Kasus Speech Delay Tembus 7.000 di RSUD Dr. Soetomo Surabaya, Dokter Ingatkan Hal Ini

Data di RSUD Dr. Soetomo Surabaya menunjukkan fenomena yang seharusnya tidak bisa dianggap sepele. 

Penulis: Sulvi Sofiana | Editor: Titis Jati Permata
SURYA.co.id/Sulvi Sofiana
SPEECH DELAY - Foto Ilustrasi, anak memakai gawai sejak usia dini menjadi salah satu penyebab speech delay atau keterlambatan bicara pada anak. Dan Instalasi Rehabilitasi Medik RSUD Dr. Soetomo Surabaya, tempat ribuan anak dengan kasus speech delay menjalani terapi setiap tahunnya. Keterlambatan bicara kini menjadi salah satu masalah perkembangan anak yang paling banyak ditangani di rumah sakit rujukan di Indonesia Timur ini. 

SURYA.CO.ID, SURABAYA – Sepintas, balita yang belum lancar berbicara kerap dianggap wajar.

 Banyak orang tua meyakini anak mereka akan mulai berbicara dengan sendirinya seiring bertambah usia. 

Namun, data di RSUD Dr. Soetomo Surabaya menunjukkan fenomena yang seharusnya tidak bisa dianggap sepele. 

Sepanjang tahun 2024, dari total lebih dari 50 ribu kasus yang ditangani di Instalasi Rehabilitasi Medik, tercatat lebih dari 7.000 di antaranya merupakan kasus speech delay atau keterlambatan bicara pada anak. 

Angka ini bukan hanya mencerminkan tingginya prevalensi, tetapi juga menunjukkan  keterlambatan bicara kini menjadi salah satu masalah perkembangan anak yang paling banyak ditangani di rumah sakit rujukan di Indonesia Timur ini.

Baca juga: RSUD dr Soetomo Surabaya Hadirkan Layanan IKAN DORI : Pasien Kronis Tak Perlu Antre Obat Lagi

“Angka ini cukup tinggi, artinya semakin banyak anak yang membutuhkan intervensi dini untuk masalah perkembangan bicara. Jika tidak ditangani dengan baik, dampaknya bisa panjang, tidak hanya pada kemampuan komunikasi tetapi juga aspek belajar dan sosial anak,” ujar dr. Dewi Masrifah Ayub, Sp.KFR.Ped (K), Dokter Rehabilitasi Medis RSUD Dr. Soetomo Surabaya

Menurut wanita yang akrab dipanggil dr Rifa ini, speech delay terjadi ketika kemampuan bicara dan bahasa anak tidak sesuai dengan tahapan usia yang seharusnya. 

Kondisi ini bisa mulai terlihat sejak bayi, meskipun sering kali orang tua baru menyadarinya ketika anak menginjak usia 18 bulan hingga tiga tahun. 

Ia mencontohkan sejumlah tanda peringatan yang seharusnya diperhatikan orang tua. 

Baca juga: Gedung Suprema di RS Darmo Surabaya, Layanan Modern Tanpa Tinggalkan Heritage

Bayi usia enam bulan yang tidak merespons suara, anak usia satu tahun yang belum bisa menunjuk benda untuk menunjukkan keinginan, atau anak usia dua tahun yang belum mampu menyusun frasa sederhana seperti “mau makan” adalah indikator yang tidak boleh diabaikan.

“Orang tua sering menyepelekan dengan alasan setiap anak berbeda-beda dalam perkembangannya. Memang benar ada variasi, tetapi jika keterlambatan terlalu jauh dari standar usia, itu adalah tanda bahaya. Perlu evaluasi medis, jangan ditunggu sampai anak besar,” tegasnya.

Ia menjelaskan bahwa penyebab keterlambatan bicara bisa beragam. Ada faktor medis seperti gangguan pendengaran atau kelainan anatomi pada mulut, dan ada pula yang terkait dengan gangguan perkembangan saraf, misalnya autisme atau ADHD. 

Namun, satu hal yang kini semakin sering ditemukan adalah kaitannya dengan penggunaan gadget sejak dini.

“Screen time yang berlebihan membuat anak kehilangan kesempatan berinteraksi langsung dengan orang tua. Padahal, bahasa dipelajari lewat komunikasi dua arah. Kalau anak hanya menatap layar, ia menjadi pasif, tidak berlatih merespons, dan inilah yang memicu keterlambatan,” jelasnya. 

Baca juga: RSUD Ibnu Sina Gresik Jadi Rumah Sakit Pendidikan, Ini Pesan Wabup Alif

Sejumlah penelitian juga mendukung pernyataan tersebut. Dikatakannya, anak yang sejak dini terbiasa dengan gadget cenderung memiliki keterampilan komunikasi verbal yang lebih terbatas dibandingkan mereka yang tumbuh dengan interaksi sosial langsung.

Dokter Rifa menekankan, pencegahan bisa dilakukan sejak bayi dengan memberikan stimulasi bahasa yang konsisten. 

Orang tua dianjurkan rutin berbicara dengan anak, membacakan buku cerita, merespons ocehan bayi, hingga mengajak bermain yang melibatkan interaksi sosial. 

Ia mengingatkan, anak di bawah usia dua tahun sebaiknya sama sekali tidak terpapar gadget. Untuk usia di atas dua tahun, penggunaannya maksimal hanya satu jam sehari, dan itu pun harus dengan pendampingan orang tua. 

“Jangan sampai gadget menggantikan peran komunikasi keluarga,” katanya.

Meski demikian, anak yang mengalami speech delay tetap memiliki peluang besar untuk mengejar ketertinggalannya. 

Syaratnya, intervensi dilakukan sejak dini. Masa emas perkembangan otak anak, terutama sebelum usia tiga tahun, adalah periode yang sangat menentukan. 

“Kalau ada keterlambatan, jangan menunggu anak bisa bicara sendiri. Segera bawa ke dokter anak atau spesialis rehabilitasi medis agar bisa dilakukan pemeriksaan dan terapi sesuai penyebabnya. Semakin cepat ditangani, semakin besar pula peluang anak berkembang sesuai usianya,” ujarnya.

Ia juga menekankan pentingnya konsistensi dalam terapi. Proses pemulihan tidak instan, tetapi dengan dukungan orang tua, latihan di rumah, dan terapi profesional yang terstruktur, perkembangan anak bisa sangat signifikan. 

Menurutnya, kolaborasi antara keluarga dan tenaga medis adalah kunci keberhasilan.

Kasus 7.000 anak dengan speech delay yang tercatat di RSUD Dr. Soetomo pada 2024 hanyalah gambaran dari kondisi yang mungkin jauh lebih besar di masyarakat. 

Banyak anak dengan keterlambatan bicara yang tidak pernah terdeteksi karena orang tua memilih untuk menunggu atau tidak tahu harus berkonsultasi ke mana. 

Ia berharap meningkatnya kesadaran orang tua akan tanda-tanda keterlambatan bicara dapat mendorong lebih banyak deteksi dini.

“Jangan merasa malu atau takut jika anak didiagnosis speech delay. Justru dengan penanganan sejak dini, kita bisa membantu mereka tumbuh dan berkembang dengan optimal,” pungkasnya.

BACA BERITA SURYA.CO.ID LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved