Berita Viral

Siapa Subhan? Warga yang Gugat Wapres Gibran Rakabuming Sebesar Rp 125 Triliun, Pernah Ditolak PTUN

Sosok hingga rekam jejak Subhan, warga sipil yang berani menggugat Wapres Gibran Rakabuming sebesar Rp 125 triliun ramai jadi sorotan.

kolase youtube
GIBRAN DIGUGAT - Kolase foto Wapres Gibran Rakabuming (kiri) dan Subhan (kanan), warga sipil penggugat Gibran. 

SURYA.co.id - Sosok hingga rekam jejak Subhan, warga sipil yang berani menggugat Wapres Gibran Rakabuming sebesar Rp 125 triliun ramai jadi sorotan.

Ternyata, Subhan sebelumnya sempat mengajukan gugatan ke PTUN DKI Jakarta.

Tapi gugatannya ditolak karena kehabisan waktu.

Subhan Palal resmi melayangkan gugatan perdata terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Gugatan itu didaftarkan pada Jumat (29/8/2025) dan teregistrasi dengan nomor perkara 583/Pdt.G/2025/PN Jkt.Pst.

Dalam dokumen gugatan, Subhan meminta majelis hakim menghukum Gibran bersama Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk membayar ganti rugi fantastis, yakni Rp125 triliun serta tambahan Rp10 juta yang akan disetorkan ke kas negara.

“Menghukum Para Tergugat secara tanggung renteng membayar kerugian materiil dan immateriil kepada Penggugat dan seluruh Warga Negara Indonesia sebesar Rp 125 triliun dan Rp 10 juta dan disetorkan ke kas negara,” demikian bunyi salah satu petitum gugatan tersebut.

Ijazah SMA Jadi Pokok Gugatan

Subhan menjelaskan, gugatan diajukan karena ia menilai Gibran tidak memenuhi syarat pendidikan minimum dalam pencalonan wakil presiden pada Pilpres lalu.

“Syarat menjadi cawapres tidak terpenuhi. Gibran tidak pernah sekolah SMA sederajat yang diselenggarakan berdasarkan hukum RI,” ujar Subhan saat dihubungi, Rabu (3/9/2025), melansir dari Kompas.com.

Berdasarkan data KPU di laman infopemilu.kpu.go.id, Gibran menyelesaikan pendidikan setara SMA di dua institusi luar negeri: Orchid Park Secondary School, Singapura (2002–2004), dan UTS Insearch, Sydney, Australia (2004–2007).

Menurut Subhan, kedua institusi itu tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU Pemilu.

“Karena di UU Pemilu itu disyaratkan, presiden dan wakil presiden itu harus minimum tamat SLTA atau sederajat,” ujarnya dalam program Sapa Malam Kompas TV, Rabu (3/9/2025).

Ia menilai KPU tidak berwenang menetapkan kesetaraan ijazah luar negeri dengan SMA dalam negeri.

“Meski (institusi luar negeri) setara (SMA), di UU enggak mengamanatkan itu. Amanatnya tamat riwayat SLTA atau SMA, hanya itu,” kata Subhan.

Menurutnya, definisi SLTA atau SMA yang tercantum dalam UU Pemilu merujuk pada lembaga pendidikan di Indonesia.

“Ini pure hukum, ini kita uji di pengadilan. Apakah boleh KPU menafsirkan pendidikan sederajat dengan pendidikan di luar negeri,” lanjutnya.

Gugatan Sebelumnya di PTUN

Sebelum mendaftarkan gugatan perdata ke PN Jakpus, Subhan mengaku pernah mengajukan gugatan serupa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) DKI Jakarta.

Namun, perkara itu tidak diterima karena sudah melewati batas waktu pengajuan.

Dalam penjelasan Kompas TV, presenter Frisca Clarissa membacakan isi putusan:

“Penetapan dismissal. Karena dari segi waktu PTUN Jakarta tidak lagi berwenang memeriksa sengketa berkaitan dengan surat penetapan KPU berkaitan dengan penetapan paslon capres cawapres makanya gugatan penggugat tidak diterima, begitu ya.”

Meski Subhan tidak menyebutkan kapan putusan itu dijatuhkan, diketahui bahwa putusan sengketa Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi dibacakan pada 22 April 2024.

Beberapa bulan setelahnya, gugatan PDI-P terhadap pencalonan Gibran di PTUN Jakarta juga ditolak. Putusan PTUN dibacakan pada 25 Oktober 2024 tanpa mengubah status Gibran.

Tegaskan Tak Ada Motif Politik

Subhan menepis anggapan bahwa dirinya ditunggangi kekuatan politik tertentu. Ia menyebut gugatannya murni inisiatif pribadi.

“Saya maju sendiri. Enggak ada yang sponsor,” kata Subhan.

Ia juga menduga KPU berada dalam tekanan saat memproses pencalonan Gibran.

“Saya lihat, hukum kita dibajak nih kalau begini caranya. Enggak punya ijazah SMA (tapi bisa maju Pilpres).

Ada dugaan, KPU kemarin itu terbelenggu relasi kuasa,” ujarnya.

Subhan menegaskan, tuntutan ganti rugi dalam petitum ditujukan untuk kepentingan negara, bukan keuntungan pribadi.

“Menghukum Para Tergugat secara tanggung renteng membayar kerugian materiil dan immateriil kepada Penggugat dan seluruh Warga Negara Indonesia sebesar Rp 125 triliun dan Rp 10 juta dan disetorkan ke kas negara,” tulis isi petitum.

Sidang perdana perkara perdata ini dijadwalkan berlangsung di PN Jakarta Pusat pada Senin (8/9/2025).

Gugatan yang diajukan Subhan Palal terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka memperlihatkan adanya ruang tafsir dalam regulasi pemilu, khususnya terkait syarat pendidikan calon presiden dan wakil presiden.

Subhan menilai bahwa ijazah luar negeri yang dimiliki Gibran tidak memenuhi ketentuan UU Pemilu. Di sisi lain, KPU sebagai penyelenggara pemilu telah menerima dokumen tersebut sebagai sah untuk proses pendaftaran.

Kasus ini pada dasarnya bukan semata persoalan personal antara Subhan dan Gibran, melainkan menyangkut interpretasi hukum mengenai standar pendidikan formal dalam pencalonan pejabat tinggi negara.

Pertanyaan utama yang muncul adalah: apakah ijazah luar negeri otomatis dapat dianggap sederajat dengan SLTA/SMA di Indonesia, dan siapa pihak yang berwenang menetapkan kesetaraan tersebut?

Gugatan Subhan sebelumnya pernah ditolak PTUN karena alasan prosedural, bukan karena substansi hukum.

Kini, melalui jalur perdata di PN Jakarta Pusat, ia mencoba kembali menguji pemahaman tersebut. Fakta bahwa petitumnya menuntut ganti rugi untuk kas negara, bukan untuk kepentingan pribadi, memperlihatkan bahwa ia ingin posisinya dipandang sebagai upaya “uji hukum”, bukan sekadar konflik individu.

Meski demikian, gugatan ini tetap menimbulkan pertanyaan lanjutan. Dari sisi politik, isu ini berpotensi dipersepsikan sebagai upaya delegitimasi terhadap posisi Gibran.

Dari sisi hukum, gugatan ini bisa membuka diskursus publik yang lebih luas tentang perlunya kejelasan aturan mengenai kesetaraan ijazah luar negeri.

Secara objektif, perkara ini mencerminkan pentingnya kepastian hukum dalam proses demokrasi.

Terlepas dari hasil pengadilan nantinya, kasus Subhan melawan Gibran menjadi cermin bahwa warga negara memiliki ruang untuk mengajukan gugatan jika merasa ada ketidaksesuaian antara regulasi dan praktik di lapangan.

>>>Update berita terkini di Googlenews Surya.co.id

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved