Stambul Arkipelagia: Kelana Sunyi Ruang Imajiner dalam Orkes Silampukau
Album Orkes Silampukau ini diedarluaskan pada seperempat pertama abad 21, atau satu dasawarsa setelah kemunculan album Dosa, Kota, dan Kenangan
Oleh Eko Darmoko
SURYA.CO.ID - Syahdan, Stambul Arkipelagia Vol. 1 (2025) adalah semacam antologi anthem masyarakat kepulauan heterogen yang berisi aneka protagonis dan antagonis. Album pendek jilid pertama ini (nantinya bakal ada tiga jilid) kental dengan nuansa fiksi ala pseudo-history. Berbekal pisau bedah sastra strukturalisme genetik ala Lucien Goldmann, konteks sosial-budaya dalam Stambul Arkipelagia Vol. 1 bisa digerayangi, samar-samar atau gamblang. Bahkan, bila tekun pada tahap paripurna, pendengar bisa merudapaksa makna yang terkubur.
Album teranyar Orkes Silampukau ini diedarluaskan pada seperempat pertama abad 21, atau satu dasawarsa setelah kemunculan album Dosa, Kota, dan Kenangan (2015). Stambul Arkipelagia Vol. 1 sekaligus menandai perubahan format duo kepodang menjadi gerombolan kepodang—orkes—yang bakal tampil lebih meriah dan semarak layakya pagelaran stambul.
Ledakan besar. Demikian ‘bom’ yang muncul ketika pertama kali mendengarkan album Stambul Arkipelagia Vol. 1. Dalam album ini, jangan harap mendapatkan kisah sederhana dari orang-orang sederhana, seperti misalnya: kompetisi bocah bermain bola di jalanan (Bola Raya), eksistensi penjual miras dalam menghadapi aparat (Sang Juragan), ilusi kebahagiaan cinta satu malam di lokalisasi (Si Pelanggan), atau resistensi sepasang kekasih yang dipisahkan jarak antarbenua (Puan Kelana). Jangan harap, ya!
Amboi, centang dua, selepas Lebaran 2025 atau kira-kira satu purnama sebelum Stambul Arkipelagia Vol. 1 dirilis, Kharis Junandharu (vokal dan gitar) mengirim beberapa lagu dalam album itu melalui WhatsApp, gesit betul sinyalnya. Saya disuruh untuk mendengarkannya. Lantas, kita bersua di sebuah gerai kopi di tengah padatnya lalu lintas Surabaya.
“Berat!” gumam saya dalam hati selepas memutar audio berjudul In Memoriam … (Halimun Rahasia).
Saya langsung membayangkan Orkes Silampukau membawakan lagu tersebut di atas panggung; memainkan seperangkat alat musik sambil melakukan aksi teatrikal bak pelaku stambul keliling. Kemudian, saya membuat prediksi sekaligus pertanyaan ceroboh; apakah penonton konser bakal ikut bernyanyi seperti ketika Duo Silampukau membawakan, misalnya, lagu Malam Jatuh di Surabaya?
Lantas, saya membongkar laci otak untuk mencari referensi ihwal seni pertunjukan musik. Sejauh yang saya ketahui, penonton ‘enggan’ bernyanyi bersama saat Freddie Mercury (Queen) membawakan kidung Good Old-Fashioned Lover Boy. Berbeda ketika Freddie Mercury membawakan We Will Rock You, penonton yang memenuhi venue konser serempak bernyanyi bersama, mirip kelompok paduan suara.
Kasus lain, Kurt Cobain pernah merasa cemas dan putus asa; ia menilai penampilannya sangat buruk ketika tampil bersama Nirvana dalam MTV Unplugged. Alasannya, menurut Kurt Cobain, tak ada satu penonton pun yang ikut bernyanyi atau bersorak saat itu. Namun, seorang kru mencoba menenangkan Kurt Cobain: “Mereka diam karena terpukau dengan penampilanmu, Kurt.” Begitu kira-kira yang diucapkan kru kepada Kurt Cobain selepas MTV Unplugged.
Demikianlah, sebuah lagu, dalam keyakinan saya punya dua nasib; lahir untuk dinyanyikan bersama saat pertunjukan, atau dinikmati dalam diam saat pertunjukan—hanya menikmati penampilan sang empu lagu. Untuk kasus In Memoriam … (Halimun Rahasia), agaknya saya memilih untuk diam ketika menonton pertunjukan Orkes Silampukau. Lagu itu lebih ‘gaib’ dinikmati dalam ruang sunyi si pendengar. Tentunya, Tuan dan Puan, boleh setuju, boleh tidak. Toh, dalam hidup yang jahanam ini, bakal ada s’miliar kemungkinan. Hehehe!
Pada Stambul Arkipelagia Vol. 1, pendengar bakal dikeler paksa, seperti bandit dikeler polisi memasuki dunia baru bernama bui. Mengutip manifesto Orkes Silampukau pada laman daringnya, Arkipelagia adalah sebuah ruang fiksi di lingkar tropis, di antara masalalu dan masadepan, di ambang kenyataan dan khayalan. Nah, pendengar bakal memasuki suaka tersebut.
In Memoriam … (Halimun Rahasia) mengajak pendengar untuk bersikap heroik di tengah kepungan maut dan ketidakpastian. Pun demikian juga dengan Sejoli, Sejauh ‘Ku Memandang (Paceklik Blues), dan Jurang Kemiskinan (Dodoi), terlepas dari perbedaan komposisi musiknya, saya seolah-olah menelan wejangan dari petapa sepuh; bahwa betapa pun cilaka, sengsara, dan tragis hidup ini, semua kudu dihadapi secara heroik dan gagah berani—meskipun pada akhirnya kalah.
Dugaan saya keliru. Semula saya menganggap Kharis dan Eki (yang kini diperkuat oleh kehadiran pemain baru: Rhesa, Prasimansyah, dan Ariefin) bakal kesusahan untuk melepaskan diri dari bayang-bayang Surabaya, bila merujuk pada album Dosa, Kota, dan Kenangan yang banyak bercerita tentang Surabaya. Eh, ternyata, mereka bisa ‘hijrah’ sejauh-jauhnya meninggalkan Surabaya dan membuang sauh di Arkipelagia. Tapi, saya percaya sih, bahwa Arkipelagia adalah destinasi imajiner ala Kharis, seperti Gabriel Garcia Marquez membangun destinasi imajiner bernama Macondo dalam magnum opus Seratus Tahun Kesunyian.
Saya punya iman yang kuat, mengacu pada strukturalisme genetik, bahwa kreator seni (apa pun produknya) tak bisa lepas dari bayang-bayang riwayat hidup dan domisili (tempat asal atau tempat tinggal). Seperti James Joyce yang menempel pada Dublin, Budi Darma pada Surabaya, Pramoedya Ananta Toer pada pesisir Blora, atau Vincent van Gogh pada Perancis. Demikian halnya Kharis cs, yang mustahil, lepas sepenuhnya dari ‘teror’ Surabaya. Bisa jadi, ini kesimpulan ceroboh sih, bahwa Surabaya (atau Indonesia secara luas) adalah bagian kecil dari Arkipelagia. Toh, Arkipelagia memiliki fonologi yang identik dengan Archipelago—gugusan banyak pulau yang saling berdekatan: Indonesia.
Akhirul kata, Stambul Arkipelagia Vol. 1 bisa dinikmati dengan beragam cara dan pemaknaan. Pendengar bebas memperlakukannya; cukup digerayangi tipis-tipis atau dirudapaksa secara ugal-ugalan. Menyadur pernyataan prosais Sony Karsono dalam sekapur sirih antologi puisi empat penyair Jawa Timur Manifesto Surealisme: “Dengarlah, atas nama ketidaksadaranmu.”
Surabaya, 2025
Orkes Silampukau
Stambul Arkipelagia
Surabaya
Pramoedya Ananta Toer
Kurt Cobain
Nirvana
Silampukau
James Joyce
Kharis Junandharu
Tabrakan 2 Motor di Jalan Diponegoro Surabaya, 1 Orang Tewas |
![]() |
---|
Partisipasi di BCA Expo 2025 Surabaya, BCA Syariah Permudah Akses Pembiayaan dan Tabungan Syariah |
![]() |
---|
Ansor Jatim Sebar Benih Padi di Kawasan Tajinan Malang, Dukung Program Ketahanan Pangan |
![]() |
---|
17 Anak di Sumenep Meninggal Akibat Campak, Gubernur Jatim Kirim 9.825 Botol Vaksin MR |
![]() |
---|
Siswa Sekolah Alam Insan Mulia Surabaya Antusias Ikuti Praktik Pembibitan Mangrove di Gunung Anyar |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.