Pemilu 2024

Pro Kontra Sistem Pemilu Proporsional Terbuka dan Tertutup, Ini Penjelasan Dosen Fisip Unair

Dosen Ilmu Politik Fisip Unair, Kalimah Wasis menjelaskan perbedaan mendasar sistem proporsional pemilu tertutup dan terbuka, simak berikut ini

Penulis: Fikri Firmansyah | Editor: Cak Sur
Istimewa
Dosen Ilmu Politik Fisip Unair, Kalimah Wasis. 

SURYA.CO.ID, SURABAYA - Pada 15 Juni 2023 kemarin, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) telah membacakan hasil gugatan terkait penolakan sistem proporsional tertutup.

Artinya, sistem Pemilu 2024 akan dilaksanakan secara terbuka.

Namun, putusan tersebut mengakibatkan sejumlah pro dan kontra di kalangan masyarakat.

Merespons hal tersebut, Dosen Ilmu Politik Fisip Unair, Kalimah Wasis menjelaskan bahwa perbedaan mendasar terletak pada cara memilih kandidat.

Dalam sistem tertutup, pemilih hanya diperkenankan untuk mencoblos pilihan partai saja. Sedangkan pada sistem terbuka, pemilih dapat mencoblos caleg secara langsung.

Kedua sistem tersebut telah dipraktikkan di Indonesia.

"Pada daftar tertutup, pemilih hanya diperkenankan mencoblos partai saja. Apabila partai tersebut memperoleh suara, maka caleg yang mendapatkan kursi akan diurutkan berdasar nomor urut calon," jelas Kalimah, Kamis (29/6/2023).

“Sistem ini menimbulkan praktik nepotisme yang rawan terjadi antara caleg dan kaum elit partai. Sistem ini juga dinilai memiliki aspek demokratisasi yang rendah. Mengingat caleg yang terpilih bukanlah benar-benar pilihan masyarakat melainkan orang yang memiliki kekuasaan untuk mendapatkan nomor urut pertama,” imbuh dia.

Dari berbagai kritikan tersebut, lanjutnya, sistem proporsional terbuka diharapkan mampu untuk memperbaiki kekurangan pada sistem proporsional tertutup.

Pasalnya, pemilih dapat menjatuhkan suara pada partai serta nama caleg sekaligus. Kemudian, caleg dengan suara terbanyak akan terpilih sesuai dengan jatah kursi partai secara keseluruhan.

“Sistem ini mendapat apresiasi, karena antara pemilih dengan caleg tercipta interaksi. Hal ini memudahkan masyarakat untuk memilih caleg yang benar-benar sesuai dengan harapan mereka,” ujar Kalimah.

“Akan tetapi sistem ini memiliki sisi gelap, di mana semakin marak praktik money politics akibat ketatnya persaingan masing-masing kandidat. Dampaknya akan melahirkan praktik korupsi untuk menutup cost yang dikeluarkan selama kampanye,” sambungnya.

Namun demikian, menurut Kalimah, kedua sistem tersebut belum mampu menyelesaikan permasalahan utama.

“Bagi saya, kedua sistem tersebut tetap belum mampu menyelesaikan permasalahan utama, yaitu terkait sejauh mana anggota legislatif betul-betul bertindak mewakili kepentingan rakyat. Sedangkan di sisi lain, mereka juga merupakan kader partai yang mengakomodir kepentingan partainya. Jalan tengah yang dapat dilakukan adalah penerapan mixed system seperti yang dianut sejumlah negara."

“Akan tetapi, harapannya pemilu tetap dapat berjalan dengan baik, terhindar dari kerusuhan dan polemik yang menyebabkan polarisasi di masyarakat. Masyarakat dapat mendukung dengan bijak, berpikir cermat dan jauhi berita hoaks,” tandas Kalimah.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved