SURYA.CO.ID, JOMBANG - Tradisi sebagai ungkapan syukur dari masyarakat tradisional bisa termanifestasikan dalam berbagai bentuk.
Secara umum, tradisi masyarakat Indonesia adalah tumpeng atau gunungan, termasuk yang digelar di Desa Banjaragung, Kecamatan Bareng, Kabupaten Jombang, Minggu (20/7/2025).
Sebenarnya ini masih dalam rangkaian menyambut tahun baru Islam, 1 Muharram 1447 Hijriyah, di mana masyarakat mengikuti arak-arakan gunungan tumpeng ketupat dan lepet.
Wajah-wajah penuh semangat dan harapan mengiringi langkah mereka dalam Kirab Tumpeng Slamet, tradisi tahunan dalam rangka menyambut Tahun Baru Islam.
Dengan iringan tabuhan gamelan dan lantunan shalawat, 26 tumpeng berbentuk gunungan diarak dari Gang Mangga, Dusun Serning, menuju Balai Desa Banjaragung.
Tidak sekadar tradisi seremonial, kirab ini sarat makna spiritual dan sosial, mencerminkan rasa syukur warga atas rezeki yang diterima sekaligus pengharapan akan keselamatan di tahun yang baru.
“Sudah satu pekan kami mempersiapkan ini bersama-sama. Ini bukan sekadar acara budaya, tetapi wujud persatuan masyarakat,” ungkap Camat Bareng, Usman, yang hadir mendampingi warga.
Menurutnya, perayaan ini mempertemukan berbagai lapisan masyarakat dari petani, pelaku UMKM, hingga tokoh adat dan agama dalam satu semangat yaitu gotong royong.
Namun, kirab hanyalah puncak dari rangkaian panjang Grebek Suro. Dua hari sebelumnya, warga berkumpul di makam desa untuk mengirim doa bersama bagi para leluhur.
Sebuah tradisi yang menunjukkan bagaimana nilai-nilai spiritual masih menjadi pondasi kuat kehidupan warga Banjaragung.
Grebek Suro tahun ini juga menggeliatkan denyut ekonomi desa. Di halaman balai desa, puluhan stan UMKM menampilkan produk unggulan warga mulai makanan tradisional hingga kerajinan tangan.
Ratusan door prize dibagikan untuk menambah kemeriahan, membuat suasana semakin semarak.
Politisi Partai Golkar Jawa Timur, Sumardi, yang turut memberangkatkan kirab, menyampaikan apresiasinya. Ia menyebut kegiatan ini sebagai bentuk "uri-uri kebudayaan" atau pelestarian budaya, yang di saat bersamaan mampu menjadi pendorong ekonomi lokal.
“Lepet itu bukan hanya makanan. Di dalamnya ada simbol pengakuan atas kesalahan, keinginan untuk memperbaiki diri, dan harapan akan keberuntungan,” ujar Sumardi.
Ia menekankan pentingnya menjaga tradisi seperti ini sebagai identitas desa sekaligus kekuatan ekonomi alternatif melalui UMKM.
Ribuan warga memadati jalan-jalan desa, menyaksikan kirab dengan penuh antusias. Anak-anak berlari mengikuti arak-arakan, para ibu membawa dulang berisi makanan, dan para sesepuh duduk tersenyum menyaksikan tradisi yang terus hidup dari generasi ke generasi.
Acara ditutup dengan lantunan sholawat bersama Majelis Asy Syafa’at pada malam harinya. Sebuah penutup yang khidmat dan menggetarkan jiwa, menyatukan keramaian dan spiritualitas dalam satu tarikan nafas.
"Di Banjaragung, Suro bukan hanya pergantian kalender Hijriyah. Ia momen perenungan, perayaan, dan pengikat erat jalinan sosial. Dalam gulungan lepet dan gunungan ketupat, tersimpan doa-doa sunyi dan cita-cita bersama, agar hidup terus diberkahi, dan desa terus lestari," pungkasUsman. *****