Pilkada Pamekasan 2024

Pemilihan Langsung Rusak Tatanan Masyarakat, Eks DPRD Pamekasan Ajak Pilih Kembali Lewat MPR-DPRD

Bahkan tidak jarang biaya yang dikeluarkan pasangan calon lebih besar dari dana yang dipakai penyelenggara Pemilu.

Penulis: Muchsin | Editor: Deddy Humana
surya/muchsin
Suli Faris, mantan pimpinan DPRD Pamekasan. 


SURYA.CO.ID, PAMEKASAN – Setelah beberapa periode melaksanakan pemilihan umum (Pemilu) secara langsung, mulai muncul seruan kembali menerapkan sistem pemilihan tidak langsung. Alasannya, pemilihan langsung selama ini berdampak rusaknya tatanan sosial.

Dampak dari pemilihan langsung, tidak hanya menimbulkan ketegangan antar kelompok satu dengan lainnya, tetapi juga pada ikatan keluarga.

Hal ini disampaikan Suli Faris, mantan anggota DPRD Pamekasan setelah menyimak perjalanan proses demokrasi di tanah air lewat pemilihan langsung. Menurutnya, Pemilu baik itu pileg, pilbup, pilgub dan pilpres, berdampak kurang baik pada masyarakat.

“Yang kita lihat selama ini pemilihan langsung bukan menerapkan inti demokrasi. Melainkan munculnya kekacauan, hujat menghujat. Bahkan disertai tindakan kekerasan,” ujar Suli Faris kepada SURYA, Jumat (24/5/2024).

Menurut mantan anggota DPRD Pamekasan tiga periode ini, pemilihan langsung berdampak buruk karena selama ini sebagian masyarakat belum memahami apa tujuan sebenarnya dari Pemilu. Apa arti demokrasi, apa arti poliltik dan apa tujuan berpolitik.

Sehingga di tengah kacaunya pemahaman masyarakat terhadap demokrasi, tetap dipaksakan untuk mendapatkan pengakuan dunia bahwa Indonesia menerapkan sistem demokrasi. Karena itu, akan lebih bijak manakala pemerintah pusat dan DPR RI meninjau kembali sistem pemilu yang diterapkan saat ini.

Suli menyarankan pemerintah mengembalikan proses Pemilu tidak melalui pemilihan langsung. Sistem Pilpres dipilih MPR, kepala daerah dipilih DPRD, dan pileg memilih gambar partai, agar partai punya otoritas.

Dengan begitu partai bisa mengorbitkan kader-kader terbaiknya untuk duduk di legislatif maupun di eksekutif.

“Sebab, dalam Undang Undang Dasar (UUD) 1945, peserta pemilu legislatif adalah partai politik bukan orang per orang. Selain itu, agar partai punya wibawa, tanggung jawab, dan bisa merealisasikan visi dan misinya," tegasnya.

"Sistem pemilu saat ini sulit bagi partai untuk mewujudkan visi dan misinya. Karena sebagian anggota legislatif merasa berjuang dengan kekuatan dan cara mereka sendiri. Mereka menganggap, partai sebagai jembatan saja,” tambah Suli.

Karena itu Suli Faris juga menyimpulkan bahwa sistem pemilihan langsung kepala daerah ternyata tidak ideal seperti gambaran di peraturan perundang-undangan. Misalnya menyangkut biaya yang harus disiapkan pemerintah untuk melaksanakan proses pilkada.

Akibatnya uang negara yang dikeluarkan dalam pilkada langsung melalui KPU, akhirnya membengkak cukup besar. Untuk pilkada di tingkat kabupaten kota saja, bisa menghabiskan anggaran minimal Rp 60 miliar.

Bila sebanyak 428 kabupaten/kota menggelar pilkada, bersama seluruh provinsi di negeri ini, maka uang negara yang dihabiskan setiap lima tahun sekitar Rp 60 triliun.

"Itu baru anggaran yang dikelola KPU, belum termasuk biaya yang dikeluarkan masing-masing pasangan calon dan pendukungnya sebagai biaya pemenangan,” ungkap Suli.

Bahkan tidak jarang biaya yang dikeluarkan pasangan calon lebih besar dari dana yang dipakai penyelenggara Pemilu.

Halaman
12
Sumber: Surya
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved