Kadin Jatim Ungkap Strategi Ekspor Indonesia di Tengah Badai Geopolitik, dari Ancaman Jadi Lompatan

Ketua Umum Kadin Jatim, Adik Dwi Putranto, menegaskan bahwa Indonesia harus memanfaatkan krisis ini untuk lompatan ekonomi strategis.

Penulis: Sri Handi Lestari | Editor: irwan sy
sri handi lestari/surya.co.id
PELUANG - Adik Dwi Putranto, ketua Umum Kadin Jatim (memukul gong), saat membuka kegiatan Business Gathering yang digelar GPEI Jatim di Surabaya. Dalam kesempatan itu, Adik menyebut bila masih ada peluang pasar yang besar ditengah kondisi geopolitik global yang mendorong perlambatan ekonomi. 

SURYA.co.id | SURABAYA - Ketegangan geopolitik global yang terus meningkat tak menyurutkan langkah Indonesia untuk memperkuat ekspor.

Ketua Umum Kadin Jatim, Adik Dwi Putranto, menegaskan bahwa Indonesia harus memanfaatkan krisis ini sebagai katalisator untuk lompatan ekonomi strategis.

"Dunia saat ini tengah memasuki fase transformasi geopolitik yang fundamental. Ada dua poros konflik besar yang memengaruhi pasar global saat ini justru membuka peluang baru bagi produk ekspor Indonesia, asalkan kita mampu bergerak cepat dan cerdas," kata Adik saat menjadi keynote speaker dalam kegiatan Business Gathering yang digelar oleh Gabungan Pengusaha Eksportir Indonesia (GPEI) Jatim, Surabaya, Rabu (2/7/2025).

Lebih lanjut Adik mengatakan, Perang Dagang AS-China, yang sejak 2018 belum mereda, kini memasuki babak baru.

AS telah menerapkan tarif tinggi hingga 145 persen untuk produk China, sementara produk Indonesia hanya dikenai tarif 10–32 persen.

Hal ini membuat produk Indonesia jauh lebih kompetitif di pasar Amerika Serikat.

"Buktinya, ekspor Indonesia ke AS melonjak 48 persen dalam lima tahun terakhir, dari US$17,8 miliar pada 2019 menjadi US$26,3 miliar di 2024. Kadin memproyeksikan potensi tambahan ekspor hingga US$1,7 miliar, khususnya di sektor tekstil, garmen, alas kaki, elektronik, dan furnitur," ungkap Adik.

Namun, keuntungan itu bukan tanpa ancaman.

Produk China yang tak lagi masuk AS kini beralih ke pasar domestik Indonesia dengan harga sangat murah.

Hal ini memperburuk persaingan di dalam negeri.

Kasus kebangkrutan raksasa tekstil Sritex menjadi contoh pahit bagaimana industri nasional bisa tumbang jika tidak siap menghadapi serbuan barang murah.

"Tak hanya itu, penurunan harga komoditas seperti batubara, yang anjlok 30 persen dari US$101 ke US$69 per ton, juga menambah tekanan," jelas Adik.

Di saat bersamaan, praktik dumping dan penyelundupan menjadi momok serius yang harus diantisipasi dengan kebijakan proteksi yang lebih kuat.

Di belahan dunia lain, konflik Israel–Iran sejak pertengahan Juni 2025 mengancam stabilitas jalur perdagangan energi global.

Harga minyak melonjak hingga 20 persen menjadi US$74 per barel.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved