mbah Surip ini didukung kegiatan musala yang menyediakan waktu bagi jemaah untuk menunaikan salat sunnah, dengan pertimbangan masih banyak jemaah yang belum paham benar tentang tatacara salat.
Untuk memudahkan langkahnya menuju musala, Mbah Surip meminta agar dibuatkan pintu dari rumahnya yang langsung menembus ke arah musala. Permintaan itupun disanggupi oleh anaknya. Sebuah pintu dari anyaman bambu disediakan di bagian belakang rumah sebagai jalan antara kamar mbah Surip menuju musala.
“Kalau ada pintu itu tidak perlu memutar jalan, bisa langsung ke musala,” ujarnya.
Selama Ramadan ini, Mbah Surip pun hadir dalam majelis tadarus yang digelar tiap hari usai tarawih. Menariknya, meski giat mengikuti tadarus, Mbah Surip mengaku tidak bisa membaca Alquran. Bahkan ia mengaku seringkali lupa bacaan Al-Fatihah.
“Saya ini orang bodoh. Jangankan membaca huruf Arab, membaca bahasa Indonesia pun saya tidak bisa,” tandasnya.
Dengan segala keterbatasan intelektualnya, Mbah Surip yakin akan kebesaran Allah SWT. Ia percaya penuh Allah mengetahui kelemahannya dan menerima amal ibadahnya dalam kebodohannya itu. Ia meyakini Allah SWT akan memandang niatnya untuk berbakti dan beribadah kepada-Nya meski dilakukan dengan sederhana.
“Kadang saya salat juga hanya ikut – ikutan karena sering lupa bacaannya. Tapi, saya tahu Gusti Allah mengerti apa isi hati saya. Saya hanya ingin menyembah-Nya,” ungkapnya.
Bagi Mbah Surip, mendengarkan bacaan ayat suci Alquran merupakan obat bagi kegelisahan hatinya. Bacaan kalam Allah itu mampu mendinginkan suasana batinnya dan meredam segala pikiran buruk yang muncul. “Saya hanya mendengarkan. Rasanya enak, di hati seperti mak cles,” katanya.
Menurut Mbah Surip, apa yang dilakoninya saat ini merupakan tebusan karena ia sempat melupakan Allah SWT. Apalagi di usianya yang sudah sangat senja, ia ingin memiliki bekal untuk hidup di akhirat kelak.
Di mata anak – anaknya, Mbah Surip merupakan sosok ibu pekerja keras. Dengan gigih, perempuan itu memeras keringat dan membanting tulang demi keluarganya. Ripto (50), salah satu anak Mbah Surip, mengaku sempat kecewa ketika ibunya pindah keyakinan. Tapi ia sadar itu semua dilakukan demi ia dan saudaranya yang lain. Tidak heran, ia sangat gembira ketika ibunya itu kembali memeluk Islam. Bahkan sang ibu terlihat lebih khusyuk. Hal serupa juga diungkapkan Sukardi (40), menantu mbah Surip.