Brigadir J Ditembak di Rumah Jenderal
Biodata Eks Hakim Agung Djoko Sarwoko yang Anggap Biasa Saja Vonis Ferdy Sambo Cs Melebihi Tuntutan
Mantan Hakim Agung Djoko Sarwoko anggap biasa saja vonis Ferdy Sambo Cs melebihi tuntutan jaksa. Berikut profil dan biodatanya.
Penulis: Putra Dewangga Candra Seta | Editor: Musahadah
SURYA.co.id - Inilah profil dan biodata mantan Hakim Agung Djoko Sarwoko yang anggap biasa saja vonis Ferdy Sambo Cs melebihi tuntutan jaksa.
Diketahui, Djoko Sarwoko menyoroti vonis Majelis Hakim terhadap 4 terdakwa kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
Empat terdakwa itu adalah Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Ricky Rizal dan Kuat Ma'ruf.
Menurutnya, vonis yang dijatuhkan lebih berat dari tuntutan Jaksa Penuntut Umun (JPU) sebenarnya adalah hal yang biasa.
Karena dirinya pun pernah menjatuhkan vonis 'dua kali lipat' dari tuntutan JPU.
"Saya kira biasa itu, saya pernah menghukum juga seperti ini, Jaksa menuntut rendah, saya banding dua kali lipat," kata Djoko, dalam tayangan Kompss TV, Selasa (14/2/2023).
Namun sebelum menjatuhkan vonis yang melampaui tuntutan JPU, tentunya Hakim harus mempertimbangkan apakah ada hal yang meringankan maupun memberatkan terdakwa.
"Tentu itu harus dilengkapi atau didasari dengan pertimbangan yang cukup," jelas Djoko.
Lantas, seperti apa profil dan biodatanya?
Djoko Sarwoko lahir pada 21 Desember 1942 dari keluarga pas-pasan.
Dikutip dari detik.com yang mengacu pada biografi 'Toga 3 Warna', Djoko semasa kecil terbisa menumbuk padi di lesung.
Djoko juga sering mencari rumput untuk memberi pakan kerbau milik keluarganya.
Kehidupan Djoko kecil membuatnya tabah.
Ayahnya mengajari bagaimana menahan lapar dan dahaga dengan berpuasa. Kesederhanaan masa kecil Djoko sangat terasa ketika musim paceklik.
"Ketika masa itu datang, Ibu terkadang menyediakan ketela rambat sebagai makanan utama kami," ceritanya di halaman 25.
Memasuki masa SD, Djoko ternyata tidak terlalu menonjol. Nilai pelajarannya biasa saja, bahkan pernah tinggal kelas. Namun saat menapak SMA, kecerdasannya mulai menonjol, terutama di pelajaran bahasa. Hal inilah yang mengubur keinginannya masuk dunia militer.
"Nilai Bahasa Jermanku sembilan, demikian pula Bahasa Inggris. Tak pernah kurang dari delapan. Begitu masuk jurusan bahasa, musnah sudah harapanku menjadi polisi atau tentara. Sebab salah satu syarat bisa melanjutkan ke pendidikan militer setidaknya harus berasal dari jurusan B (ilmu alam)," cerita Djoko di halaman 35.
Kehidupan sederhanya berlanjut hingga mengenyam bangku kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM).
Djoko terbiasa membawa beras untuk diberikan kepada induk semang. Lalu induk semang memasaknya dan mengembalikan ke anak kos dalam bentuk nasi dan lauk.
"Kuliah saat itu bukan hanya dinikmati orang-orang yang sudah berkelebihan rejeki. Kami yang hidup pas-pasan pun tak sedikit," kisah Djoko.
Selama karirnya sebagai hakim, Djoko pernah menduduki jabatan Ketua Muda Pidana Khusus Mahkamah Agung Republik Indonesia periode 2009—2014.
Ia dilantik pada 17 April 2009 di Ruang Kusuaatmadja, Gedung Mahkamah Agung RI bersama pelantikan lima Ketua Muda Mahkamah Agung RI lainnya.
Sebelum jabatan ini, Djoko Sarwoko menjabat sebagai Ketua Muda Pengawasan Mahkamah Agung.
Djoko Sarwoko kalah suara pada rapat paripurna Mahkamah Agung dalam pemilihan Ketua MA tahun 2009.
Pria yang genap berusia 67 tahun di 2009 itu hanya mampu mengantongi 3 suara, sedangkan Harifin A Tumpa mendapat 36 dari total 43 suara.
Dalam rapat pemilihan Wakil Ketua MA, Djoko Sarwoko juga masih gagal.
Enam suara miliknya masih kalah jauh dari Abdul Kadir Mappong (23 suara) dan Ahmad Kamil (25 suara) yang akhirnya membawa keduanya memangku jabatan masing-masing sebagai Wakil Ketua MA Bidang Yudisial dan Wakil Ketua MA Bidang Non Yudisial.
Saat menjabat sebagai Ketua Muda Bidang Pengawasan, nama Djoko Sarwoko sempat marak di berbagai media.
Ia dituduh telah melakukan Interversi terhadap suatu perkara. Saat itu Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat mengatakan tidak berwenang dalam menangani perkara hukum antara Sugar Group Companies dan Marubeni Corporation.
Kemudian terjadilah banding dan diputuskan PN tetap berwenang. Setelah kasasi, justru malah menguatkan putusan pengadilan banding tersebut.
Menurut Presiden Kongres Advokat Indonesia H Indra Sahnun Lubis SH pada waktu itu, Djoko Sarwoko memang disengaja akan dijatuhkan karena dianggap sebagai penghalang. Dikarenakan merupakan Hakim Agung yang tegas dan tidak mau disuap. Djoko Sarwoko juga dinilai sangat respek terhadap laporan masyarakat apabila ada penyimpangan.
Februari 2012, Djoko Sarwoko termasuk dalam majelis yang menolak permohonan PK kasus Antasari Azhar.
Hak ini sesuai putusan pengadilan tingkat pertama, yakni PN Jakarta Selatan, dan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta, serta diperkuat kasasi MA. Antasari terbukti bersalah dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen dan divonis 18 tahun penjara.
Djoko Sarwoko pensiun sebagai hakim pada usia 70 tahun pada tahun 2014.
Setelah pensiun, Djoko justru melanjutkan kuliah S3 di Universitas Gadjah Mada.
Djoko Sarwoko meraih gelar doktor dengan predikat cum laude dari Universitas Gadjah Mada (UGM) pada April 2017.
Ia dinyatakan lulus dalam ujian terbuka Program Doktor Fakultas Hukum, Selasa 27 April 2017 bertempat di Sekolah Pascasarjana Lintas Disiplin UGM.
Gelar doktor diraih Djoko Sarwoko dengan melakukan penelitian disertasi tentang Politik Hukum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme di Indonesia.
Dalam disertasinya, Djoko Sarwoko menuturkan bahwa terdapat pergeseran politik hukum pengaturan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme yang diatur dalam Undang-Undang No.9 Tahun 2013 (UU Pendanaan Terorisme) dengan Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 (UU Terorisme).
>>>Ikuti Berita Lainnya di News Google SURYA.co.id
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.