Berita Viral

Rekam Jejak Sri Sultan Hamengku Buwono X yang Turun Tangan Temui Massa Demo dan Beri Pesan Menyentuh

Aksi humanis Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sulta Hamengku Buwono X, jadi sorotan. Berani temui massa dan beri pesan haru.

Kompas.com
TEMUI AKSI DEMO - Gubernur DIY Sri Sultan HB X saat masuk ke dalam Mapolda DIY. 

SURYA.co.id - Aksi humanis Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sulta Hamengku Buwono X, jadi sorotan.

Sultan turun tangan langsung menemui massa aksi demonstrasi untuk mendengar aspirasi mereka.

Tak cuma itu, Sultan juga memberikan pesan menyentuh kepada mereka.

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X pada Sabtu (30/8/2025) mendatangi Markas Polda DIY untuk bertemu langsung dengan perwakilan massa aksi.

Kehadirannya didampingi oleh GKR Hayu, GKR Condrokirono, KPH Yudanegara, serta sejumlah pejabat Pemerintah DIY.

Dalam rekaman video yang dibagikan oleh Humas Polda DIY, terlihat Sultan menyalami tiga orang perwakilan massa, dua di antaranya mengenakan atribut jaket ojek online.

Ia tampak mendengarkan dengan seksama aspirasi yang disampaikan. Usai pertemuan singkat itu,

Sultan juga menyempatkan diri menyapa massa lain yang masih bertahan di depan gerbang Polda DIY.

Pada momen tersebut, Sultan menyampaikan rasa duka atas wafatnya seorang pengemudi ojek online di Jakarta. 

Ia menegaskan pentingnya menyampaikan pendapat secara damai. 

"Kedua jangan dengan kekerasan kalau punya aspirasi kita sama-sama membangun demokratisasi (demokrasi)," kata Sultan, melansir dari Kompas.com.

Selain itu, Sultan menyoroti kasus delapan orang yang sebelumnya diamankan pihak kepolisian saat aksi berlangsung.

"Di mana delapan orang ditahan kesepakatan kami dengan Bapak Kapolda itu dibebaskan kembali di antara warga mereka yang ikut demo," imbuhnya.

Rekam Jejak Sri Sultan Hamengku Buwono X

Melansir dari Wikipedia, Hamengkubawana ka-10; lahir 2 April 1946 dengan nama Bendara Raden Mas Herdjuno Darpito.

Ia adalah Sultan ke-10 dari Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang bertakhta sejak tahun 1989, dan juga menjabat sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta ketiga yang menjabat sejak 3 Oktober 1998 hingga saat ini.

Hamengkubuwana X lahir dengan nama BRM Herjuno Darpito.

Setelah dewasa bergelar KGPH Mangkubumi dan setelah diangkat sebagai putra mahkota diberi gelar KGPAA Hamengku Negara Sudibyo Rajaputra Nalendra ing Mataram.

Hamengkubuwana X adalah seorang lulusan Fakultas Hukum Jurusan Ketatanegaraan di Universitas Gajah Mada pada 1983.

Hamengkubuwana X juga sempat memimpin Keluarga Alumni Universitas Gajah Mada (KAGAMA).

Saat menginjak usia dewasa, BRM Herjuno Darpito dinobatkan sebagai putra mahkota oleh ayahnya dengan diberi gelar sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Harya (K.G.P.H.) Mangkubumi, penobatan tersebut menandai bahwa dia telah dikukuhkan menjadi penerus sukesi selanjutnya untuk Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat setelah ayahnya.

Setelah pengangkatannya sebagai putra mahkota, KGPH Mangkubumi diberi gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (K.G.P.A.A.) Hamengku Negara Sudibyo Rajaputra Nalendra ing Mataram.

Penobatan Hamengkubuwana X sebagai Sultan sekaligus Raja Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dilaksanakan di Keraton Yogyakarta pada tanggal 7 Maret 1989 (dalam kalender Jawa: Selasa Wage 19 Rajab 1921) dengan gelar resmi penguasa Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati-ing-Ngalaga 'Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sadasa ing Ngayogyakarta Hadiningrat. Sekitar 2.000 tamu undangan dan ratusan abdi dalem terlibat dalam acara ini.

Penobatan BRM Herjuno Darpito sebagai Raja sekaligus Sultan untuk Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dalam sejarah Keraton Yogyakarta dan Kesultanan Yogyakarta merupakan yang pertama kali di dalam sejarah Republik Indonesia, setelah semua Raja-raja pendahulunya yang berkuasa dibawah kekuasaan pemerintah VOC dan Hindia Belanda harus melakukan izin dahulu terhadap pemerintah Hindia Belanda sebelum melakukan penobatan.

Setelah Sabda raja pertama yang diucapkan di Siti Hinggil Keraton Yogyakarta pada 30 April 2015, gelar Sultan sebelumnya mengalami perubahan menjadi Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengkubawana ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senopati-ing-Ngalaga Langgeng ing Bawana, Langgeng, Langgeng ing Tata Panatagama.

Sabda raja tersebut menimbulkan kontroversi di antara para kerabat bangsawan dan masyarakat Yogyakarta sehingga memunculkan Polemik sabda raja Yogyakarta 2015.

Setelah Paku Alam VIII meninggal dunia, dan melalui beberapa perdebatan, pada 1998 ia ditetapkan sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dengan masa jabatan 1998-2003.

Dalam masa jabatan ini Hamengkubuwana X tidak didampingi Wakil Gubernur.

Pada tahun 2003 ia ditetapkan lagi, setelah terjadi beberapa pro-kontra, sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta untuk masa jabatan 2003-2008. Kali ini ia didampingi Wakil Gubernur yaitu Paku Alam IX.

Sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, ia tidak menguber penghargaan dan piagam pengakuan. Menurutnya, peradaban kota memerlukan sentuhan kasih dan hati nurani.

Sebagai penulis, saya melihat langkah yang diambil Sri Sultan Hamengku Buwono X bukan hanya sekadar gestur politik, melainkan wujud nyata kepemimpinan yang humanis.

Di tengah panasnya situasi aksi massa, keberanian seorang gubernur untuk hadir langsung, menyalami, dan mendengar suara rakyat adalah sikap langka yang jarang kita temui pada pejabat publik di era sekarang.

Sikap ini memperlihatkan bahwa kekuasaan tidak seharusnya menciptakan jarak, melainkan menjadi jembatan antara aspirasi masyarakat dan kebijakan pemerintah.

Kehadiran Sultan di tengah massa bukan untuk menenangkan dengan janji-janji kosong, melainkan menghadirkan rasa empati.

Bahkan, saat ia menyampaikan belasungkawa atas wafatnya seorang pengemudi ojek online di Jakarta, terlihat jelas bahwa suara rakyat bukan dianggap gangguan, tetapi bagian dari denyut demokrasi yang harus dihargai.

Bagi saya, inilah esensi kepemimpinan yang berakar pada kearifan lokal Yogyakarta: ngemong, merangkul, dan mengutamakan dialog. Sultan tidak menutup mata atas penangkapan delapan orang peserta aksi, dan justru mendorong penyelesaiannya dengan cara damai.

Ini menegaskan bahwa demokrasi tidak akan pernah tumbuh sehat bila diwarnai represi, melainkan ketika pemerintah mau mendengar dan rakyat mau menyampaikan pendapatnya tanpa kekerasan.

Langkah Sultan menjadi cermin bahwa demokrasi bukan hanya sistem, tapi juga sikap. Ia menegaskan kembali bahwa pemimpin sejati hadir di saat rakyatnya gelisah, mendengar ketika suara mereka dianggap kecil, dan hadir tanpa jarak ketika masyarakat membutuhkan sandaran.

Dari sini, kita belajar bahwa politik yang humanis selalu lebih kuat daripada politik yang mengandalkan kekuasaan semata.

>>>Update berita terkini di Googlenews Surya.co.id

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved