Berita Surabaya

Respons Pakar Soal MK Ijinkan Kampanye Politik di Lingkungan Kampus: Ada Potensi Baik dan Buruk

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengizinkan kampanye politik di dalam lingkungan kampus memicu perbincangan hangat di kalangan publik.

Penulis: Fikri Firmansyah | Editor: Cak Sur
Istimewa
Dosen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Airlangga, Irfai Afham SIP MSc. 

SURYA.CO.ID, SURABAYA - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengizinkan kampanye politik di dalam lingkungan kampus memicu perbincangan hangat di kalangan publik.

Khususnya menjelang Pemilu 2024, kampus dianggap sebagai medan potensial untuk memperoleh suara pemilih muda.

Menyikapi situasi tersebut, Dosen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR), Irfai Afham SIP MSc memberikan pandangannya.

Dia merespons tentang fenomena kampanye politik yang menjalar ke dalam kampus serta dampak dan tantangannya.

Perkembangan Politik yang Dinamis

Irfai melihat kampanye politik di kampus sebagai cerminan dari dinamika politik yang tidak terelakkan.

"Saya sepakat dengan kehidupan politik yang dinamis di lingkungan kampus, karena di kampus menjadi tempat lahirnya ide-ide politik besar dan alternatif dalam konteks berbangsa dan bernegara," ucap Irfai, Senin (28/8/2023).

Namun, dalam pandangannya, aspek praktis jangka pendek perlu dicermati.

"Batasan yang diperlukan adalah bagaimana institusi pendidikan tetap menjaga diri dari campur tangan dalam politik praktis yang hanya fokus pada kemenangan dalam pemilu. Tetapi seharusnya juga mengarah pada agenda lebih besar yang terkait dengan nasionalisme," tambahnya.

Etika dalam Kampanye Politik

Irfai juga menyoroti pentingnya etika dalam kampanye politik di kampus, khususnya dalam menyasar generasi muda.

"Agenda anti korupsi seharusnya menjadi agenda utama dalam memperkuat budaya politik di kalangan mahasiswa, yang mencakup pembentukan karakter yang toleran dan demokratis," ucap Irfai.

Sebagai seorang akademisi, Irfai juga tidak melupakan sejarah yang telah membentuk kondisi politik kampus saat ini.

Ia menyinggung pengaruh masa otoritarian di Indonesia terhadap partisipasi politik di kampus.

"Kita mengalami 32 tahun era otoritarian di bawah pemerintahan Soeharto. Dampaknya, adalah pasifnya keterlibatan politik di kampus. Mahasiswa dan dosen yang berpendapat kritis sering dianggap sebagai ancaman, bukan sebagai potensi untuk mengembangkan ide-ide besar dalam politik," ungkap Irfai.

Tumbuhkan Budaya Kritis Mahasiswa

Mengenai dampak, Irfai mengamati, bahwa ada potensi baik dan buruk.

"Saya pikir beberapa pemilu terakhir yang mencuatkan intoleransi akan tetap melekat dalam ingatan bangsa, termasuk di kalangan pelajar. Di sini, pihak akademik harus tegas dalam mengatur batasan dan sanksi," katanya.

Pengalaman studi Irfai di Eropa, menjadi sorotan penting dalam wawancara kali ini.

Ia menggambarkan bagaimana diskusi antara mahasiswa dan aktor politik di Eropa telah membentuk kultur kritis yang sehat.

"Ketika saya belajar di Eropa, khususnya di Prancis, saya melihat suasana politik yang dinamis di mana mahasiswa, calon legislatif, calon wali kota dan calon presiden berdiskusi tentang gagasan-gagasan. Ini sangat penting dalam membangun kultur kritis di kalangan mahasiswa," Irfai menuturkan.

Dalam hal regulasi, Irfai berpendapat, bahwa peran pemerintah dan lembaga pengawas sangat penting.

"Dalam menghadapi situasi ini, kampus-kampus yang memiliki otonomi perlu merumuskan aturan yang mengayomi agar politik di kampus tetap sehat. Dengan mengambil langkah bijak, putusan MK ini dapat menjadi peluang untuk membangun politik yang lebih dinamis setelah lebih dari dua dekade reformasi," pungkasnya.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved