Berita Viral

Beda Pramono Anung dan Bobby Nasution Tanggapi Kebijakan Menkeu Purbaya Pangkas Dana Transfer Daerah

Pramono Anung berbeda dengan Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Bobby Nasution saat menanggapi kebijakan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa.

Editor: Musahadah
kolase tribunnews/kompas.com
PANGKAS - Gubernur DKi Jakarta Pramono Anung berbeda dengan Gubernur Sumut Bobby Nasiution saat menanggapi pemangkasan dana transfer ke daerah yang dilakukan Menkeu Purbaya. 

SURYA.CO.ID - Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung berbeda dengan Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Bobby Nasution saat menanggapi kebijakan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa memangkas dana transfer ke daerah (TKD) 2026. 

Diketahui, dana transfer untuk Pemprov Sumut tahun 2025 dipotong Rp 1,1 triliun, dari total lebih dari Rp 5,5 triliun.

Dengan pemangkasan Rp 1,1 triliun, maka alokasi dana transfer tahun 2026 diperkirakan tinggal sekitar Rp 4,4 triliun.

Sementara DKI Jakarta mengalami pengurangan dana transfer ke daerah atau Dana Bagi Hasil (DBH)  sebesar Rp 15 triliun.

Meski begitu, Pramono Anung mengaku tidak keberatan dengan kebijakan pemerintah pusat itu. 

Baca juga: Rekam Jejak 18 Gubernur yang Protes ke Menkeu Purbaya soal Pemotongan TKD, Ada Ahmad Luthfi

Bahkan saat pertemuan dengan Menkeu Purbaya di Balai Kota, Selasa (7/9/2025), Pramono tidak memprotes pemotongan itu. 

Dalam pertemuan dengan Purbaya, Pramono tidak memprotes kebijakan itu. 

Pramono bahkan bertekad akan mengikuti langkah fiskal yang sudah ditetapkan pemerintah pusat. 

"Jakarta betul-betul ingin menyelaraskan kebijakan fiskal yang telah diambil oleh pemerintah pusat dalam hal ini, terutama pemotongan DBH. Pemerintah Jakarta sama sekali tidak akan argue terhadap itu," ucap Pramono, Selasa.

Pramono menjelaskan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) turun menjadi Rp 79 triliun usai DBH dipangkas sekitar Rp 15 triliun.

Pramono meyakini kebijakan yang ditetapkan pemerintah pusat itu, sudah melalui pertimbangan yang matang.

"Kami tahu pasti langkah yang diambil oleh pemerintah pusat sudah dipikirkan secara matang, dan kami mengikuti sepenuhnya. Termasuk penyesuaian untuk dana bagi hasil," lanjut Pramono.

Dalam wawancara sebelumnya, Pramono bertekat akan melakukan efisiensi di sejumlah pos, mulai dari perjalanan dinas hingga konsumsi makan dan minum di Balai Kota Jakarta. 

“Yang jelas hal-hal efisiensi yang dilakukan yang berkaitan misalnya perjalanan dinas, kemudian anggaran-anggaran yang belanja yang bukan menjadi prioritas utama. Kemudian juga hal-hal yang berkaitan dengan makan, minum, dan sebagainya. Jadi memang efisiensi akan dilakukan juga di balai kota,” ungkap Pramono di Balai Kota Jakarta, Senin (6/10/2025). 

“Untuk itu harus ada realokasi, efisiensi, dan juga stressing pada hal-hal yang tidak boleh dikurangkan,” kata Pramono.

Meski demikian, Pramono menegaskan, program prioritas yang langsung menyentuh kebutuhan masyarakat tidak akan terganggu. 

Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang saat ini diberikan kepada 707.513 siswa serta Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul (KJMU) untuk 16.979 penerima akan tetap dijalankan.

“Program-program yang menyasar warga kurang mampu tidak boleh diutak-atik. Yang lain akan dilakukan refocusing, efisiensi, dan realokasi,” ucap dia.

Selain efisiensi internal, Pemprov DKI juga menyiapkan skema pendanaan alternatif melalui creative financing.

Menurut Pramono, sejumlah proyek strategis tetap dilanjutkan, namun tidak lagi sepenuhnya bergantung pada dana APBD.

“Sehingga dan demikian hal-hal yang bisa katakanlah dibangun dengan berpartner pekerja sama, mitra strategis, ataupun dari dana KLB, SLF, SP3L, dan sebagainya tetap akan dilakukan,” kata dia.

Pramono menambahkan, subsidi transportasi yang selama ini cukup besar juga akan dievaluasi. 

Saat ini, biaya subsidi transportasi per orang mencapai Rp15.000, sementara tarif yang dibayar masyarakat hanya Rp3.500.

“Subsidi itu akan dikaji kembali. Tapi yang jelas program untuk warga kurang mampu tetap aman,” ujar dia.

Pramono mengakui pemotongan DBH di Jakarta menjadi yang terbesar dibanding daerah lain.

Namun, ia menegaskan Pemprov DKI tetap optimistis melanjutkan pembangunan.

“Ini menjadi tantangan bagi saya dan Pak Wagub untuk bisa menyelesaikan tetap target kami dengan baik,” ungkap Pramono.

Reaksi Bobby Nasution

Sementara itu, Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution mengatakan, pemangkasan ini tidak terlalu berpengaruh pada keuangan Pemprov Sumut, tetapi sangat berdampak bagi kabupaten dan kota dengan pendapatan asli daerah (PAD) kecil.

"Ada daerah mungkin untuk di provinsinya berimbas, tapi untuk kabupaten yang kecil itu yang kasihan. Seperti di Kabupaten Nias atau daerah lain yang PAD-nya kecil dan masih kekurangan dana transfer, khususnya daerah afirmasi, kalau bisa lebih diperhatikan lah,” ujarnya. 

Ia menjelaskan, pengurangan anggaran tersebut bisa berimbas pada lima program prioritas Pemprov Sumut. 

Jika kondisi ini berlanjut, pihaknya membuka kemungkinan melakukan perubahan terhadap Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).

“Kita prioritaskan dulu lima program kita dan juga kalau memang masih berlanjut tadi disarankan juga perubahan RPJMD,” katanya.

Sebelumnya, Bobby bersama 17 kepala daerah lain memprotes kebijakan Menkeu Purbaya

Mereka adalah Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi; Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengkubuwana X.

Gubernur Jambi, Al Harris; Gubernur Kalimantan Timur, Rudy Mas'ud; Gubernur Kalimantan Utara, Zainal Paliwang; Gubernur Bangka Belitung, Hidayat Arsani; Gubernur Banten, Andra Soni; Gubernur Kepulauan Riau, Ansar Ahmad; Gubernur Sulawesi Tengah, Anwar Hafid.

Gubernur Sumatera Barat, Mahyeldi Ansharullah; Gubernur Papua Pegunungan, John Tabo; Gubernur Bengkulu, Helmi Hasan; Gubernur Aceh, Muzakir Manaf; Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution.

Gubernur Lampung, Jihan Nurlela; Gubernur Sulawesi Selatan, Andi Sudirman Sulaiman; serta Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), Indah Dhamayanti Putri.

Mereka datang menemui Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa untuk menyampaikan penolakan terhadap kebijakan pemangkasan anggaran Transfer ke Daerah (TKD) pada Selasa (7/10/2025). 

Mereka menilai, kebijakan itu justru membebani daerah, terutama dalam pembiayaan pegawai dan pembangunan infrastruktur.

Diberitakan, pemerintah memutuskan untuk memangkas anggaran transfer ke daerah (TKD) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026.

Dalam APBN 2026, pemerintah menetapkan TKD sebesar Rp 693 triliun, naik Rp 43 triliun dari usulan awal Rp 649,99 triliun.

Namun nominal tersebut masih lebih rendah dibandingkan alokasi TKD pada APBN 2025 yang mencapai Rp 919,87 triliun.

Penjelasan Menkeu Purbaya

(kiri) Menteri Keuangan RI, Purbaya Yudhi Sadewa, menemui Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung di Balai Kota Jakarta pada Selasa (7/10/2025).
(kiri) Menteri Keuangan RI, Purbaya Yudhi Sadewa, menemui Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung di Balai Kota Jakarta pada Selasa (7/10/2025). (Kolase Kompas.com Ruby Rachmadina/Tribunnews)

Menkeu Purbaya menyebut, keputusan tersebut bukan tanpa alasan.

Keterbatasan fiskal membuat pemerintah pusat harus berhitung lebih ketat dalam menyalurkan dana ke daerah.

Kendati demikian, pemerintah pusat tidak menutup kemungkinan mengembalikan anggaran transfer ke daerah apabila kondisi ekonomi nasional mengalami perbaikan.

Apabila penerimaan negara, terutama dari sektor pajak, meningkat di pertengahan kuartal II-2026, maka pemerintah akan melakukan evaluasi ulang terhadap kebijakan pemangkasan tersebut.

Artinya, pemotongan anggaran TKD yang dilakukan saat ini bersifat sementara dan akan disesuaikan kembali mengikuti perkembangan ekonomi nasional.

“Saya sudah janji dengan Pak Gubernur dan pemerintah daerah lain, kalau ekonomi membaik, arahnya akan berbalik. Tahun depan akan terlihat lebih cepat."

"Pertengahan triwulan II tahun depan, saya akan hitung lagi berapa pajak yang masuk. Kalau lebih, dana akan dikembalikan ke daerah,” ujar Purbaya saat bertemu dengan Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung di Balai Kota Jakarta, Selasa (7/10/2025).

Menurutnya, pemotongan DBH dan TKD dilakukan secara proporsional.

Di mana semakin besar kontribusi suatu daerah terhadap penerimaan negara, semakin besar pula pemotongannya.

“Kalau lihat dari proporsional, semakin besar kontribusinya, pasti semakin besar kepotongannya. Kira-kira begitu, sederhana itu. Itu kan semacam pukul rata berapa persen, tapi juga dilihat kebutuhan daerahnya,” jelasnya.

Ia yakin, DKI Jakarta masih mampu bertahan meskipun mengalami pemotongan DBH yang cukup signifikan.

Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Dana Transfer Sumut Dipangkas Rp 1,1 Triliun, Bobby: Kasihan Daerah Kecil"

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved