Kasus Penembakan Brigadir J

Ferdy Sambo Sandang 2 Status di Kasus Pembunuhan Brigadir J, Komnas HAM Singgung Ada Peluang Bebas

Ferdy Sambo menyandang dua status tersangka dalam dugaan kasus pembunuhan berencana Brigadir J, setelah melewati beberapa pemeriksaan pihak kepolisian

Penulis: Akira Tandika Paramitaningtyas | Editor: Iksan Fauzi
Kolase Surya.co.id
Ferdy Sambo menyandang dua status tersangka dalam dugaan kasus pembunuhan berencana Brigadir J, setelah melewati beberapa pemeriksaan pihak kepolisian 

Dalam SPDP tersebut, para tersangka diduga melanggar Pasal 49 Juncto (jo.) Pasal 33 dan/atau Pasal 48 ayat (1) jo. Pasal 32 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau Pasal 221 ayat (1) ke 2 dan 233 KUHP jo. Pasal 55 KUHP dan/atau Pasal 56 KUHP.

Dari pasal yang diterapkan itu, Ferdy Sambo dan enam tersangka lainnya diduga dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apapun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik.

Ancaman hukumannya adalah pidana penjara selama 10 tahun dan denda maksimal Rp 10 miliar.

Sementara Pasal 221 KUHP yang disangkakan kepada para tersangka berbunyi:

Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:

(1) Barangsiapa dengan sengaja menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan atau yang dituntut karena kejahatan, atau barangsiapa memberi pertolongan kepadanya untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian, atau oleh orang lain menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian;

(2) Barangsiapa setelah dilakukan suatu kejahatan dan dengan maksud untuk menutupinya, atau untuk menghalang-halangi atau mempersukar penyidikan atau penuntutannya, menghancurkan, menghilangkan, menyembunyikan benda-benda terhadap mana atau dengan mana kejahatan dilakukan atau bekas-bekas kejahatan lainnya, atau menariknya dari pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian maupun oleh orang lain, yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian.

Kemudian, Pasal 233 KUHP yang juga disangkakan kepada para tersangka berbunyi:

Barangsiapa dengan sengaja menghancurkan, merusak, membikin tak dapat dipakai, menghilangkan barang-barang yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan sesuatu di muka penguasa yang berwenang, akta-akta, surat-surat atau daftar-daftar yang atas perintah penguasa umum, terus menerus atau untuk sementara waktu disimpan, atau diserahkan kepada seorang pejabat, ataupun kepada orang lain untuk kepentingan umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Baca juga: PENGAMAT: Istri Ferdy Sambo Untung Tapi Brigadir J Distigma Buruk atas Rekomendasi Komnas HAM

Komnas HAM: Ada Kemungkinan Ferdy Sambo Bebas

Dalang pembunuhan berencana terhadap Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat, Ferdy Sambo berpeluang bisa bebas seperti 7 pelaku di kasus Marsinah.

Hal itu dimungkinkan karena hingga saat ini, polisi masih menggunakan keterangan saksi-saksi dari para tersangka.

Sementara, keterangan saksi-saksi tersebut masih kerap berubah-ubah. Mereka adalah Ferdy Sambo, istri Ferdy Sambo yakni Putri Candrawathi, Brogadir Ricky Rizal dan Kuwat Maruf.

Nantinya, hanya meninggalkan Bharada E atau Richard Eliezer yang menjadi justice collaborator dan di bawah kendali Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) serta penyidik Bareskrim.

Sementara saksi Kuwat, Susi, Brigadir Ricky, Yogi dan Romer masih di bawah kendali Sambo semua. 

Ahmad Taufan Damanik selaku Ketua Komnas Hak Asasi Manusia (HAM) mengungkapkan kekhawatiran itu saat dihubungi Kompas.com, Jumat (2/9/2022).

Menurut Taufan, bisa saja para tersangka bebas karena sejauh ini polisi mendapatkan banyak sekali keterangan ataupun pengakuan yang berbeda-beda.

"Yang berbahaya adalah, ini kan semua banyak sekali berdasarkan kesaksian-kesaksian, pengakuan-pengakuan,"

"Kasus pembunuhan ya. Bukan kekerasan seksual. Kalau kekerasan seksual pegangannya UU TPKS. Kesaksian (bisa) jadi alat bukti (di UU TPKS)," ujar Taufan.

Sementara, menurut Taufan, kesaksian lemah dalam kasus tindak pidana umum, tidak seperti di kasus kekerasan seksual yang bisa dijadikan alat bukti.

Karena itu, polisi membutuhkan alat bukti dan barang bukti lain, bukan sekadar pengakuan para tersangka dan saksi-saksi.

Taufan mengaku khawatir apabila para tersangka di kasus pembunuhan Brigadir J tiba-tiba menarik kesaksian mereka.

"Yang saya khawatirkan kalau misalnya mereka ini kemudian bersama-sama menarik pengakuannya. BAP (berita acara pemeriksaan) dibatalkan sama mereka, dibantah. Kacau itu kan," tuturnya.

Ikuti Berita Lainnya di News Google SURYA.co.id

Sumber: Tribunnews
Halaman 4/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved