Berita Viral

Gebrakan Menkeu Purbaya Guyur Rp 200 Triliun ke 6 Bank Nasional Disorot Ekonom UGM: Hati-hati Ya

Gebrakan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa terkait kebijakan guyur Rp 200 triliun ke 6 bank nasional ramai jadi sorotan.

Youtube CXO Media
GEBRAKAN MENKEU - Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Gebrakannya Guyur Rp 200 Triliun ke 6 Bank Nasional Disorot Ekonom UGM. 

SURYA.co.id - Gebrakan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa terkait kebijakan guyur Rp 200 triliun ke 6 bank nasional ramai jadi sorotan.

Salah satunya Ekonomi dan peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM), Sekar Utami Setiastuti.

Sekar menilai Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa perlu bersikap waspada dalam menjalankan kebijakan penyaluran dana pemerintah yang tersimpan di rekening Bank Indonesia (BI).

Jumlah dana yang dimaksud mencapai Rp200 triliun dan mulai digelontorkan ke enam bank nasional.

Penempatan dana ini, yang bersumber dari saldo anggaran lebih (SAL), resmi dimulai pada Jumat (12/9/2025).

Bank penerima meliputi Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Mandiri, Bank Tabungan Negara (BTN), Bank Syariah Indonesia (BSI), serta Badan Syariah Nasional (BSN). Nantinya, setiap bank memperoleh alokasi berbeda sesuai keputusan Kementerian Keuangan.

Baca juga: Profil Rocky Gerung yang Diledek Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa Gara-gara Sering Kritik Jokowi

Dana tersebut diharapkan bisa memperkuat likuiditas perbankan dan diteruskan ke masyarakat dalam bentuk kredit.

Purbaya sendiri mengakui bahwa kebijakan ini belum disertai proyeksi dampak terukur terhadap perekonomian maupun sektor kredit.

Meski begitu, ia menegaskan bahwa langkah awal yang diambil adalah "mengguyur likuiditas perbankan" sembari menunggu hasilnya terhadap kondisi ekonomi nasional.

Sekar mengingatkan agar kebijakan tersebut tetap dikalkulasi secara hati-hati. Menurutnya, implikasi terhadap stabilitas perbankan dan inflasi harus menjadi perhatian serius.

"Harus hati-hati juga ya, karena kita harus lihat juga efeknya ke perbankan dan inflasi," ujar Sekar, Jumat (12/9/2025), dikutip dari YouTube Kompas TV.

Ia kemudian membandingkan pendekatan Purbaya dengan gaya kepemimpinan Menteri Keuangan sebelumnya, Sri Mulyani Indrawati.

Selama menjabat, Sri Mulyani dinilai konsisten menjaga sikap fiskal yang konservatif.

"Kalau kita lihat Bu SMI (Sri Mulyani), selama masa jabatannya memiliki fiscal stance yang relatif hati-hati ya. Jadi kalau kita lihat beliau selalu menjaga defisit yang realistis, kemudian fokus pada program prioritas, menjaga stabilitas fiskal dan juga melakukan reformasi pada sisi penerimaan," jelasnya.

Sekar menegaskan, bukan berarti langkah Purbaya keliru. Ia menilai Purbaya justru ingin lebih ekspansif dalam kebijakan fiskal, yakni dengan memperbesar peran belanja pemerintah untuk mendukung pertumbuhan dan daya beli masyarakat.

"Saya lihat Pak Purbaya, sepertinya lebih ingin mengambil stance yang lebih ekspansif atau lebih aktif dalam penggunaan instrumen fiskalnya, terutama yang disampaikan adalah untuk mendorong pertumbuhan dan daya beli gitu ya," katanya.

Meski demikian, Sekar menekankan bahwa sikap fiskal yang konservatif tetap memiliki banyak keunggulan.

"Pertanyaannya adalah, apakah stance konservatif itu buruk? Sebenarnya it's not necessarily bad ya, karena kondisi atau kita lihat ya stance yang konservatif itu diperlukan untuk menjaga fundamental dan kredibilitas fiskal," tambahnya.

Ia menyebutkan, kebijakan yang lebih hati-hati mampu menjaga kepercayaan pasar, menekan premi utang, serta menstabilkan nilai rupiah. Selain itu, risiko lonjakan defisit dapat dihindari sehingga krisis fiskal tidak mudah terjadi.

"Jadi ada beberapa kelebihan stance yang konservatif, misalnya adalah menjaga kepercayaan pasar ya, supaya resiko premi utang itu rendah, kemudian supaya rupiah lebih stabil, kemudian juga kalau kita lihat kestabilan makro, inflasi lebih terjaga dan tidak ada lonjakan defisit yang kemudian misalnya bisa memicu krisis fiskal," terang Sekar.

Di akhir penjelasannya, ia menambahkan bahwa ruang fiskal jangka panjang juga penting untuk disiapkan.

"Nah, yang penting adalah ruang fiskal jangka panjang, karena kalau misalnya nanti ada krisis lagi, negara kita masih punya ruang untuk stimulus gitu," pungkasnya.

Strategi Penyaluran Dana ke Perbankan

Sebelumnya, Menkeu Purbaya jelaskan dana Rp 200 triliun akan disalurkan ke perbankan untuk dorong ekonomi, dengan larangan tegas membeli Surat Utang Negara (SUN)

“Ini seperti Anda naruh deposito di bank, kira-kira gitu kasarnya. Nanti penyalurannya terserah bank, tetapi bukan untuk membeli SUN lagi,” jelasnya.

Purbaya juga meminta BI agar tidak menyerap dana tersebut sehingga uang benar-benar beredar di sistem ekonomi.

“Jadi, uangnya betul-betul ada dalam sistem perekonomian sehingga ekonominya bisa jalan,” tambah dia.

Purbaya menilai kebijakan ini aman dari inflasi, sebab pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih 5 persen jauh di bawah ambang batas.

“Kita masih jauh dari inflasi. Jadi kalau saya injek stimulus ke perekonomian, seharusnya tidak memicu kenaikan harga signifikan,” katanya.

Sejak krisis keuangan, Indonesia belum pernah mencatat pertumbuhan di atas 6,5 persen.

Artinya, ruang untuk mendorong ekonomi lebih cepat masih terbuka tanpa menimbulkan risiko inflasi berlebihan.

Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Purbaya mengungkapkan, dana Rp 200 triliun berasal dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) dan Sisa Lebih Pembayaran Anggaran (SiLPA) senilai Rp 425 triliun yang mengendap di rekening pemerintah di BI.

“Kalau uang tunai hanya diendapkan di bank sentral, maka tidak menggerakkan perekonomian. Besok saya taruh Rp 200 triliun ke sistem perbankan,” ujarnya.

Penempatan dana di perbankan akan memaksa bank menyalurkan kredit untuk memperoleh return yang lebih tinggi dari biaya (cost) dana.

“Di situlah mulai kredit tumbuh. Jadi saya memaksa mekanisme market berjalan dengan memberi senjata ke mereka,” jelas Purbaya.

Jika kebijakan ini terbukti berhasil menggerakkan ekonomi, Purbaya menyatakan strategi serupa akan terus diterapkan.

Pemerintah berharap aliran dana langsung ke masyarakat akan menstimulasi aktivitas ekonomi dan meningkatkan penyerapan kredit di sektor riil.

“Sistem finansial kita agak kering, makanya ekonominya melambat. Orang susah cari kerja dan lain-lain karena ada kesalahan kebijakan moneter dan fiskal sebelumnya,” tambahnya.

Kebijakan fiskal yang diambil Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa jelas menunjukkan arah baru dalam pengelolaan kas negara.

Penempatan dana pemerintah senilai Rp200 triliun di perbankan memang berpotensi menggerakkan roda ekonomi melalui tambahan likuiditas dan kucuran kredit. Namun, langkah ini ibarat pedang bermata dua.

Di satu sisi, ekspansi fiskal bisa mempercepat pertumbuhan dan memperkuat daya beli masyarakat, terlebih ketika dunia usaha tengah membutuhkan dukungan.

Tetapi di sisi lain, risiko yang dikhawatirkan para ekonom seperti Sekar Utami Setiastuti juga nyata: inflasi bisa meningkat, stabilitas perbankan bisa terguncang, bahkan kredibilitas fiskal jangka panjang terancam jika tidak dikelola dengan cermat.

Menariknya, perbandingan dengan pendekatan Sri Mulyani menyoroti kontras gaya kepemimpinan fiskal. Sri Mulyani selalu menekankan kehati-hatian, menjaga defisit, dan mengutamakan stabilitas jangka panjang.

Sementara Purbaya tampak lebih agresif, mencoba “mengguyur” likuiditas dan melihat hasilnya langsung di lapangan.

Di sinilah tantangan terbesar: menemukan titik keseimbangan antara keberanian mengambil risiko dan kehati-hatian menjaga fundamental.

Jika kebijakan ini sukses, Purbaya bisa mencatatkan prestasi sebagai Menkeu yang berani keluar dari pakem lama. Namun, jika salah langkah, konsekuensi yang muncul bisa jauh lebih berat ketimbang manfaat jangka pendek yang diharapkan.

>>>Update berita terkini di Googlenews Surya.co.id

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved