SE Larangan Bendera One Piece di Surabaya Direspons Pakar Kajian Budaya dan Media

Respons soal SE Larangan Bendera One Piece di Surabaya, Jatim. Semakin dibatasi, semakin ditekan, akan ada reaksi balik yang mungkin lebih besar

Penulis: Sulvi Sofiana | Editor: Cak Sur
SURYA.CO.ID/Sulvi Sofiana
MENGKRITISI - Pakar Kajian Budaya dan Media Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, Radius Setiyawan, mengkritisi rencana Pemerintah Kota Surabaya, Jawa Timur, menerbitkan Surat Edaran (SE) yang melarang pengibaran bendera lain satu tiang dengan Bendera Merah Putih, Kamis (7/8/2025). 

SURYA.CO.ID, SURABAYA - Pakar Kajian Budaya dan Media Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, Radius Setiyawan, mengkritisi rencana Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya, Jawa Timur (Jatim), menerbitkan Surat Edaran (SE) yang melarang pengibaran bendera lain satu tiang dengan Bendera Merah Putih. 

Larangan ini, dikaitkan dengan fenomena maraknya pengibaran bendera bergambar karakter bajak laut dari anime One Piece yang dilakukan sejumlah anak muda.

Radius menilai, penerbitan SE tersebut perlu dikaji ulang, karena berpotensi mengekang ekspresi publik, terutama generasi muda. 

Ia menyebut, bahwa dalam konteks ini, Bendera One Piece hanyalah simbol ekspresi yang tidak serta merta mengancam nilai-nilai kebangsaan.

"SE yang memang harus dipertimbangkan lagi, karena kemunculannya ini di tengah ramainya Bendera One Piece. Jadi saya kira ini satu hal yang perlu dipertimbangkan lagi, bahwa hanya untuk persandingan saja dilarang, saya kira itu persoalan," ujar Radius, Kamis (7/8/2025).

Pria yang juga menjabat sebagai Wakil Rektor UM Surabaya ini, menilai pemerintah kota seharusnya lebih fokus pada kebijakan yang menyentuh kebutuhan riil masyarakat seperti jaminan kesehatan, pekerjaan dan kesejahteraan, bukan justru membatasi simbol-simbol budaya pop.

“Saya kira ini era di mana masyarakat kita yang dibutuhkan adalah jaminan kesehatan, jaminan pekerjaan atau kesejahteraan. Kalau Bendera One Piece memang bentuk ekspresi ya kalau dilihat secara umum,” jelasnya.

Lebih lanjut Radius menegaskan, bahwa sejak awal kemunculannya, penggunaan Bendera One Piece lebih banyak dimaknai sebagai ekspresi budaya atau perlawanan simbolik, bukan bentuk ancaman terhadap negara.

“Awal kemunculannya memang bagian dari ekspresi. Bahwa dalam perjalanannya itu digunakan sebagai bagian dari apa namanya yang dianggap mengancam pemerintah, itu soal lain. Tapi saya kira ekspresi itu juga perlu ditanggapi secara tepat dan benar,” tegas Radius.

Ia juga mengingatkan, bahwa penekanan atau pembatasan terhadap ekspresi publik justru berpotensi menimbulkan reaksi yang lebih besar, terlebih di era digital seperti sekarang ini.

“Semakin dibatasi, semakin ditekan, itu akan ada reaksi balik yang mungkin akan lebih besar. Ini era sosial media, era di mana konektivitas tidak hanya soal pertemuan fisik. Sosial media mampu menghubungkan banyak orang dalam satu jaringan. Ketika keinginannya sudah sama, merasa direpresi, maka reaksinya pun akan lebih besar. Bukan hanya di ruang nyata, tapi juga ruang digital,” jelasnya.

Radius menyarankan, agar pemerintah daerah lebih bijak dalam merespons fenomena sosial semacam ini, agar tidak menimbulkan ketegangan yang tidak perlu di masyarakat.

Sumber: Surya
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved