Sosok 4 Mahasiswa UIN Jogja Penggugat Presidential Threshold Yang Dikabulkan MK, Ini Prestasinya

Penghapusan presidential threshold merupakan sejarah, karena akhirnya dikabulkan setelah 36 kali digugat ke MK

Penulis: Wiwit Purwanto | Editor: Wiwit Purwanto
syariah.uin-suka.ac.id
Faisal Nasirul Haq dari Prodi Ilmu Hukum, dan tiga mahasiswa dari Program Studi Hukum Tata Negara: Enika Maya Oktavia, Rizky Maulana Syafei, dan Tsalis Khoirul Fatna saat bersama Dekan Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Dr. Ali Sodiqin, M.Ag. (syariah.uin-suka.ac.id) 

Ia masuk pada 1 September 2021.

Tidak banyak informasi soal sosok Tsalis. Di akun linkedin, ia memperkenalkan dirinya sebagai mahasiswi hukum sekaligus freelancer yang mahir dalam bidang tarik suara, menyukai dunia broadcasting, kecantikan, dan fashion hijab, serta menguasai excel.

Ia aktif dalam menyuarakan hak-hak perempuan serta memperjuangkan apa yang seharusnya diperjuangkan.

Faisal dkk memulai menggugat Presidential Threshold dengan mengajukan uji materi terhadap Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 pada 16 Juni 2024.

Mereka kemudian mengikuti sidang pengujian undang-undang (PUU) secara langsung pada Rabu, 13 November 2024.

Dikutip dari ilmuhukum.uin-suka.ac.id, Faisal menyatakan bahwa ketentuan Presidential Threshold sebesar 20 persen telah mereduksi nilai demokrasi dengan mempersempit peluang calon presiden hanya untuk mereka yang didukung oleh elite partai, sehingga rakyat hanya diposisikan sebagai objek, bukan penentu. 

Enika, menambahkan bahwa uji materi ini diajukan pasca-Pilpres 2024 untuk menegaskan bahwa permohonan ini murni sebagai perjuangan akademik dan advokasi konstitusional, tanpa ditunggangi kepentingan politik.

Pada Perkara Nomor 62/PUU-XXI/2024 ini, para pemohon menegaskan bahwa aturan ambang batas presiden telah menjadikan rakyat, yang seharusnya menjadi pemilik demokrasi, hanya sebagai objek, bukan subjek.

Dalam petitumnya, mereka meminta kepada MK agar menyatakan Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 melanggar batasan open legal policy dan bertentangan dengan prinsip moralitas demokrasi.

Faisal dkk menilai pengajuan permohonan adalah bentuk keberanian untuk memperjuangkan keadilan dan memperkuat demokrasi di Indonesia. 

Sebagai akademisi, mahasiswa tidak hanya berperan sebagai manusia pembelajar, tapi juga menjadi agen perubahan.

Pada akhirnya, permohonan Faisal dkk dikabulkan MK pada Kamis (2/1/2025).

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved