Peringatan Hari Bumi, WALHI Jatim Soroti Maraknya Tambang Ilegal di Bojonegoro

WALHI Jatim menyoroti maraknya aktivitas tambang di Kabupaten Bojonegoro, Jatim, yang merugikan masyarakat dan merusak lingkungan.

Penulis: Misbahul Munir | Editor: Cak Sur
SURYA.CO.ID/Misbahul Munir
TAMBANG ILEGAL - Ilustrasi lokasi tambang batu kapur di Kecamatan Baureno, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, yang mendapatkan sorotan dari WALHI Jatim. Maraknya aktivitas tambang ilegal di Bojonegoro, disebut merugikan masyarakat dan merusak lingkungan. 

SURYA.CO.ID, BOJONEGORO – Bertepatan dengan peringatan Hari Bumi pada 22 April, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jawa Timur (WALHI Jatim) menyoroti maraknya aktivitas tambang di Kabupaten Bojonegoro, Jatim, yang merugikan masyarakat dan merusak lingkungan.

WALHI Jatim juga menyoroti sikap pemerintah daerah yang cenderung tertutup, dan acuh terhadap isu lingkungan, dampak dari tambang ilegal tersebut.

Ketua WALHI Jatim, Wahyu Eka Setyawan, menyatakan bahwa keterbukaan informasi publik dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro masih sangat minim, terutama terkait dengan data wilayah pertambangan.

Sejak 2018, tidak ada pembaruan data tambang yang tersedia secara publik, baik di situs Satudata Bojonegoro, maupun di instansi terkait seperti Dinas ESDM Provinsi Jawa Timur.

“Tambang yang terdata resmi di Bojonegoro hanya berkisar 10 hingga 14 izin. Tapi data ini tidak pernah diperbarui secara terbuka. Di Satudata Bojonegoro, data tambang hanya tersedia sampai tahun 2018. Itu pun sangat terbatas,” ungkap Wahyu, Selasa (22/4/2025).

Menurutnya, ketertutupan informasi ini, bertentangan dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) dan UU Keterbukaan Informasi Publik.

Padahal, keterbukaan informasi sangat penting untuk mendorong partisipasi warga dalam pengawasan dan pengambilan kebijakan lingkungan.

“Dokumen-dokumen lingkungan semestinya bisa diakses publik, agar warga juga bisa berperan aktif. Saat ini pelaksanaannya masih setengah hati,” tambahnya.

Wahyu juga mengungkapkan, bahwa Bojonegoro memang dikenal sebagai daerah tambang minyak dan gas (migas). 

Namun, di luar tambang resmi, terdapat puluhan tambang mineral non-logam ilegal yang masih aktif beroperasi.

“Jika digabungkan dengan tambang ilegal, ada sekitar 30-an titik tambang mineral non-logam di Bojonegoro. Kebanyakan berupa batu gamping, tanah uruk dan pasir,” jelasnya.

Keberadaan tambang-tambang ilegal tersebut, lanjut Wahyu, menimbulkan berbagai dampak negatif terhadap lingkungan. Mulai dari kerusakan ekosistem, pendangkalan sungai, erosi hingga meningkatnya risiko bencana seperti longsor.

Aktivitas tambang, juga menghasilkan debu yang berdampak langsung terhadap kesehatan warga dan hasil pertanian di sekitarnya.

“Debu dari tambang sangat mengganggu. Selain merusak paru-paru warga, juga berdampak pada pertanian yang jadi tidak maksimal. Ini kerugian nyata bagi masyarakat,” tegas Wahyu.

WALHI Jatim mendesak pemerintah daerah dan provinsi untuk segera mengambil langkah konkret dalam mengatasi persoalan ini, termasuk menertibkan tambang ilegal dan membuka akses informasi publik secara transparan.

Sumber: Surya
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved