Berita Viral
Kemarahan Dedi Mulyadi ke Priguna Dokter PPDS Anestesi Unpad yang Rudapaksa Keluarga Pasien: Tegas
Dedi Mulyadi menunjukkan kemarahannya kepada Priguna Anugerah Pratama alias PAP (31), dokter residen anestesi di RSHS Bandung.
Penulis: Putra Dewangga Candra Seta | Editor: Putra Dewangga Candra Seta
SURYA.co.id - Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi menunjukkan kemarahannya kepada Priguna Anugerah Pratama alias PAP (31), dokter residen anestesi di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.
Dedi Mulyadi meminta agar Priguna dihukum secara tegas.
Meski nantinya ada upaya-upaya perdamaian.
Menurut Dedi Mulyadi, hal ini bertujuan agar kepercayaan masyarakat kembali terbangun.
"Saya dengar ada aspek-aspek yang bersifat perdamaian. Tapi intinya bukan itu.
Intinya adalah kita harus membangun kembali kepercayaan atau trust yang tinggi terhadap perguruan tinggi dan dunia kedokteran. Sehingga hukumannya harus tegas," kata Dedi dikutip dari Antara, Sabtu (12/4/2025).
Dedi mengatakan, yang dia persoalkan bukan telah adanya perjanjian damai dengan pihak korban, melainkan soal penciptaan kondisi agar hal serupa tidak terulang.
Baca juga: Imbas Priguna Anugerah Rudapaksa Keluarga Pasien RSHS Bandung, Menkes Wajibkan Ini Untuk Dokter PPDS
"Dalam kasus ini, bukan damai yang jadi inti persoalan.
Intinya, kita harus memberikan hukuman tegas agar kejadian serupa tidak terulang. Kepercayaan masyarakat terhadap institusi universitas dan rumah sakit harus dipulihkan," ujarnya.
Dedi menyebut dampak dari kasus tersebut dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap universitas tempat bernaung pelaku dan rumah sakit tempat praktiknya.
Menurutnya, saat ini kepercayaan terhadap kedua institusi itu sedang dipertaruhkan.
Oleh karena itu, ia menilai perlu ada tindakan tegas dan keputusan cepat.
"Jadi hukumannya harus tegas dan keputusan yang bersifat hukuman dari perguruan tingginya harus segera diambil. Karena apa? Karena itu soal kepercayaan,” ucapnya.
Selain itu, ia menyoroti pentingnya evaluasi dalam proses rekrutmen calon mahasiswa kedokteran.
Ia secara terbuka mengkritisi sistem seleksi yang selama ini berjalan.
"Jujur saja, hari ini yang masuk kedokteran itu yang punya uang. Pintar saja tidak cukup," tuturnya.
Sebelumnya, Polda Jabar menahan seorang peserta PPDS Fakultas Kedokteran Unpad atau dokter residen berinisial Priguna Anugerah Pratama (31) atas dugaan kekerasan seksual terhadap anggota keluarga pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.
Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirkrimum) Polda Jabar, Kombes Pol Surawan, membenarkan bahwa kasus tersebut telah ditangani oleh pihaknya.
"Iya kami tangani kasusnya, sudah ditahan tanggal 23 Maret tersangkanya," kata Surawan di Bandung, Rabu (9/4/2025).
Sementara itu, Dekan Fakultas Kedokteran Unpad Yudi Mulyana Hidayat memastikan bahwa pelaku telah diberhentikan sebagai peserta PPDS.
"Karena terduga merupakan PPDS yang dititipkan di RSHS dan bukan karyawan RSHS, maka penindakan tegas sudah dilakukan oleh Unpad dengan memberhentikan yang bersangkutan dari program PPDS," tutur dia.
Tak Bisa Buka Praktek Seumur Hidup
Kabar terbaru, Priguna Anugerah Pratama alias PAP (31) tak akan bisa buka praktek seumur hidup.
Hal ini setelah Surat Izin Praktik (SIP) dicabut oleh Konsil Kesehatan Indonesia (KKI).
Tak hanya itu, Surat Tanda Registrasi (STR) milik dokter Priguna juga dinonaktifkan.
Pencabutan ini diungkapkan Ketua Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) drg Arianti Anaya, MKM pada keterangan resmi, Jumat (11/5/2025).
"KKI secara resmi menonaktifkan Surat Tanda Registrasi (STR) milik yang bersangkutan pada Kamis (10/4/2025), segera setelah status tersangka ditetapkan oleh aparat penegak hukum," tegas drg Arianti Anaya.
Langkah ini diikuti dengan koordinasi bersama Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat untuk mencabut Surat Izin Praktik (SIP) atas nama Priguna Anugerah Pratama.
Drg Arianti menegaskan pencabutan STR dan SIP merupakan sanksi administratif tertinggi dalam profesi kedokteran di Indonesia.
“Dengan demikian, setelah SIP dicabut, yang bersangkutan tidak dapat lagi berpraktik sebagai dokter seumur hidup,” tegasnya.
Sebagai langkah lanjutan, Kementerian Kesehatan juga telah memerintahkan penghentian sementara Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesiologi dan Terapi Intensif di RSUP Hasan Sadikin Bandung, Jawa Barat.
Penghentian ini bertujuan memberikan ruang untuk evaluasi menyeluruh terhadap sistem tata kelola dan pengawasan dalam pelaksanaan program PPDS di RSHS.
“Evaluasi yang dilakukan diharapkan mampu menghasilkan sistem pengawasan yang lebih ketat, transparan, dan responsif terhadap potensi pelanggaran hukum maupun etika oleh peserta program pendidikan dokter spesialis,” tutup drg Arianti.
Terpisah, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin kini membuat kebijakan baru usai munculnya kasus rudapaksa yang dilakukan dokter Priguna Anugerah.
Budi kini mewajibkan seluruh peserta PPDS untuk menjalani pemeriksaan kesehatan mental.
Hal ini merupakan upaya pencegahan dari Kemenkes agar tak terjadi kejadian serupa.
"Ini kan bisa dicegah, masalah mental, masalah kejiwaan. Sekarang Kementerian Kesehatan akan mewajibkan semua peserta PPDS yang mau masuk harus tes mental dulu dan setiap tahun," kata Budi dilansir Kompas TV, Jumat (11/4/2025).
Lebih lanjut Budi mengakui, tekanan psikologis yang dihadapi peserta PPDS selama masa pendidikan sangat berat.
Untuk itu diperlukan pemantauan berkala pada kesehatan mental para peserta PPDS ini.
"Jadi setiap tahun harus tes mental, sehingga kita bisa lihat kalau ada yang cemas atau depresi bisa ketahuan lebih dini sehingga bisa diperbaiki," terang Budi.
Sementara itu, atas adanya kasus rudapaksa ini, Kemenkes memutuskan untuk membekukan sementara program spesialis anestesiologi di FK Unpad dan RSHS Bandung.
Langkah pembekuan sementara ini diambil agar nantinya bisa dilakukan evaluasi menyeluruh pada PPDS FK Unpad, khususnya di RSHS Bandung.
"Perbaikan yang pertama kami akan membekukan dulu anestesi di Unpad dan RSHS Bandung, untuk melihat kekurangan mana yang harus diperbaiki."
"Maka di-freeze dulu satu bulan, diperbaiki seperti apa," ungkap Budi.
Tak hanya itu, Kemenkes juga akan memberikan sanksi berat kepada pelaku pelanggaran etik, termasuk pencabutan Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP).
"Jadi kami tetap pastikan STR, SIP dicabut, karena kewenangan ada di Kemenkes pada undang-undang yang baru, sehingga dia nggak bisa praktik lagi," tegas Budi.
Menteri PPA Minta Hukuman Diperberat
Sementara itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PPA) Arifah Fauzi memberikan tanggapannya terkait hukuman yang pantas diberikan kepada Priguna Anugerah Pratama.
Menurut Arifah, Priguna bisa diberi hukuman pidana lebih berat dari pelaku kekerasan seksual lainnya.
Hal ini dikarenakan status Priguna sebagai tenaga medis, dan aksi rudapaksa ini dilakukannya dalam situasi relasi kuasa, atau ketika ia sedang bertugas sebagai dokter di RSHS Bandung.
Selain itu aksi rudapaksa Priguna juga mengakibatkan dampak berat bagi korban.
Di antaranya bisa mengakibatkan trauma psikis, luka berat, atau bahkan kematian.
Mengingat Priguna melangsungkan aksinya dengan cara membius korban, sehingga korban tak berdaya saat Priguna melakukan rudapaksa tersebut.
"Ancaman pidana tersangka dapat ditambah sepertiga karena dilakukan oleh tenaga medis atau profesional dalam situasi relasi kuasa, atau mengakibatkan dampak berat bagi korban, termasuk trauma psikis, luka berat, atau bahkan kematian," kata Arifah dilansir Kompas.com, Jumat (11/4/2025).
Arifah menilai Priguna dapat dijerat dengan Pasal 6 jo Pasal 15 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dengan pidana penjara hingga 12 tahun dan atau denda hingga Rp300 juta.
Selain itu, Arifah juga mengecam keras terjadinya kasus kekerasan seksual terhadap korban tersebut yang dilakukan dengan menyalahgunakan kekuasaan atau dalam kondisi korban tidak berdaya.
Karena seharusnya rumah sakit bisa menjadi ruang publik yang aman bagi setiap orang, khususnya perempuan.
Lebih lanjut Arifah mengingatkan, dari kasus rudapaksa Dokter Priguna ini, masyarakat bisa belajar bahwa kekerasan seksual bisa terjadi dimana saja.
Termasuk terjadi di ruang publik yang seharusnya bisa menjadi ruang aman untuk semua.
"Kejadian ini menjadi peringatan bagi masyarakat bahwa kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja, termasuk ruang publik yang seharusnya menjadi tempat aman bagi kita semua."
"Tidak ada satu pun perempuan pantas menjadi korban kekerasan seksual," jelas Arifah.
berita viral
Dedi Mulyadi
Dokter Priguna Anugerah
Dokter PPDS Anestesi Unpad
dokter rudapaksa keluarga pasien
SURYA.co.id
surabaya.tribunnews.com
Tabiat Pak RT di Kalteng Viral Duduk Mesra di Pelaminan Bareng 2 Istrinya, Ternyata Juragan Tanah |
![]() |
---|
12 Pelanggaran Bupati Sudewo Diungkap di Pansus DPRD Pati, Begini Tangisan Eks Karyawan yang di-PHK |
![]() |
---|
Rekam Jejak Jusuf Hamka, Bos Jalan Tol yang Berani Gugat Hary Tanoe Bos MNC Ganti Rugi Rp 119 T |
![]() |
---|
Berkaca Dari Bupati Pati Sudewo Didemo Warga Tuntut Mundur, Istana dan DPR Wanti-wanti Pejabat |
![]() |
---|
Pantas Dedi Mulyadi Minta Lucky Hakim Basmi Tikus Pakai Burung Hantu Selain Ular, Ini Manfaatnya |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.