Bangunan Ponpes di Sidoarjo Ambruk

Sosok Dokter Larona Hydravianto yang Amputasi Lengan Nur Ahmad di Celah Reruntuhan Ponpes Al Khoziny

Di balik proses evakuasi korban ambruknya Ponpes Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, aksi heroik seorang dokter jadi sorotan. Ini sosoknya

Penulis: Arum Puspita | Editor: Musahadah
Kolase Instagram RS Darmo/SURYA.CO.ID
AMPUTASI - (KANAN) dr. Aaron Franklyn Soaduon Simatupang bertemu dengan korban ambruknya Ponpes Al Khoziny, Jumat (3/10/2025). (KIRI) Dokter Larona Hydravianto 

SURYA.CO.ID - Di balik proses evakuasi korban ambruknya Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, aksi heroik seorang dokter jadi sorotan.

Sosok tersebut adalah Larona Hydravianto, yang membantu penyelamatan santri bernama Nur Ahmad.

Saat itu, Dokter Larona nekat merangkak melalui celah sempit untuk mengevakuasi Nur Ahmad yang terjepit di reruntuhan bangunan. 

Dokter Larona masuk bersama spesialis anestesi dr Farouq Abdurrahman, dan PPDS Ortopedi dr Aaron Franklyn.

Dirinya tak menampik bahwa ada rasa takut tertimpa reruntuhan karena kondisi bangunan tidak stabil dan berisiko terjadi runtuh susulan.

Ditambah, dirinya tidak menggunakan alat pelindung diri yang memadai.

Dia menerobos reruntuhan bangunan hanya bermodal helm yang sebenarnya tidak terlalu aman digunakan saat kondisi tersebut. 

Namun, kondisi tersebut tak menyurutkan niatnya menyelamatkan Nur Ahmad

Saat menemukan lokasi Nur Ahmad, ia melihat bagian lengan korban sudah remuk hingga siku.

Sementara beton besar sulit diangkat cepat.

Baca juga: Rekam Jejak Marzuki Darusman, Eks Jaksa Agung yang Bela Nadiem Makarim dengan Ajukan Amicus Curiae

AMPUTASI - Nur Ahmad, santri korban reruntuhan ponpes Al Khoziny yang harus diamputasi lengannya karena tertimpa beton.
AMPUTASI - Nur Ahmad, santri korban reruntuhan ponpes Al Khoziny yang harus diamputasi lengannya karena tertimpa beton. (kolase kompas.com/surya.co.id/m taufik)

Larona dan tim dokter lantas memutuskan melakukan amputasi lengan Nur Ahmad, dengan pertimbangan agar santri tersebut tidak banyak kehilangan darah jika harus menunggu runtuhan beton diangkat dahulu. 

Setelah proses amputasi selesai, korban langsung diangkat dari bawah reruntuhan, dan kemudian dibawa ke RSUD Sidoarjo.

Di hari yang sama, dilakukan operasi lanjutan untuk membersihkan luka, membuang jaringan mati, dan merapikan kulit di bagian amputasi.

Sosok Larona Hydravianto

Larona Hydravianto merupakan Dokter Spesialis Orthopedi. 

Dia praktik di sejumlah rumah sakit, seperti Rumah Sakit Delta Surya, Rumah Sakit Islam (RSI) Siti Hajar Sidoarjo, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) R.T. Notopuro.

Sebagai seorang dokter Orthopedi, dia fokus dalam merawat cedera, gangguan, dan penyakit yang mempengaruhi tulang, otot, ligamen, tendon, dan sendi.

Selain itu, juga melaksanakan perawatan yang sesuai, baik itu konservatif (non-bedah) maupun bedah, untuk mengatasi masalah muskuloskeletal, seperti fraktur tulang, cedera ligamen, atau osteoartritis.

Pendidikan 

Medical Doctor (Universitas Airlangga, Surabaya)

Orthopaedic Traumatologist (Universitas Airlangga, Surabaya)

Spine Consultant (Indonesian College of Orthopaedic and Traumatology, Jakarta)

Kisah Nur Ahmad

Nur Ahmad (16), jadi salah satu korban ambruknya bangunan musala di Ponpes Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo, Senin (29/9/2025). 

Nur Ahmad harus rela kehilangan lengannya setelah diamputasi akibat tertimpa beton runtuhan bangunan ponpes. 

Keputusan amputasi di tempat kejadian itu dilakukan untuk menyelamatkan nyawa Nur Ahmad agar tidak banyak kehilangan darah kalau harus menunggu runtuhan beton diangkat dahulu. 

Nur Ahmad mengaku tidak mampu melarikan diri setelah sejumlah batu dan beton menimpa tubuhnya.

Diceritakan, awalnya dia tidak merasakan tanda-tanda kejanggalan sebelum bangunan tiga lantai itu ambruk saat salat Asar pada Senin (29/9/2025).

Namun, tiba-tiba musala Ponpes Al Khoziny yang tengah dibangun itu runtuh dan menimpa para santri. 

"Rakaat kedua kejadiannya. Langsung jatuh betonnya,” kata Ahmad saat dirawat di RSUD RT Notopuro Sidoarjo, Jumat (3/10/2025).

Lengan kirinya tertimpa beton dan tidak lagi bisa digerakkan.

“Enggak bisa (menyelamatkan diri), langsung kena tangan. Enggak (tahu sebelah ada siapa), enggak melihat mukanya. Jadi waktu ruku, langsung tiarap setelah ada reruntuhan,” ujarnya.

Saat terjebak, Ahmad berusaha bertahan hingga akhirnya mendengar suara petugas evakuasi. 

Ia langsung berteriak meminta tolong.

“Iya saya teriak minta tolong, ada (petugas) yang mendengar. Bertahannya dari sore sampai malam. Ya sakit (ketika disuntik bius), katanya harus tenang,” ucapnya.

Dokter Spesialis Ortopedi dan Traumatologi RSUD RT Notopuro Sidoarjo, dr. Larona Hydravianto, mengungkapkan keputusan amputasi tangan Ahmad dilakukan langsung di bawah reruntuhan mushala Ponpes Al Khoziny

Menurut Larona, tindakan itu merupakan upaya penyelamatan nyawa karena kondisi korban terjepit beton.

“Jadi memang ini sesuatu yang sangat berat ya secara pertimbangan. Kita harus melakukan amputasi atau menghilangkan bagian tubuh. Tapi ada prinsip life saving is number one. Nyawa menjadi prioritas pertama dibanding anggota tubuhnya,” ujar Larona, Jumat (3/10/2025).

Larona menuturkan, awalnya ia menerima laporan adanya santri yang masih hidup di bawah reruntuhan bangunan.

Ia kemudian merangkak sejauh 10 meter ke dalam celah beton untuk mencapai lokasi korban.

“Waktu itu masuk di bawah reruntuhan. Jadi saya merangkak sampai ke dalam itu kira-kira sampai ke tempatnya sekitar 10 meteran,” jelasnya. 

Setelah memastikan Ahmad masih hidup dengan memeriksa nadinya, Larona mendapati lengan kiri korban terjepit beton. Ia pun memutuskan untuk melakukan amputasi di bagian persendian siku.

“Karena kita melakukan amputasi pada daerah lengan, pastinya ada risiko syok dan nyeri yang sangat hebat. Sehingga perlu obat-obatan dari anestesi,” katanya.

Larona keluar terlebih dahulu untuk mengambil obat anestesi, kemudian kembali masuk ke celah reruntuhan.

Proses amputasi dilakukan langsung di lokasi selama sekitar 20 menit.

“Kita amputasi setinggi siku di lokasi kejadian, di bawah reruntuhan. Sekitar 20 menit sudah terpotong, sambil pasien sedikit kita tarik karena sikunya sangat susah dimobilisasi,” tuturnya.

Dr Aaron Franklyn Suaduon Simatupang, anggota tim dr Larona mengakui pengalaman amputasi di lokasi reruntuhan tak bisa dilupakan. 

Saat itu, dokter dari TNI ini tak ada ketakutan sedikitpun untuk merayap masuk ke celah puing reruntuhan bangunan demi menyelamatkan Nur Ahmad.

Dokter Aaron mengambil resiko melakukan amputasi darurat di lokasi yang sebenarnya juga membahayakan dirinya.

"Pikiran saya, sudah siap mati sama pasien kalau bangunan itu runtuh. Karena itu sangat berbahaya, salah gerak sedikit ambruk," kata Dokter Aaron kepada awak media di RSUD Notopuro Sidoarjo, Kamis (2/10/2025) malam. 

Ada banyak tim yang turun saat itu. Namun karena sulitnya Medan, maka mereka berbagi pos.

Dokter Aaron di bawah supervisi Dokter Larona Hydravianto Spesialis Ortopedi dan Traumatologi RSUD Notopuro Sidoarjo, memutuskan untuk menyelamatkan korban yang terancam kehilangan banyak darah lantaran siku lengan kiri sudah tertindih habis oleh beton bangunan.

Dalam ceritanya, Dokter Aaron masih ingat betul bahwa medan saat itu sangat sulit. Karena harus merayap ke dalam.

Ukurannya hanya sekitar 50 cm. Padahal ia tengah berpacu dengan waktu.

Sesampainya di dalam, Dokter Aaron masih sempat berkomunikasi dengan korban. Santri yang menjadi korban reruntuhan ini, memang terus minta tolong. 

Tentu tindakan amputasi tidak langsung dilakukan begitu saja, setelah memastikan kondisi pasien Dokter Aaron lantas keluar untuk kembali berdiskusi dengan tim yang terdiri dari tim dokter senior.

Persiapan matang menjadi pertimbangan utama. Setelah dirasa memungkinkan, maka tindakan dilakukan. 

Dokter Aaron bersyukur pasien berhasil dievakuasi, distabilisasi dan selanjutnya dirujuk ke rumah sakit. "Kita bawa keluar itu less tidak banyak yang darah yang keluar," jelasnya. 

Direktur Utama RSUD RT Notopuro Sidoarjo, dr. Atok Irawan, membenarkan bahwa amputasi dilakukan di lokasi kejadian karena kondisi darurat. 

Menurut dia, keputusan tersebut sempat mendapat protes dari pihak keluarga.

“Sempat yang diamputasi di tempat, keluarga sempat protes, enggak setuju. Ya gimana kalau kondisi darurat, sempat nanya ‘Siapa yang mengizinkan?’,” kata Atok, Selasa (30/9/2025).

Namun, setelah mendapat penjelasan dari tim medis, keluarga akhirnya memahami keputusan tersebut.

“Untungnya dokter kami menjelaskan dengan lembut, dengan sabar, alhamdulillah bisa menerima. Karena situasinya sempit, ini juga sebenarnya membahayakan jiwa nakes kami,” tambahnya.

Usai proses amputasi, Ahmad langsung mendapatkan perawatan medis pertama di lokasi sebelum dibawa ke RSUD RT Notopuro.

“Jadi tetap pertolongan, (korban) dibius di sana, lukanya ditutup. Cuma akhirnya dilakukan pembersihan lagi, dijahit ulang sampai pukul 01.30 WIB baru selesai,” jelas Atok. 

===

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam Whatsapp Channel Harian Surya. Melalui Channel Whatsapp ini, Harian Surya akan mengirimkan rekomendasi bacaan menarik Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Persebaya dari seluruh daerah di Jawa Timur.  

Klik di sini untuk untuk bergabung 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved