Sugeng Dalu Pak Guru...
Roedy Eko Budidjatmiko S.Sn
Guru Seni Budaya dan Bahasa Daerah
SMP Katolik Santa Agnes Surabaya
roedy3k0@yahoo.co.id
Pendidikan bahasa daerah (Jawa) diberikan di jenjang pendidikan sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP). Bahkan kini bahasa Jawa disisipkan dalam pelajaran seni budaya di jenjang sekolah menengah atas (SMA). Beberapa Guru dalam mengajarkan bahasa daerah Jawa kepada peserta didik bersifat hafalan. Seperti: anake wedhus jenenge cempe (anak kambing arane cempe), anake Gajah arane bledug (anak Gajah namanya bledug), kembange klapa arane manggar (nama bunga kelapa disebut manggar), dan lain-lain.
Guru tak melihat situasi lingkungan sekitar, seperti di Surabaya tentu peserta didik hanya bisa menghafal dan tidak tahu wujudnya seperti apa, karena hal tersebut jarang sekali. Bahkan sama sekali tidak ditemukan, sehingga membuat peserta didik menyimpulkan, ternyata bahasa Jawa lebih sulit dari bahasa Inggris. Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), kompetensi dasar bisa disesuaikan dengan sekolah masing-masing yang tentunya antara kompetensi dasar di Surabaya beda dengan kota lain. Begitu juga kompetensi dasar sekolah yang satu tidak sama dengan sekolah lain.
Di sekolah tempat saya mengajar, saya mulai dengan sapaan, seperti: sugeng enjing (selamat pagi), sugeng siang (selamat siang), sugeng makarya (selamat bekerja), sugeng kondur (selamat jalan), dan sebagainya disertai dengan jabat tangan. Dengan membiasakan seperti itu tidak terasa pelajaran budi pekerti juga ikut diajarkan, yaitu menghormati orang yang lebih tua, menyapa dengan saling berjabat tangan dengan sesama peserta didik. Saya yakin dengan setiap hari bahkan setiap jam atau kalau kita ketemu saling menyapa dan berjabat tangan, peserta didik dengan tidak terasa mengantongi dua kata dalam bahasa Jawa yang mereka tak perlu susah-susah menghafal, bahkan mereka tahu apa fungsi dari kata tersebut. Sedikit demi sedikit ditambah dengan kata baru berikutnya seperti: piye kabare? (bagaimana kabarnya). Mereka menjawab: pangestunipun bapak/ibu, sae-sae kemawon (atas doa bapak/ibu, baik-baik saja). Hikmahnya sudah saya petik, suatu hari saat saya dengan keluarga berjalan-jalan di sebuah mal di Surabaya, saya disapa alumnus dengan sapaan sugeng dalu pak, pripun kabare? (selamat malam pak, bagaimana kabarnya?). Sempat kaget juga saya mendengar sapaan tersebut, namun setelah saya lihat mantan murid saya, saya jawab: apik-apik wae (baik-baik saja). Setelah itu dia meneruskan: badhe tumbas menapa Pak? Mudah-mudahan kisah ini dapat menginspirasi teman-teman guru dalam mengenalkan bahasa Jawa, sehingga jangan sampai generasi kita nanti belajar bahasa Jawa pergi ke negara Belanda.
Rekomendasi untuk Anda