Hikmah Ramadan 2022
Ketua Badan Kesehatan MUI JATIM Djoko Santoso : Menyambut Berkah Ramadan di Ujung Pandemi
Tubuh harus mendapat asupan yang cukup, menjaga metabolisme tetap berjalan sehat, agar imunitas terjaga
ALHAMDULILLAH, kita memasuki bulan Ramadan yang penuh berkah dengan kondisi yang lebih baik dari tahun sebelumnya. Dua tahun berturut-turut kita menjalani Ramadan dalam kondisi tertekan karena serangan hebat pandemi Covid-19 sehingga pemerintah memutuskan melarang mudik Lebaran.
Kita pernah mengalami masa mencekam di mana kasus harian melonjak sampai di atas 60 ribu kasus, rumah sakit reguler dan RS Darurat penuh pasien hingga antre di lorong-lorongnya. Dan, tiap jam terdengar raungan mobil ambulans membawa jenazah menuju pemakaman.
Namun sekarang kondisinya sudah jauh lebih baik. Relatif terkendali meskipun belum sepenuhnya bebas pandemi. Data per 6 April menunjukkan penambahan 2.400 kasus, jumlah yang cukup rendah bila dibandingkan pada Ramadan tahun lalu yang berkisar 5.000 an kasus baru per hari, dan saat Idul Fitri menjadi awal meledaknya serangan gelombang kedua varian Delta yang memakan banyak korban jiwa. Jumlah kesembuhan per 6 April sama mencapai 5.415 orang. Jauh lebih banyak dibanding jumlah kasus baru, sehingga total jumlah penderita semakin menurun.
Sementara capaian vaksinasi per 6 April, dosis pertama tercatat 197.153.141 orang (94,66 persen), dosis kedua 160.814.841 orang (77,22 persen), dan dosis ketiga sebanyak 25.296.816 orang (12,15 persen) sehingga sudah bisa dikatakan mencapai level kekebalan kelompok (herd imunity), dan masyarakat sudah menyesuaikan diri hidup berdampingan dengan virus.
Dengan kondisi yang semakin baik ini, kita menjalani puasa Ramadan dengan bersyukur. Tubuh harus mendapat asupan yang cukup, menjaga metabolisme tetap berjalan sehat, agar imunitas terjaga sehingga terhindar dari berbagai penyakit. Secara sunatullah, metabolisme tubuh manusia tidak bisa berjalan jika tidak ada asupan makanan. Tubuh manusia memerlukan nutrisi berupa makanan dan air yang mengandung mineral secara proporsional, agar tetap hidup dengan baik melalui dukungan penuh dari mesin homeostasis (biologi) tubuhnya. Homeostasis atau keseimbangan biologi tubuh harus tetap dijaga agar tidak terjadi kerusakan di tubuh. Ada kalanya tubuh sengaja dikosongkan dari asupan nutrisi dalam jangka waktu tertentu, untuk tujuan tertentu. Salah satu bentuk pengosongan nutrisi itu adalah yang disebut puasa.
Jika sedang tidak puasa, tubuh membutuhkan sumber bahan bakar untuk menjalankan mesin kehidupan, agar dapat bergerak secara fisik, mental dan emosional. Lapar dan haus adalah sinyal biologis bahwa tubuh minta asupan nutrisi, minta makan dan minum. Rasa lapar dalam waktu yang lama bisa mengganggu kestabilan emosional, misal mudah tersinggung. Setelah makan, barulah muncul perasaan kenyang, lega, dan emosi bisa stabil. Dalam konteks sosial, kelaparan massal yang menimpa kaum duafa dalam waktu yang lama dan tidak bisa tertangani, akan rawan memicu gejolak sosial.
Di bulan Ramadan, umat Islam menjalankan kewajiban berpuasa bagi yang mampu (QS Al-Baqarah 183). Berpuasa secara fisik, sekaligus juga berpuasa secara mental dan emosional, untuk tujuan spiritual. Karena itu, ada banyak aktivitas pendukung “ibadah personal” seperti salat tarawih, tadarus Alquran, iktikaf; dan “ibadah kemanusiaan” seperti berinfak, bersedekah, berzakat, mengajarkan ilmu, mengajak berbuat baik, mencegah kemungkaran, dan seterusnya.
Dalam kondisi normal, beragam aktivitas ibadah ini bisa berjalan semarak. Akan tetapi karena sekarang pandemi belum sepenuhnya selesai, maka beragam aktivitas ibadah tadi harus disesuaikan dengan protokol kesehatan. Seperti memakai masker, mencuci tangan, dan menyantap makanan yang bergizi. Jika puasa Ramadan dijalankan dengan baik dan benar, berpuasa secara fisik, emosional, mental dan spiritual, maka insyaAllah akan memberikan kemaslahatan pada kaum beriman. Bahkan, puasa juga memberikan manfaat kesehatan fisik dan mental secara langsung.
Dysbiosis usus
Dalam ilmu biologi medis, usus dan lambung bukanlah sekadar organ mekanis seperti tangan atau kaki, tetapi merupakan mikro ekosistem tersendiri, di mana hidup sekian triliun makhluk super kecil yang tak kasat mata, antara lain bakteri, virus dan sejenisnya. Di dalam ekosistem tersebut para penghuninya dapat saling berinteraksi satu sama lain, baik dengan sesama jenis seperti bakteri dengan bakteri, maupun lintas jenis seperti bakteri dengan virus, atau antarmakhluk kecil itu dengan inangnya, yaitu usus dan lambung manusia. Usus yang normal didominasi oleh bakteri-bakteri baik atau bersahabat yaitu lactobacillus dan bifidobacterium yang membantu proses pencernaan dan penyerapan makanan dan menjaga kesehatan usus dan organ lain seperti otak, jantung, ginjal, dan pembuluh darah.
Sungguh luar biasa, inilah proses interaksi antarmakhluk ciptaan sang Khalik dalam ekosistem kecil di usus manusia. Dalam kondisi normal, jumlah organisme seperti streptococcus, bacteriodes dan jamur, tidak dominan di usus. Bila kondisi berubah, ketiga jenis organisme itu berkembang menjadi sangat banyak dan menguasai ekosistem usus, maka akan terjadi gangguan pencernaan dan penyerapan zat-zat makanan di usus.
Akibat lainnya adalah munculnya peradangan atau inflamasi kronis yang bisa berakibat fatal pada kerusakan organ lain. Ketidaksesuaian di dalam ekosistem usus inilah yang disebut sebagai dysbiosis. Saat ini para ahli terus melakukan penelitian pada dysbiosis mikro ekosistem di usus dan lambung, untuk mencari hubungan antara kesehatan mikrobiota saluran pencernaan dengan munculnya penyakit-penyakit seperti diabetes, hipertensi, dan penyakit autoimun lain.
Di antaranya, upaya untuk mengubah komposisi bakteri sehat pada ekosistem usus normal dengan tujuan terapeutik (penyembuhan). Caranya, dengan memberikan suplemen berupa kapsul atau puyer mengandung bakteri sehat yang mampu menjaga keseimbangan mikrobiota usus. Tujuannya, agar bakteri sehat ini secara kompetitif mengalahkan dominasi bakteri-bakteri jahat di usus. Efek dari pemberian suplemen ini, kondisi ekosistem usus kembali menjadi seimbang dan optimal untuk menjalankan perannya untuk mencerna dan menyerap nutrisi untuk kesehatan tulang, jantung, ginjal, otak, dan organ lain.
Selama ini praktik pemberian bakteri baik sudah kerap dilakukan oleh praktisi kedokteran secara umum, namun hanya dilakukan pada kasus anak kecil yang menderita diare. Sedangkan manfaatnya untuk penyakit degeneratif seperti diabetes, hipertensi, dan ginjal, masih belum cukup terekspos. Beberapa penelitian pada hewan dan manusia menunjukkan bahwa bakteri probiotik dan prebiotik (asupan makanan untuk probiotik) memang memiliki peran terapeutik dalam mempertahankan mikrobiota usus yang seimbang secara metabolik (Fagundes dkk, J Bras Nefrol, 2018; Meineri dkk, Ital J Anim Sci, 2021; Nguyen dkk, J Clin Med, 2021). Semoga pencarian ini terus berlanjut dan mendatangkan manfaat bagi umat manusia.
Diet intermiten