BELA Dokter Terawan, Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Sayangkan Keputusan IDI, Begini Langkahnya
Pemecatan Dokter Terawan Agus Putranto dari keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) memantik reaksi banyak pihak.
SURYA.CO.ID - Pemecatan Dokter Terawan Agus Putranto dari keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) memantik reaksi banyak pihak.
Satu di antaranya, Agung Laksono, Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) RI yang menilai Dokter Terawan banyak berjasa menolong puluhan orang di dalam maupun luar negeri.
Agung Laksono bahkan menilai metode Digital Subtraction Angiography (DSA) atau publik lebih mengenal metode 'Cuci Otak', yang dipermasalahkan IDI justru lebih banyak manfaatnya.
Mantan Ketua DPR RI ini merasakan sendiri manfaat terapi DSA yang dikembangkan Dokter Terawan.
Dia pernah diterapi DSA dua kali, pertama saat ada pembuluh darah di otak kanan yang tersumbat.
Baca juga: SOSOK Brigjen TNI purn dr Jajang Edy Prayitno yang Minta Polisi Usut Video Pemecatan Dokter Terawan
"Hasilnya sama-sama terang, pendengar penglihatan berubah," aku Agung Laksono dikutip dari tayangan Hotroom yang dipandu Hotman Paris di MetroTV.
Terapi DSA kedua dijalani Agung pada 2015 saat dia menderita vertigo.
"Hasilnya baik. Sampai hari ini sudah tidak vertigo lagi," sebut mantan menteri era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini.
Agung juga mengaku menerima suntikan vaksin nusantara dan merasakan manfaatnya ketika dia tidak mendapat gejala berat meski terinveksi Covid-19 empat kali.
Dari apa yang dialami itu lah, Agung menyimpulkan bahwa apa yang dilakukan Dokter Terawan sangat bermanfaat.
Agung yang pernah mengenyam sekolah kedokteran ini sangat menyayangkan keputusan IDI yang memecat Dokter Terawan.
"Sangat disayangkan, sebagai lembaga terhormat keputusannya menimbulkan pandangan-pandangan negatif.
Kok terlalu keras, Dokter Terawan banyak jasanya, menolong puluhan ribu orang di dalam dan luar negeri," katanya.
Sebagai Anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Agung siap memediasi Dokter Terawan dengan IDI.
Dalam kasus ini, dia berprinsip jika suatu obat atau pengobatan itu ada keraguan, harusnya dilihat yang mana banyak manfaatnya ketimbang mudharatnya.
"Kalau manfaatnya banyak itu yang dipakai, gak usah ragu-ragu. Walaupun secara formal medis belum ada.
Esensinya untuk menyelamatkan manusia. Jangan sampai metodologi terlalu diutamakan, bagaimana kalau kita lakukan modifikasi atau inovasi sehingga metodologi disesuaikan untuk akhirnya bisa melaksanakan dan kebaikan apa yang sudah terjadi," katanya.
Agung berharap polemik ini dicari langkah terbaik.
Dia juga mendukung langkah menteri kesehatan yang akan melakukan mediasi terkait hal ini.
"Di cari langkah terbaik. Jangan angsung dipecat secara permanen. ini yang dianggap negatif, seolah-olah IDI arogan.
Karena lebih banyak manfaatnya yang dirasakan oleh masyarakat daripada ruginya," pungkasnya.
Penjelasan BHP2A

Di bagian lain, IDI membenarkan bahwa pada Muktamar ke-31 di Banda Aceh, Aceh, sudah dikeluarkan keputusan pemberhentian mantan Menteri Kesehatan (Menkes) itu dari keanggotaan organisasi profesi tersebut.
Menurut Ketua Bidang Hukum Pembelaan dan Pembinaan Anggota (BHP2A) IDI, Beni Satria, keputusan pemberhentian Terawan sebagai anggota IDI itu diambil berdasarkan rekomendasi sidang khusus Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) PB IDI.
"Terkait aturan organisasi di IDI dan juga di MKEK IDI, di situ memang dokter Terawan berdasarkan sidang muktamar sudah ditetapkan (sanksi) kategori 4. Kategori 4 adalah pemberhentian tetap. Dan itu yang akan ditindaklanjuti hasil putusan tersebut oleh PB IDI," kata Beni dalam jumpa pers, Kamis (31/3/2022).
Beni mengatakan pemberhentian Terawan dari keanggotaan IDI merupakan polemik panjang sejak 2013 silam.
Rekomendasi pemberhentian itu adalah usul dari MKEK dengan berbagai pertimbangan.
Rekomendasi kemudian kembali dibacakan pada Muktamar ke-31 IDI di Banda Aceh 21-25 Maret lalu.
"Ini merupakan proses panjang sejak tahun 2013 sesuai dengan laporan MKEK," kata Beni.
Beni menjelaskan pelanggaran etik dokter Terawan yang pertama adalah soal metode Digital Subtraction Angiography (DSA) atau publik lebih mengenal metode 'Cuci Otak'.
Terawan menamai metodenya dengan nama Intra-Arterial Heparin Flushing (IAHF) dan diklaim bisa menyembuhkan stroke.
Berdasar pemberitaan selama ini, DSA di dunia kedokteran sejak puluhan tahun digunakan sebagai alat diagnosis.
Namun, oleh Terawan digunakan sebagai terapi penyembuhan stroke dan "dijual" dengan harga yang tak murah.
Padahal, IAHF yang diusungnya belum terbukti secara ilmiah.
Menurut Beni, pelanggaran etik Terawan tak hanya soal DSA saja.
Setelah tahun 2018 diberikan rekomendasi pemecatan sementara terkait DSA, Terawan tak menggubris beberapa kali panggilan IDI untuk membela diri.
"Tidak hanya terkait tindakan DSA, beberapa putusan yang lain termasuk tidak memenuhi beberapa panggilan 3 kali, kemudian bahkan ditambah lagi 2 kali, tetapi tidak direspons juga oleh sejawat kami (Terawan). Sehingga MKEK kemudian bersidang kembali memutuskan ini (rekomendasi pemecatan permanen)," imbuhnya.
Terkait tindakan DSA yang dilakukan, sebenarnya sudah ada satgas khusus di bawah menteri kesehatan sebelum Terawan, yaitu bentukan Menkes Nila Moeloek, yang mengkaji.
Hal itu sesuai dengan Surat Kepmenkes 442 Tahun 2018.
"Bahwa tindakan tersebut (DSA) sesuai dengan kesimpulan hasil satgas belum terbukti ilmiah dan berpotensi melanggar disiplin. Untuk pengetesan alat tadi sudah dilakukan oleh satgas khusus tadi dan kesimpulannya seperti itu," jelas Beni.
"Kebetulan kami menerima file itu dan kami mempelajari dan kemudian kami serahkan ke satgas independen yang dibentuk oleh pemerintah bukan tim yang dibentuk oleh Tim IDI," sambungnya.
Beni menjelaskan, di dalam praktik kedokteran ada norma etik, disiplin, dan hukum. Semua profesi pasti mempunyai norma itu.
"Kita di profesi IDI hanya berkonsentrasi dalam penerapan norma etik. Apakah pemerintah bisa masuk? Pemerintah bisa saja masuk di dalam norma disiplin/hukum kalau memang itu dianggap ada pelanggaran hukum/disiplin. Kita punya KKI (Konsil Kedokteran Indonesia), di sana ada MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) di Kemenkes. Kita sendiri organisasi punya MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) untuk ranah etik. Apakah untuk disiplin dll, tentu itu kewenangan pemerintah," ujarnya.
Terkait rekomendasi pemecatan Terawan, Beni mengatakan rekomendasi MKEK itu akan diproses PB IDI dengan waktu selambat-lambatnya 28 hari kerja setelah putusan tersebut.
Ia menyebut PB IDI selaku perwujudan eksekutif dalam kelembagaan kedokteran akan memproses usulan itu sebagai bentuk pertanggungjawaban tugas organisasi.
Ia juga menambahkan, MKEK dalam hal ini telah menyampaikan hak-hak Terawan yang mengacu pada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) serta tata laksana organisasi.
"Seluruh dokter Indonesia terikat kepada sumpah dan tunduk terhadap norma etik sebagai keseluruhan profesi kedokteran. Pembinaan serta penegakan standar norma etik di dalam profesi kedokteran menjadi tanggung jawab IDI," jelasnya.
Ketua Umum PB IDI Adib Khumaidi mengatakan keputusan dalam Muktamar ke-31 terkait pemecatan Terawan menjadi tanggung jawab pihaknya.
Menurut Adib, pihaknya harus menjalankan amanat muktamar tersebut.
"Tentu kita harus lalui dan upaya ini menjadi upaya kita bersama seluruh anggota IDI untuk kemudian bersama-sama menjaga etik dan tentunya menjalankan putusan MKEK yang ditetapkan dalam Muktamar 31," kata Adib.
Polemik kabar pemberhentian Terawan dari keanggotaan IDI mencuat dalam Muktamar XXXI di Banda Aceh, beberapa waktu lalu.
Forum tersebut memutuskan mencabut keanggotaan Terawan secara permanen usai mendapat rekomendasi dari Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) PB IDI.
Melalui surat kepada Ketua Umum PB IDI, MKEK menyebut sejumlah pelanggaran yang dilakukan Terawan.
Salah satunya mempromosikan Vaksin Nusantara ke masyarakat luas meskipun penelitian vaksin itu belum selesai. (tribun network/rin/dod)