Waktu itu, banyak yang heran apa yang kami lakukan. Saya ingat betul momen satu ini. Malam sebelum final di GOR Kertajaya. Saya sedang memasang spanduk logo DBL di meja wasit, di pinggir lapangan.
Ada orang basket senior Surabaya mendatangi saya. Beliau bertanya: Ini untuk apa? Saya jelaskan ini untuk DBL, liga basket SMA yang finalnya besok. Beliau bertanya lagi: Tiketnya gratis atau bayar? Saya jawab, harus bayar Rp 5.000 per orang.
Saya ingat betul responnya setelah itu: "Tiket lima ribuan? Siapa yang mau nonton besok!"
Sayang, saat final, saya tidak kelihatan orang tersebut. Penonton waktu itu total hampir 5.000 orang. Harus gantian menonton final putri dengan final putra, karena kapasitas GOR Kertajaya hanya sekitar 3.000 orang.
Katanya, penonton final DBL 2004 itu memecahkan rekor penonton basket di Jawa Timur. Yaitu final PON 2000 yang juga di GOR Kertajaya.
Yang membuat laga itu tak akan terlupakan oleh mereka yang menonton: Final terakhirnya juga berlangsung super mendebarkan sampai akhir. Bahkan, sampai perpanjangan waktu.
Tim putra SMA Petra 4 Sidoarjo seolah sudah akan mengunci juara. Namun, hanya kurang beberapa detik, SMAN 2 Surabaya berhasil memasukkan tembakan tiga angka (katanya ini sempat kacau dan salah umpan). Setelah itu, di overtime, SMAN 2 Surabaya berhasil mencatat sejarah sebagai tim putra pertama yang menjadi juara di DBL.
Kemasan waktu itu juga kami buat semeriah mungkin. Pakai atraksi lampu, pakai efek asap, pemanggilan pemain ala NBA. Belum ada LED, belum ada barang-barang canggih seperti sekarang. Tapi, waktu itu sudah sangat wow.
Komentar orang-orang waktu itu: Final SMA seperti NBA.
Ada satu hal yang ingin saya tekankan tentang final DBL Surabaya 2004 dan final Jakarta 2023: Bahwa yang membuat hari itu tidak terlupakan adalah anak-anak yang berlaga di tengah lapangan.
Kita bisa membuat panggung semewah mungkin, kita bisa menyiapkan acara semeriah mungkin, kita bisa mengeluarkan uang sebanyak-banyaknya. Tapi, kalau yang berlaga di lapangan tidak menunjukkan pride dan tampil total, maka laga itu hanya menjadi panggung yang meriah tapi hampa.
Anak-anak yang tampil di lapangan itulah "nyawa" yang sebenarnya. Dan ini yang selalu membuat saya cinta laga basket pelajar, lebih daripada laga profesional. Karena para pemain pelajar itu bermain dengan sepenuh hati. Skill dan kemampuan mereka mungkin jauh di bawah atlet profesional, tapi setiap langkah, setiap tembakan, adalah curahan hati dan semangat mereka sepenuhnya.
Saya kira, ini juga resep sukses DBL selama hampir dua dekade terakhir. Bahwa ini adalah panggung di mana anak-anak Indonesia bisa unjuk kemampuan. Bahwa mereka bisa belajar apa itu profesionalisme, walau belum jadi pemain --atau orang-- profesional.
Kami --DBL-- selalu menekankan, bahwa bisa menjadi pemain basket, bisa berdiri di atas lapangan basket, adalah sebuah kehormatan. Tidak semua bisa merasakannya. Kalau pemain bisa respect terhadap kesempatan yang dia dapat, maka dia akan respect terhadap semua yang lain.
Nah, sekarang, DBL Indonesia akan melanjutkan seri-seri di kota lain. Total ada 30 kota di Indonesia tahun ini, dari Aceh sampai Papua. Jadwal masih agak berantakan karena baru saja pandemi.
Usai final DBL di Jakarta itu, beberapa insan media bertanya kepada saya: Apakah setelah ini DBL akan konsisten menyelenggarakan liga basket SMA ini?