Pakar Ekonomi Unair Soroti Wacana Redenominasi Rupiah: Picu Inflasi hingga Dampak Psikologis

Pakar Unair sebut redenominasi Rupiah belum mendesak dan berisiko picu inflasi serta gejolak psikologis di masyarakat berpenghasilan rendah.

Penulis: Fikri Firmansyah | Editor: Cak Sur
Istimewa/Dokumentasi Unair
REDENOMINASI RUPIAH - Guru Besar bidang Ekonomi Moneter dan Perbankan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (UNAIR), Prof Dr Wasiaturrahma SE MSi menilai bahwa wacana redenominasi Rupiah belum mendesak, dan berpotensi menimbulkan dampak inflasi serta gejolak psikologis di masyarakat. 

Ringkasan Berita:
  • Guru Besar FEB Unair, Prof Wasiaturrahma menilai redenominasi Rupiah belum mendesak dan berisiko picu inflasi.
  • Ia mengingatkan dampak psikologis, masyarakat bisa merasa miskin akibat penyederhanaan nominal uang.
  • Prof Rahma meminta pemerintah tak terburu-buru agar tak timbul keresahan dan panic buying di masyarakat.

 

SURYA.CO.ID, SURABAYA - Gagasan redenominasi atau penyederhanaan nilai mata uang Rupiah kembali mencuat dan menuai sorotan dari kalangan akademisi.

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, Jawa Timur (Jatim), Prof Dr Wasiaturrahma, SE, MSi, menilai wacana tersebut belum mendesak, dan justru berpotensi menimbulkan risiko bagi perekonomian nasional.

Belum Ada Urgensi dan Berisiko Picu Inflasi

Menurut Prof Wasiaturrahma atau Rahma, kondisi ekonomi nasional saat ini belum stabil dan belum membutuhkan langkah ekstrem seperti redenominasi.

Ia menegaskan, sektor bisnis juga tidak menuntut adanya penyederhanaan nominal uang, sehingga kebijakan ini tidak mendesak untuk dilakukan.

“Tidak ada urgensinya. Sektor bisnis tidak ada yang komplain dan bilang harus redenominasi. Malah bahaya, karena banyak barang-barang yang harganya masih seribu dua ribu. Kalau seribu jadi seperak, barang-barang itu susah naik secara pecahan. Akibatnya kalau naik bisa menyebabkan inflasi,” tegas Prof Rahma, Kamis (13/11/2025).

Dampak Psikologis Bisa Munculkan Persepsi Kemiskinan

Lebih lanjut, Prof Rahma menyoroti adanya dampak psikologis yang bisa muncul di masyarakat jika redenominasi diterapkan tanpa sosialisasi matang.

Menurutnya, perubahan nilai nominal uang bisa menimbulkan kesalahpahaman dan rasa miskin mendadak di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah.

“Jangan lupa dampak psikologisnya. Sekitar 190 juta rakyat kita masih hidup dengan 50 ribu per hari. Kalau 50 ribu jadi 50 perak, mereka bisa merasa tiba-tiba jadi ‘miskin’ sekali,” jelasnya.

Kondisi Global Masih Tidak Stabil

Prof Rahma juga mengingatkan, wacana redenominasi sebaiknya ditunda karena kondisi ekonomi global masih labil.

Ia menyoroti defisit fiskal Amerika Serikat yang mencapai 6 persen dan potensi resesi yang masih tinggi, sehingga bisa berdampak pada perekonomian Indonesia.

“Ekonomi belum stabil. Pertumbuhan, inflasi, tekanan eksternal dan persoalan struktural domestik masih rentan,” ungkapnya.

Pemerintah Diminta Tak Terburu-Buru

Lebih jauh, Prof Rahma mengingatkan, bahwa keberhasilan redenominasi sangat bergantung pada kesiapan lembaga keuangan dan sosialisasi kepada masyarakat.

Jika langkah ini disalahartikan sebagai pemotongan uang (sanering), maka bisa menimbulkan panic buying, dan menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah.

“Publik bisa salah paham, menganggap redenominasi sebagai pemotongan uang. Itu bisa menimbulkan kepanikan,” tegasnya.

Prof Rahma pun meminta pemerintah untuk tidak terburu-buru melontarkan wacana yang bisa menimbulkan keresahan.

“Saat ini, publik sedang fokus menstabilkan keuangan rumah tangga akibat pelemahan ekonomi dan terbatasnya lapangan kerja baru,” pungkasnya.

Sumber: Surya
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved