Anak-anak transmigran juga harus berangkat saat pagi buta, melintasi jalanan setapak kebun sawit.
Kalau cuaca cerah, maka mereka akan dengan mudah sampai sekolah, meski dengan berjalan kaki.
Namun ketika hujan tiba, mereka tidak bisa bersekolah, karena kondisi jalanan akan berubah menjadi lembek dan berlumpur.
‘’Guru juga tidak berangkat kalau hujan. Kasihan anak-anak sering tidak belajar. Padahal mereka kadang menenteng sepatu, nyeker pergi ke sekolah dengan kondisi belepotan lumpur,’’ tutur dia.
Baca juga: Kisah Sabiq Guru Ngaji Disabilitas di Salatiga, Tiap Hari Jalan Pakai Tangan Demi Ngajar 100 Anak
2. Wujudkan cita-cita demi panggilan jiwa
Elin mengaku bercita-cita menjadi guru, bahkan sejak dia kecil.
Ia memiliki kekaguman terhadap sosok guru yang dirasa berperan besar dalam membentuk karakter generasi penerus bangsa.
Guru, kata dia, memiliki tanggung jawab dan beban moral terhadap keberlangsungan pendidikan anak Bangsa.
‘’Makanya, begitu di daerah saya ada kesempatan mengajar, saya langsung daftar, dan meneruskan kuliah sambil mengajar anak-anak di Sebakis,’ ’kata Elin.
3. Bahagia Mengajar
Elin mengaku menemukan dunia yang ia impikan ketika berada di tengah anak-anak didiknya.
Ia tidak peduli, apakah namanya masuk dalam Dapodik atau tidak, yang penting, mewujudkan cita-cita dan impiannya menjadi guru adalah keutamaan bagi dia.
Elin mengaku selalu merasa iba ketika melihat anak-anak sekolah berjalan kaki sejak pagi buta ke sekolah, dan lalu harus kecewa karena tidak ada pelajaran.
Entah karena kendala cuaca, atau para guru memiliki tugas lain yang tidak bisa ditinggalkan, kekosongan kelas kerap terjadi.
‘’Kasihan kalau melihat anak-anak di sekolah. Mereka sering tidak belajar karena terkendala hujan, dan kendala tugas para gurunya."