PBB Selesai Sekarang BPHTB Membebani Warga Jombang, BPN Tegaskan Penentuan Tarif di Tangan Pemda

Lebih jauh, ia mempertanyakan dasar penetapan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang menjadi acuan perhitungan BPHTB

Penulis: Anggit Puji Widodo | Editor: Deddy Humana
surya/Anggit Puji Widodo (anggitkecap)
BPHTB JOMBANG - Forum Rembug Masyarakat Jombang (FRMJ) menggelar audiensi dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jombang, Kamis (11/9/2025). Data FRMJ menunjukkan, jumlah transaksi peralihan hak tanah di Jombang terus meningkat. 

SURYA.CO.ID, JOMBANG - Setelah PBB-P2, polemik tingginya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) kembali mencuat di Kabupaten Jombang

Forum Rembug Masyarakat Jombang (FRMJ) menggelar audiensi dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat, Kamis (11/9/2025) kemarin. 

FRMJ menyampaikan keluhan masyarakat yang merasa keberatan dengan besarnya beban pajak saat mengurus peralihan hak tanah.

Ketua FRMJ, Joko Fattah Rochim atau Cak Fattah, menyebut masalah BPHTB sudah lama menjadi keresahan warga. 

Menurutnya, banyak warga yang hanya ingin mengurus jual beli, hibah, maupun warisan, justru terbentur biaya tinggi yang dirasa tidak wajar.

“Keluhan yang masuk ke kami cukup banyak. Masyarakat merasa dipaksa membayar pajak dengan nominal besar tanpa penjelasan transparan. Pertanyaannya, mengapa tarifnya bisa semahal itu?” ucap Cak Fattah, Jumat (12/9/2025).

Data FRMJ menunjukkan, jumlah transaksi peralihan hak tanah di Jombang terus meningkat. Tahun 2023 tercatat 3.900 transaksi, sementara pada 2024 naik menjadi 5.200 transaksi. Semua transaksi tersebut wajib melampirkan bukti pembayaran BPHTB.

Cak Fattah juga menyoroti kerancuan peran antara Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Menurutnya, publik perlu diberi pemahaman yang jelas agar tidak terkecoh. 

“Notaris itu di bawah Kementerian Hukum dan HAM, sedangkan PPAT berada di bawah ATR/BPN. Dalam praktiknya, banyak warga tidak tahu perbedaan ini sehingga sering keluar biaya tambahan,” paparnya.

Lebih jauh, ia mempertanyakan dasar penetapan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang menjadi acuan perhitungan BPHTB. FRMJ menilai ada potensi ketidakadilan dalam penentuan nilai tersebut. 

“Kami melihat ada indikasi permainan dalam penetapan NJOP. Padahal seharusnya ada rumus yang jelas dan diatur undang-undang. Jika bebas pajak maksimal Rp 100 juta, kenapa banyak warga tetap terbebani puluhan juta,” tegasnya.

Sebagai tindak lanjut, FRMJ berencana membawa aspirasi masyarakat ini ke DPRD, Badan Pendapatan Daerah (Bapenda), hingga ke Pemkab Jombang. Mereka mendesak agar kebijakan BPHTB ditinjau ulang dan penerapannya lebih transparan.

Sementara Kepala Kantor Pertanahan (BPN) Jombang, Tomi Jomaliawan menegaskan bahwa BPN tidak memiliki kewenangan dalam menetapkan besaran pajak.

Menurutnya, BPN hanya berperan memproses dokumen setelah wajib pajak melunasi kewajiban mereka.

“BPN hanya menerima dokumen yang sudah dilengkapi, termasuk bukti setor BPHTB. Kalau semua sudah sesuai aturan, baru bisa kami tindaklanjuti. Penentuan nilai pajak sepenuhnya ada di Bapenda, bukan ranah kami,” pungkas Tomi.

Tomi berharap masyarakat memahami bahwa urusan tarif dan mekanisme BPHTB berada sepenuhnya di tangan pemda melalui Bapenda. *****

 

Sumber: Surya
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved