Berita Viral

Rekam Jejak Ray Rangkuti yang Sebut Soeharto Tak Layak Jadi Pahlawan Nasional, Hancurkan Demokrasi

Inilah rekam jejak Ray Rangkuti, yang menilai Presiden ke-2 RI Soeharto tak layak mendapat gelar Pahlawan Nasional.

Penulis: Arum Puspita | Editor: Musahadah
Kolase Tribunnews Danang Triatmojo
TAK LAYAK - (kiri ke kanan) Diskusi publik bertajuk 'Soeharto, Pahlawan atau Penjahat HAM' di Grand Sahid Jaya, Jakarta, Sabtu (24/5/2025) Pengamat politik, Ray Rangkuti 
Ringkasan Berita:
  • Wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional terhadap Presiden ke-2 RI Soeharto, menuai polemik.
  • Pengamat Politik Direktur Eksekutif Lingkar Madani, Ray Rangkuti, sebut Soeharto tak layak mendapat gelar Pahlawan Nasional.
  • Menurutnya, saat Soeharto menjabat presiden terjadi otoritarianisme selama puluhan tahun, dan tidak ada sistem demokrasi. 

 

SURYA.CO.ID - Inilah rekam jejak Ray Rangkuti, yang menilai Presiden ke-2 RI Soeharto tak layak mendapat gelar Pahlawan Nasional.

Pengamat Politik Direktur Eksekutif Lingkar Madani, Ray Rangkuti menilai, selama Soeharto menjadi Presiden, telah terjadi Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Hal tersebut berdasarkan keputusan TAP MPR.  

"Apa ya yang dimaksud berdamai dengan sejarah itu?"

"Apakah maksudnya menjadikan seorang yang pernah disebut di dalam TAP MPR sebagai orang yang harus diselidiki dugaan KKN-nya selama menjabat sebagai pahlawan?"

"Menjadikan seseorang yang di eranya sedang berkuasa, begitu banyak terjadi pelanggaran HAM sebagai pahlawan," kata Ray Rangkuti, Rabu (5/11/2025), dikutip SURYA.CO.ID dari Tribunnews.com.

Saat Soeharto menjabat presiden, menurutnya, terjadi otoritarianisme selama puluhan tahun, dan tidak ada sistem demokrasi. 

"Di masanya, demokrasi diberangus."

"Apakah hal ini yang disebut berdamai dengan sejarah. Jika begitu adanya, tentulah akan banyak orang yang tidak ingin berdamai dengan sejarah," sambungnya. 

Baca juga: Sosok Serma Christian, Ayah Prada Lucky yang Dilaporkan Imbas Mengaku Tak Percaya Peradilan Militer

Berdamai dengan sejarah tidak serta merta memaafkan pejabat yang disebut melakukan pelanggaran HAM, dan juga menyuburkan praktek KKN selama Soeharto menjabat Presiden.

"Pertanyaannya, apakah berdamai dengan sejarah itu harus memaafkan berbagai mantan pejabat yang disebut melakukan pelanggaran HAM, menyuburkan praktek KKN dan menghancurkan demokrasi, bahkan akan mengangkatnya menjadi pahlawan?" tuturnya. 

Meski demikian, kata dia, jika Presiden Soeharto nantinya diberikan gelar pahlawan nasional, maka pemerintah menilai bahwa kepemimpinan Soeharto dapat menjadi contoh yang baik dan menjadi tauladan.

Bagi kehidupan pejabat dan elite. 

"Jika iya begitu, biarlah mereka melakukannya. Karena mungkin, mereka ingin menjadikan seseorang yang seperti disebut di atas sebagai tauladan bagi kehidupan mereka," ujarnya. 

Padahal, lanjut Ray, Presiden Soeharto tidak layak menjadi pahlawan nasional karena berbagai permasalahan dan kasus pelanggaran HAM yang terjadi saat memimpin negara ini. 

"Seseorang yang pernah disebut menyuburkan KKN, di eranya terjadi pelanggaran HAM yang masif dan demokrasi yang diberangus."

Baca juga: Sosok Hakim Khamozaro Waruwu yang Rumahnya Ludes Terbakar Sehari Jelang Tuntutan Terdakwa Korupsi

"Mungkin, bagi mereka, pejabat yang seperti inilah yang layak untuk diteladani," tandasnya Ray. 

Rekam Jejak Ray Rangkuti

Ray Rangkuti memiliki nama asli Ahmad Fauzi. 

Dia lahir di Mandailing Natal, Sumater Utara, 20 Agustus 1969.

Ray Rangkuti menyelesaikan pendidikannya dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 

Nama Ray Rangkuti mulai dikenal saat aktif dalam gerakan reformasi untuk menumbangkan otoriter Orde Baru.

Dia juga menjadi salah satu pendiri Komite Independen Pemantau Pemilih (KIPP) dan sempat menjadi Sekjen KIPP pasca Pemilu 1999.

Setelah melepas jabatan KIPP, Ray Rangkuti mendirikan Lingkar Madani (Lima), lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang beraktivitas memantau pemilu, mengkritisi parlemen, serta memerangi korupsi.

Baca juga: Ternyata Nenek Mutmainah yang Tewas Dibakar di Hutan Dijuluki Orang Pintar, Ini Terduga Pembunuh

Suara pedas Ray Rangkuti sering terdengar saat mengkritisi para elit partai politik.

Politisi PDIP Juga Menolak

Sebelum Ray Rangkuti, politisi PDIP Bonnie Triyana juga menyampaikan penolakan terhadap usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto.

Bonnie yang menjabat sebagai Kepala Badan Sejarah Indonesia DPP PDIP mengatakan, pemberian gelar pahlawan bagi Soeharto akan membuat generasi muda kehilangan acuan tentang pemimpin yang baik. 

Seperti diketahui, Soeharto termasuk dari 40 nama yang diusulkan untuk mendapat gelar pahlawan nasional pada peringatan Hari Pahlawan 10 November 2025 mendatang. 

“Menurut hemat saya, ya kita harus tolak, saya sendiri menolak," katanya, dilansir dari Kompas.id.

Bonnie mengatakan, selama ini masyarakat ingin standar jelas tentang sosok pemimpin.

Di antaranya tidak melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) maupun praktik korupsi.

"Selama ini, kan, kita selalu ingin ada satu standar tentang bagaimana sih menjadi pemimpin publik yang demokratis, yang menghargai manusia sehingga ketika seorang menjadi pemimpin publik, ya tidak ada pelanggaran HAM, tidak ada korupsi, itu sudah clear."

'Kalau tokoh yang berkuasa selama 30 tahun dijadikan pahlawan, anak muda akan kehilangan ukuran. Mereka bisa berpikir, ‘Oh, yang seperti ini pun bisa jadi pahlawan’,” katanya.

Di sisi lain, Bonnie menilai, pemberian gelar Soeharto sebagai pahlawan akan menimbulkan kontradiksi dengan semangat reformasi yang membatasi kekuasaan.

“Kita membatasi kekuasaan justru karena pengalaman di masa itu. Kalau sekarang tiba-tiba Soeharto dijadikan suri teladan, lalu reformasi itu untuk apa? Ini, kan, juga mencederai cita-cita reformasi itu sendiri,” tuturnya.

Dia menyebut Soeharto memang seorang tokoh bangsa. Namun, kata dia, fakta sejarah mengenai pelanggaran HAM dan kasus korupsi pada masa Orde Baru tidak bisa diabaikan.

“Kalau pemberian gelar ini, kan, kemudian menjadi menyingkirkan pandangan-pandangan kritis terhadap masa lalunya dan mengakhiri diskusi itu sendiri. Kita juga kehilangan standar moral publik. Suara-suara korban harus didengarlah,” ucap Bonnie.

Terpisah, Menteri Sosial (Mensos) RI Saifullah Yusuf atau Gus Ipul mengklaim, usulan agar Soeharto mendapatkan gelar pahlawan nasional sudah melalui proses panjang.

Menurutnya, usulan ini sudah ada sejak ia pertama kali menjabat sebagai Mensos. Bahkan, sidang untuk membahas usulan tersebut sudah berulang kali digelar.

"Jadi ini juga sudah dibahas oleh tim secara sungguh-sungguh. Berulang-ulang mereka melakukan sidang, telah melalui proses itu," kata Gus Ipul di Kantor Kemensos, Jakarta, Kamis (23/10/2025).

Gus Ipul menegaskan 40 nama, termasuk Soeharto, yang diusulkan ke Dewan Gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan sudah tuntas dan memenuhi syarat yang ada.

"Nah semuanya nanti tergantung di Dewan Gelar. Tetapi yang kita lihat di sini adalah syarat-syarat formilnya telah mencukupi," ujarnya.

Di sisi lain, Gus Ipul menghargai semua pendapat baik yang pro dan kontra terkait nama-nama pahlawan yang sudah diusulkan Kemensos. Semua pandangan baik yang pro dan kontra pun turut dijadikan pertimbangan.

"Dan kami kita semua menghargai segala perbedaan pendapat yang ada baik yang ada di dalam tim sendiri, maupun yang ada di tengah-tengah masyarakat. Semua pendapat tentu dijadikan pertimbangan," kata dia lagi.

Proses pertimbangan terkait 40 nama yang diusulkan juga dilakukan tidak hanya oleh Kemensos, melainkan dengan mendengarkan pandangan beragam tokoh hingga ahli.

"Tetapi apa yang kita lakukan ini semuanya telah melalui berbagai pertimbangan. Bukan saya sendiri, tapi ada tim dan timnya juga dari berbagai kalangan, akademisi ada, tokoh agama ada, dan juga perwakilan-perwakilan dari daerah juga ada," ucapnya lagi.

===

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam Whatsapp Channel Harian Surya. Melalui Channel Whatsapp ini, Harian Surya akan mengirimkan rekomendasi bacaan menarik Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Persebaya dari seluruh daerah di Jawa Timur.  

Klik di sini untuk untuk bergabung 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved