Biodata Hakim MK Arief Hidayat yang Beber Kejanggalan Terkabulnya Gugatan Batas Usia Capres-Cawapres
Hakim MK Arief Hidayat membeberkan kejanggalan atas terkabulnya gugatan soal batas usia capres-cawapres
Penulis: Arum Puspita | Editor: Adrianus Adhi
Padahal dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) pada Selasa (19/9/2023), tiga perkara yang akhirnya ditolak MK, Perkara Nomor 29PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023, Ketua MK Anwar Usman tidak hadir.
Saat itu, RPH dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra dan Arief menanyakan alasan Anwar Usman tidak hadir.
Siapa sosok Arief Hidayat?
Arief Hidayat lahir di Semarang pada 3 Pebruari 1956 silam.
Ia “orang baru” di dunia hukum, khususnya hukum tata negara.
Ia merupakan Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.
Selain aktif mengajar, ia juga menjabat sebagai ketua pada beberapa organisasi profesi, seperti Ketua Asosiasi Pengajar HTN-HAN Jawa Tengah, Ketua Pusat Studi Hukum Demokrasi dan Konstitusi, Ketua Asosiasi Pengajar dan Peminat Hukum Berperspektif Gender Indonesia, serta Ketua Pusat Studi Hukum Lingkungan.
Di samping itu, Arief juga aktif menulis. Tidak kurang dari 25 karya ilmiah telah dia hasilkan dalam kurun waktu lima tahun terakhir, baik berupa buku maupun makalah.
Sebagai bagian dari friends of court, dirinya juga sering terlibat dalam berbagai kegiatan yang dilakukan oleh MK.
Ia aktif menjadi narasumber maupun menjadi juri dalam setiap kegiatan MK berkaitan dengan menyebarluaskan mengenai kesadaran berkonstitusi.
“Saya membantu Sekretariat Jenderal MK merumuskan kegiatan yang berkaitan dengan jaringan fakultas hukum di setiap perguruan tinggi di Indonesia."
"Sehingga di situ, saya semacam kepala suku yang menggunakan pendekatan yuridis romantis kepada kelompok yang sebagian besar merupakan guru besar Ilmu Hukum Tata Negara di berbagai fakultas hukum di Indonesia. Saya sampai disebut sebagai pakar yuridis romantis,” terangnya.
Disinggung mengenai hal tersebut, Arief mengungkapkan bahwa panggilan itu muncul karena ia kerap kali menjadi penengah antara guru besar yang berpegang pada beberapa pendekatan dalam Ilmu Hukum Tata Negara.
Menurutnya, beberapa guru besar membanggakan salah satu pendekatan tertentu daripada lainnya.
“Dalam Ilmu Hukum Tata Negara hanya ada pendekatan yuridis normatif dan yuridis sosiologis, orang yang senang dengan dua pendekatan itu membimbing mahasiswa sering kali bertikai dan merasa bagus salah satunya. Bagi saya, keduanya saling melengkapi dan bagus disesuaikan dengan penelitiannya. Maka supaya tidak bertikai, saya menyebut yang terbagus adalah yuridis romantis,” kelakarnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.