Kalau jumlah penonton bisa sesuai target, kami akan baik-baik saja.
Syukur alhamdulillah. Begitu banyak pihak mendukung DBL. Sebelum babak semifinal, sebelum tahu SMA mana yang akan berlaga di final, lebih dari separo tiket sudah terjual. Dan dua hari sebelum final, semua tiket sudah terjual.
Bisa jual lebih banyak? Mungkin iya. Tapi kami tidak ingin berlebihan dulu. Tantangan masih banyak. Selain Piala Dunia, belum ada yang menggunakan Indonesia Arena untuk pertandingan basket besar lain. Apalagi yang menggunakan setting entertainment sekompleks DBL.
Dua pertandingan (putri dan putra) itu adalah laga final pertama yang diselenggarakan di Indonesia Arena. Tim putri dan putra yang jadi juara adalah dua tim pertama yang mengangkat piala di dalam Indonesia Arena.
Alhamdulillah lagi. Hari final itu begitu meriah. Banyak bumbu luar biasa di situ, membuat suasana makin menggelora dan tak terlupakan.
Bagaimana tim putri SMAN 70 meraih Three-peat lewat laga sengit melawan SMA Jubilee. Bagaimana komedian Augie Fantinus meraih hadiah motor Honda setelah sukses menembak dari tengah lapangan.
Bagaimana pertandingan final putra berlangsung supersengit sampai detik terakhir, ketika SMA Jubilee meraih kemenangan satu angka atas SMA Bukit Sion.
Show di antara pertandingan, show menjelang pertandingan, semua lancar jaya. Hanya kami yang tahu kesalahan-kesalahan kecilnya, he he he.
Tamu-tamunya tentu luar biasa. Ada banyak selebriti (termasuk selebriti senior yang anak-anaknya ikut bertanding di DBL), para pemain bintang profesional dan timnas Indonesia (rata-rata alumnus DBL), dan lain sebagainya.
Beberapa menteri, pengusaha top, tokoh-tokoh politik (yang memang hobi basket dan/atau anaknya main basket, termasuk di DBL).
Mas Kaesang Pangarep, yang belakangan ikut terjebak di dunia olahraga (sepak bola bersama saya), membawa serta istrinya, Mbak Erina. Ternyata, Mbak Erina ini dulu juga ikut DBL di Jogja, jadi peserta kompetisi dance. Kakak Mbak Erina juga.
Saya hanya bisa geleng-geleng kepala. Kok semuanya tiba-tiba nyambung ke DBL.
Lebih dari 100 media minta akreditasi meliput. Ada jurnalis dari Argentina yang meliput Piala Dunia U-17 datang karena penasaran. Ada yang menulis judul: Final SMA Rasa NBA.
Saya langsung flashback ke 2004. Karena kurang lebih itulah judul tulisan saya setelah final DBL pertama dalam sejarah, di Surabaya. Waktu itu panitianya masih belasan orang. Punya satu kaus panitia yang dipakai terus menerus sehingga warna putihnya jadi cokelat muda.
Waktu itu, kami harus berkutat dengan gedung-gedung kecil, karena tradisi pengelolaan basket yang "heboh" masih belum ada.
Jajaran manajemen utama PT DBL Indonesia adalah pelakunya waktu itu, termasuk saya. Kami memasang sendiri scoreboard, memasang sendiri spanduk-spanduk kain (belum ada digital print).