4 FAKTA Lukas Enembe yang Tolak Pemekaran DOB, Pernah Dideportasi dan Sebut Orang Papua Tidak Happy

Gubernur Papua Lukas Enembe menolak rencana pemerintah memekarkan Daerah Otonomi Baru (DOB) di Provinsi Papua.

Editor: Musahadah
tribun papua
Gubernur Papua Lukas Enembe menolak pemekaran DOB Papua. Berikut fakta-fakta mengenai sosok Lukas Enembe. 

SURYA.CO.ID - Gubernur Papua Lukas Enembe kembali menjadi sorotan media. 

Kali ini soal penolakannya terhadap rencana pemerintah memekarkan Daerah Otonomi Baru (DOB) di Provinsi Papua. 

Orang nomor satu di Bumi Cenderawasih ini secara tegas menolak rencana pemekaran DOB di Provinsi Papua dalam keterangan resmi, Jumat (27/5/2022).

"Soal penolakan ini, saya bersama Ketua DPR dan Ketua MRP sudah tanda tangan. Jadi saya tidak mau bicara. Saya suruh tolak," katanya dengan nada tegas dalam video tersebut.

Sikap tersebut disampaikan Lukas Enembe saat diwawancarai awak media di Kantor penghubung Pemerintah Provinsi Papua di Jakarta, Jumat (28/05/2022) kemarin.

Baca juga: BIODATA Brigjen TNI Evi Reza Pahlevi yang Beri Pesan Penting ke Satgas Raider 600/Modang di Papua

Pada kesempatan itu, dia juga mengaku heran, terkait rencana pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) di Tanah Papua yang tiba-tiba muncul dan terus memancing perdebatan banyak kalangan, baik yang mendukung maupun yang menolak.

“Sebenarnya (rencana DOB) di Papua ini datang dari mana, kok tiba-tiba muncul menjadi seperti ini,” ujarnya dengan nada bertanya.

Sebagai orang nomor satu di Bumi Cenderawasih, Lukas Enembe mengaku tahu persis seperti apa kondisi masyarakat Papua.

"Sebagai kepala daerah, saya tahu betul masyarakat dan pegawai saya. Uang terbatas, bagaimana mau bawa orang. Ini belum bisa," terangnya.

Masih menurut Lukas Enembe, pemekaran kabupaten yang ada di Papua selama ini saja belum menghasilkan sesuatu. Tidak ada pendapatan asli daerah (PAD) dan selama ini masih menggantungkan dari Dana Alokasi Umum (DAU).

"Apalagi akan dimekarkan lagi 3 provinsi. Uang dari mana yang akan kita ambil untuk memenuhi biaya daerah. Di Dalam negara demokrasi seperti begini tidak boleh," ujarnya.

Terpisah, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengatakan, Surat Presiden (Surpres) mengenai Rancangan Undang-undang tentang pembentukan daerah otonomi baru (DOB) sudah diserahkan ke DPR.

Dengan demikian, rencana pembentukan DOB baru di Papua terus berjalan "Iya sudah, sudah (surpres sudah diserahkan ke DPR)," kata Mahfud di Kompleks Istana Kepresidenan, Senin (23/5/2022).

Lebih jauh, Mahfud mengatakan, adanya pihak yang suka atau tidak dengan DOB di Papua, merupakan hal biasa.

"Bagi pemerintah DOB itu jalan. Bahwa ada yang suka, ada yang tidak itu biasa saja. UU apapun bukan hanya DOB, kalau anda mau lihat yang tidak setuju, ya ada yang tidak setuju," lanjutnya.

Dia melanjutkan, saat ini sudah ada deklarasi dari sejumlah bupati di Papua yang setuju dengan rencana DOB ini.

Para bupati juga menyiapkan diri untuk menjadi calon gubernur di daerah otonomi baru. Di sisi lain, Mahfud mengungkapkan masih hanyak demo yang tidak sepakat dengan DOB.

"Tinggal mau nanti kita lihat prosedur hukum dan politiknya itu, prosedur konstitusionalnya itu benar apa tidak sekarang kalau soal pendapat itu pasti bisa berbeda. Nanti kan itu ada yg memutuskan," jelasnya.

Untuk diketahui, DPR resmi menetapkan tiga RUU terkait pemekaran wilayah di Papua menjadi RUU inisiatif DPR dalam rapat paripurna DPR pada 12 April 2022.

Tiga RUU tersebut adalah RUU tentang Pembentukan Provinsi Papua Selatan (PPS), RUU tentang Pembentukan Provinsi Papua Tengah, dan RUU tentang Pembentukan Provinsi Papua Pegunungan Tengah.

Badan Legislasi (Baleg) DPR menyetujui tiga RUU untuk ditetapkan sebagai usul insiatif DPR, yakni RUU Provinsi Papua Selatan, RUU Provinsi Papua Tengah, dan RUU Provinsi Papua Pegunungan Tengah.

Baleg mengusulkan supaya penamaan provinsi-provinsi baru itu disesuaikan dengan wilayah adat Papua, yakni Ha Anim untuk Provinsi Papua Selatan, Meepago untuk Provinsi Papua Tengah, dan Lapago untuk Provinsi Papua Pegunungan Tengah. 

Bukan kali ini saja, Lukas Enembe menjadi sorotan luas. 

Berikut 4 fakta Lukas Enembe:

1. Sebut Orang Papua Tidak Bahagia

Lukas Enembe, Gubernur Papua yang Minta Label Teroris KKB Papua Dikaji Ulang. Profil dan biodatanya ada di artikel ini
Lukas Enembe, Gubernur Papua yang Minta Label Teroris KKB Papua Dikaji Ulang. Profil dan biodatanya ada di artikel ini (KOMPAS.COM/DHIAS SUWANDI)

Pernyataan Gubernur Lukas Enembe itu terekam dalam video  berdurasi 1 menit 23 detik yang viral di media sosial.

Tampak Lukas Enembe berpidato di suatu daerah di pedalaman Papua.

Dalam sambutannya, Lukas mengatakan, orang Papua tidak happy.

“Seluruh Papua. Dimuka bumi ini, yang tidak happy itu orang Papua"

"Kamu catat itu. Orang tidak hidup dalam kebahagiaan.”

Ia menambahkan, sejumlah daerah ‘menangis’ saat ini. Ada Intan Jaya, Puncak, Nduga, Pegunungan Bintang, termasuk Maybrat.

“Orang tidak hidup normal di negeri sendiri. Tidak hidup aman, kami lahir bukan untuk itu," katanya.

Setelah viral, Pelaksana tugas (Plt) Kepala Biro Umum Protokol Provinsi Papua, Elpius Hugi mengklarifikasi maksud pernyataaan Gubernur Lukas Enembe.

"Maksud dari Gubernur Lukas Enembe dalam video itu karena orang Papua ini berkembang dengan injil sehingga selalu cinta kedamaian, kenyamanan serta sukacita," ungkap Elpius kepada Tribun-Papua.com di Kota Jayapura, Kamis (10/2/2022).

Namun kata Elpius, narasi di media sosial semakin melebar dan dimaknai berbeda.

Padahal maksud Gubernur Lukas, kata Elpius, soal harapan terwujudnya kedamaian dan kenyamaman bersama di Bumi Cenderawasih.

"Karena Gubernur melihat banyak gejolak dengan berbagai aksi penembakan, untuk itu beliau berharap semua pihak terus bersama-sama menjaga kedamaian di tanah Papua, agar tidak ada lagi air mata yang jatuh," jelasnya.

2. Dideportasi dari Papua Nugini 

Gubernur kelahiran Mimit pada tanggal 27 Juli 1967, itu pernah membuat geger karena dideportase dari Papua Nugini. 

Lukas Enembe diketahui pergi ke Kota Vanimo, Papua Nugini melalui jalur tikus.

Lukas pergi ke Papua Nugini bersama kerabatnya berinisial HA dan seorang perempuan yang belum diketahui identitasnya pada Rabu (31/3/2021) siang.

Saat melewati jalur tikus itu ia menggunakan jasa ojek.

Seorang pengemudi ojek, Hendrik (bukan nama sebenarnya) mengakui hal itu.

"Ada tiga orang, sebelum antar, sempat ketiganya jalan kaki yang kemudian saya antar padahal sudah mau dekat dengan tujuan mereka masuk ke PNG," kata Hendrik di Jayapura, Jumat (2/4/2021).

Lukas dan kerabatnya dideportasi karena tidak memiliki izin tinggal.

Saat dimintai keterangan oleh awak media, Lukas tidak menyebut alasannya melakukan tindakan tersebut.

Hanya saja, ia mengakui jika kedatangannya ke Papua untuk pergi berobat.

"Saya pergi untuk terapi saraf kaki, kalau saraf otak kita sudah terapi di Jakarta. Sama-sama konsul saya di sana, sejak hari pertama," ujar Lukas.

Setelah selesai berobat di sana, ia kemudian kembali ke Indonesia melalui Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Skouw, Jayapura.

3. Ditegur Mendagri

Kepergian Lukas Enembe ke Papua Nugini lewat jalur tikus itu mendapat teguran Mendagri Tito Karnavian. 

Apalagi, kepergian ke luar negeri itu tidak izin sesuai aturan yang berlaku.

"Prosedur itu dilanggar, itu melanggar hukum, ada sanksinya dan sementara diberikan teguran keras," kata Mendagri di Jayapura, Senin (5/4/2021).

Dijelaskan Mendagri, setiap kepala daerah wajib mengajukan izin jika hendak bepergian ke luar negeri.

Hal itu diatur dalam UU pemerintahan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam negeri Nomor 59 tentang Tata cara Perjalanan ke Luar Negeri di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintahan Daerah.

Ditegaskannya, Kemendagri akan memberi ijin kepala daerah yang ingin berobat termasuk ke luar negeri.

"Pak Gubernur tidak pernah mengajukan izin kepada Kemendagri, padahal kalau memang urgen, komunikasi sama saya sebagai otoritas yang memberikan izin, setelah itu surat menyusul, kalau memang tujuannya untuk kepentingan kesehatan, pasti kita izinkan," katanya.  

Kemendagri melalui Dirjen Otda tertanggal 1 April telah mengeluarkan teguran terkait kunjungan keluar negeri kepada Gubernur Papua Lukas Enembe.  

4. Tak Percaya Kekuatan Undang-undang

Gubernur Papua Lukas Enembe didampingi Gubernur Khofifah.
Gubernur Papua Lukas Enembe didampingi Gubernur Khofifah. (surya.co.id/luhur pambudi)

Gubernur Papua, Lukas Enembe mengatakan harus ada perjanjian baru untuk solusi mengenai kerusuhan di Papua yang terjadi di Manokwari Senin (219/8/2019) dan Fakfak, Rabu (21/8/2019).

Hal ini dipicu adanya penangkapan terhadap 43 mahasiswa Papua di Surabaya, dengan tudingan merusak bendera Indonesia, Sabtu (17/8/2019).

Saat menjadi narasumber di Program Mata Najwa, di saluran YouTube Najwa Shihab, Kamis (22/8/2019), Lukas menuturkan, dirinya akan segera bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengusulkan perjanjian.

"Kemarin saya untuk undang beliau untuk datang ke Jayapura kami akan bertemu. Tapi kami sudah punya konsep, akhirnya kita harus pakai satu perjanjian. Undang-undang apapun enggak bisa," ujar Lukas dikutip TribunAmbon.com dari TribunWow.com.

Najwa Shihab lalu menanyakan soal otonomi khusus, namun tetap dijawab Lukas tidak bisa.

"Enggak itu enggak bisa, harus perjanjian dengan lembaga-lembaga tertentu. Dengan lembaga internasional atau dengan apa, kalau undang-undang tidak akan," sebut Lukas.

Najwa Shihab pun langsung bertanya jika gubernur tak mempercayai kekuatan undang-undang.

"Gubernur tapi tidak percaya dengan kekuatan undang-undang Pak Lukas?" tanya Najwa Shihab kaget.

"Enggak," jawab singkat Lukas.

"Undang-undang 21 itu tidak berjalan, hanya dikasih uang begitu saja kan, kewenangan tidak ada," tambahnya.

"Di Papua undang-undang tertentu, baru satu PP yaitu Majelis Rakyat Papua (MRP) yang lain semua tidak ada. Ini sudah lebih dari 20 tahun. Jakarta tidak bisa kasih," papar Lukas. (tribun papua/berbagai sumber)

Sumber: Tribun Papua
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved