Berita Viral

Dulu Dicibir Gegara Tolak Gaji Rp 30 Juta Sebulan, Adi Berjuang Mati-matian Kini Jadi Juragan Melon

Dulu Dicibir Gara-gara Tolak Kerjaan denganGaji Rp 30 Juta Sebulan, Adi Berjuang Mati-matian hingga Kini Jadi Juragan Melon.

Facebook
Adi kini jadi juragan melon. Dulu Dicibir Gegara Tolak Gaji Rp 30 Juta Sebulan. 

SURYA.co.id - Sudah mapan kerja di Korea Selatan digaji Rp 30 juta per bulan, seorang pemuda asal Blora malah pilih pulang kampung dan jadi petani melon.

Pemuda tersebut bernama Adi Latif Mashudi.

Keputusan Adi yang banting stir jadi petani melon memang bikin orang tak habis pikir.

Ia pernah bekerja di salah satu pabrik material pembuat suku cadang alat elektronik terkenal di Korea dan mendapat gaji Rp30 juta.

Pekerjaan dengan gaji yang cukup itu lantas ditinggalkan karena Adi memilih pulang ke kampung halaman.

Baca juga: Kisah Boymaira Anak Petani yang Kuliah Hukum dengan Beasiswa LPDP Demi Bangun Kampung Halaman

"Saya jadi petani per bulan Oktober 2023," akunya, dikutip dari kanal YouTube insertlive.

Di lahan berukuran kurang lebih 700 m persegi, Adi membangun green house dan menanam ribuan bibit melon hidroponik dengan tiga varietas unggulan.

Buah yang ia tunjukkan juga tumbuh subur.

Keseriusannya menjadi petani tentu tak cuma sekadar coba-coba.

Menurutnya, wilayah yang ditempati tersebut memiliki potensi yang bagus, sehingga pilihannya membangun agrowisata pun menjadi hal yang tepat dan menguntungkan.

"Sebenarnya ini berangkat dari panggilan hati, karena di lokasi ini banyak potensi pertanian yang sebenarnya bisa digali terutama untuk pasar agrowisata.

"Hanya saja sejauh ini kan tidak ada yang memanfaatkan itu. Ini sebenarnya dalam rangka sebagai pemantik, sebagai langkah awal untuk menjadikan zona lingkungan sini sebagai destinasi wisata buah di Kabupaten Blora," sambungnya.

Awalnya, kerja di luar negeri dengan gaji puluhan juta membuat banyak orang salut pada Adi.

Baca juga: Biasa Tampil Modis Bak Artis Ibu Kota, Gaya Wanita Jambi Berubah 180 Derajat Usai Mudik ke Kampung

Namun ketika Adi memilih untuk kembali ke kampung halamannya dan menjadi petani melon, ia justru mendapat banyak cibiran dari tetangga.

"Saya sebagai operator produksi waktu itu. Sub perusahaan dari LG, supply spare part mesin cuci," katanya.

Karena kita ada di Indonesia apalagi di desa, banyak sekali yang kemudian sampai di telinga saya sendiri kalimatnya kurang enak.

Seperti, 'Itu lho anak kerja jauh-jauh di Korea, kemudian kuliah lulusan luar negeri, pulang-pulang kok jadi petani."

Omongan tak menyenangkan ini sudah banyak ia dengar.

Akan tetapi, ucapan-ucapan itu justru ia jadikan semangat untuk membuktikan bahwa petani dengan latar belakarng lulusan luar negeri juga menjadi hal keren yang patut dibanggakan.

"Ya itu kan keren. Ada petani lulusan luar negeri," ujarnya dengan bangga.

Menjadi petani diakui Adi memang tak mudah.

Apalagi, latar belakang pendidikan Adi tak linier dengan apa yang dikerjakannya saat ini.

Ia mengaku bahwa ada masa disaat ia terpuruk, misalnya ketika gagal panen dan membuat ribuan tanamannya layu.

"Saya memilih melon itu karena perawatannya cukup mudah. Meskipun sebenarnya sulit juga ya, karena saya waktu awal-awal merintis itu pernah satu titik itu usia tanaman sudah 45 hari, sudah terbentuk buahnya dan itu hampir mati semua," kenangnya.

Adi mengingat momen tersebut dengan jelas. Sebanyak lebih dari 1.000 tanaman miliknya nyaris gagal karena ada perawatan yang salah.

"Jadi satu green house itu layu sekitar 1000 sekian pohon. Itu terjadi karena ada salah manajemen dan memang pure kesalahan saya," akunya.

Adi pun mengaku bahwa memiliki ilmu pertanian sangat penting untuk bekerlangsunngan agro wisatanya.

Dari pengalaman tersebut, ia bersyukur karena lama-kelamaan ia bisa beradaptasi dan melaluinya dengan lebih mudah.

"Itu menandakan bahwa saya tidak ada latar belakang pertanian dan tidak ada latar belakang keilmuan. Jadi ya cukup sulit pada awal-awal, tapi setelah berjalan ternyata relatif," tuturnya.

Di kisah lain, Seorang alumni Universitas Brawijaya (UB) Malang mengambil keputusan luar biasa dalam hidupnya. 

Ia menolak pekerjaan di perusahaan minyak ternama demi membangun kampung halaman.

Ia adalah Lodimeda, asal Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Lodi-sapaan akrabnya, merupakan lulusan S1 Teknik Industri sekaligus alumni beasiswa LPDP. 

Semasa kuliah, ia sempat magang di perusahaan minyak ternama.

Lodi kemudian ditawari supervisor-nya untuk bekerja di Dubai.

Alumni UB tolak kerja di perusahaan minyak ternama
Alumni UB tolak kerja di perusahaan minyak ternama (Kolase LPDP)

Namun, tawaran itu justru ia tolak.

Ia lebih memilih melanjutkan S2, agar bisa melakukan riset dan mengamati masalah warga yang ada di kampungnya.

"Jadi yang saya lakukan di Sabu selama ini riset.

Dalam bidang apa? Semua bidang yang ada hubungannya dengan energi, air, dan material walaupun kekhususan saya di S3 adalah tentang air tapi saya percaya bahwa ya pada akhirnya semua aspek kehidupan kita itu saling berkaitan satu dengan yang lainnya" ujarnya, dikutip dari laman LPDP.

Lodi menuturkan, masalah yang tak kunjung beres di kampungnya adalah krisis air bersih dan masalah ekonomi. Tak sedikit dari mereka yang tidak memikirkan sekolah apalagi kuliah.

"Pada akhirnya, keputusan untuk sekolah bisa jadi tidak rasional. Keputusan yang lebih rasional adalah lebih baik kita merantau, karena bisa memberi makan saudara-saudara yang ada di rumah. Kalau di sekolah belum tentu nanti pulang ke Sabu bisa kerja," kata Lodi.

Maka dari itu, sebagai orang yang diberikan kesempatan, Lodi tak ingin menyia-nyiakan ilmu yang telah didapatnya di sekolah dan kampus.

Ia ini bertekad menempuh pendidikan setinggi mungkin.

Kemudian, Lodi pun melanjutkan pendidikan S2 Industrial Ecology di Leiden University dengan beasiswa LPDP.

Kini, Lodi tengah bersiap untuk melanjutkan S3 Industrial Ecology di Delft University of Technology (TU Delft) dengan beasiswa LPDP lagi.

Penolakan bekerja di luar negeri menurut Lodi juga dilatarbelakangi oleh kecintaannya terhadap Sabu. Orang-orang Sabu menurut Lodi sangat erat kekeluargaannya.

Hal tersebut dikarenakan Sabu memiliki tradisi sejarah tutur membaca silsilah keluarga dari kakek hingga nenek moyang. Oleh karena itu, warga Sabu selalu mengusahakan memberi ketertarikan soal Sabu kepada generasi penerusnya.

"Inilah yang membuat Beta selalu merasa dekat dengan Sabu dan membuat Beta memutuskan untuk setelah Beta kuliah, setelah selesai magang, memutuskan untuk kembali ke Sabu dan keputusan ini Beta jalani sampai hari ini," tuturnya.

Sepulang dari S3, Lodi berencana untuk pulang kembali ke Sabu.

Di sana, ia akan terus melakukan riset dan mengamati bagaimana orang-orang di Sabu menjalani hidup dan bertahan.

Lodi mengatakan, ia sempat berpikir untuk membuat produk industri skala kecil menengah bagi warga Sabu untuk memaksimalkan karya mereka.

Apalagi, warga di sana memiliki potensi membuat gula merah dan menenun kain.

Lodi juga mendirikan proyek museum rintisan bernama Museum Ammu Hawu.

Museum berupa situs digital ini merekam sekaligus menggali seluruh peradaban sosial, budaya, ilmu pengetahuan, dan kebijaksanaan hidup yang diwariskan masyarakat Sabu dari generasi ke generasi.

>>>Update berita terkini di Googlenews Surya.co.id

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved