Ada 22 Kasus Kekerasan Anak di Bondowoso Paro Tahun 2025, Termasuk Talent Terjerumus Prostitusi
“Setelah melalui berbagai proses, korban kami selamatkan dan dipertemukan kembali dengan orangtuanya,” katanya.
Penulis: Sinca Ari Pangistu | Editor: Deddy Humana
SURYA.CO.ID, BONDOWOSO - Kekerasan pada anak seperti fenomena gunung es yang setiap saat muncul dengan angka tidak terprediksi. Di Bondowoso, selama semester pertama 2025 ini, telah terdata 22 kasus kekerasan terhadap anak.
Data ini merujuk laporan yang diterima Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (Dinsos P3AKB) Bondowoso.
Menurut Kabid P3A Dinsos P3AKB Bondowoso, Hafidhatullaily, jumlah ini bisa bertambah. Karena data itu belum digabung dengan data dari Unit PPA Polres Bondowoso. "Ini data yang kami, belum disandingkan dengan data Polres," kata Hafidhatullaily saat dikonfirmasi, Kamis (14/8/2025).
Ia menjelaskan, dari 22 kasus yang dilaporkan, di antaranya menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, pencabulan, pelecehan seksual, kenakalan remaja, dan penelantaran. "Ada satu yang TPPO," ungkapnya.
Menurut wanita akrab disapa Laily ini, kasus yang TPPO bermula ketika korban menjadi talent atau model di Jember.
Namun perempuan tersebut memilih ikut orang untuk bekerja di Situbondo sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK). "Oleh orang yang menampungnya di Jember, ia dijual ke tempat lokalisasi di Situbondo,” ungkap Lely.
Mengetahui hal itu, ibu korban memilih untuk melapor kepada Dinsos Bondowoso. Ironisnya, korban mau bekerja negatif tersebut dengan iming-iming hadiah dan uang tunai. Sehingga tim konselor mendatangi tempat lokalisasi perempuan itu bekerja.
“Setelah melalui berbagai proses, korban kami selamatkan dan dipertemukan kembali dengan orangtuanya,” katanya.
Laily menjelaskan, salah satu latar belakang TPPO adalah ekonomi. Korban merasa kebutuhannya tidak dapat tercukupi, serta merasa mucikari yang membawa gadis itu dapat memenuhi semua keinginannya.
Sebelumnya korban merupakan anak putus sekolah akibat keterbatasan ekonomi. “Mami (mucikari) yang membawanya dari Jember ke Situbondo,” tuturnya.
Ia menjabarkan, dalam kasus kekerasan pada anak ini kebanyakan pelakunya adalah orang terdekat, mulai dari keluarga, tetangga hingga teman sebaya.
Karena itulah, pihaknya terus menggencarkan sosialisasi pencegahan, baik melalui sekolah atau organisasi masyarakat dan keagamaan. "Kita mengisi sosialisasi anti kekerasan dan bulliying," ujarnya.
Ia menerangkan, adanya puluhan kasus ini memang menjadi pekerjaan rumah. Namun di sisi lain ini menandakan bahwa masyarakat mulai sadar dan berani untuk melaporkan kekerasan pada anak kepada pihak berwenang.
"Semakin banyaknya laporan, masyarakat sudah paham, sadar bahwa kekerasan pada anak tidak boleh dinormalisasi,” pungkasnya. ***
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.