Biodata Megawati Soekarnoputri, Presiden RI ke-5 yang Ulang Tahun ke-75 Hari ini 23 Januari 2022

Berikut profil dan biodata Megawati Soekarnoputri yang tengah merayakan ulang tahun ke-75 pada hari ini (23/1/2022). 

Penulis: Arum Puspita | Editor: Adrianus Adhi
TRIBUNNEWS
Megawati Soekarnoputri 

SURYA.CO.ID - Berikut profil dan biodata Megawati Soekarnoputri yang tengah merayakan ulang tahun ke-75 pada hari ini (23/1/2022). 

Dilansir dari akun Facebook Djarot Syaiful Hidayat, Gubernur DKI Jakarta periode 15 Juni hingga 15 Oktober 2017 ini mengunggah potret bersama Megawati Soekarnoputri

Dalam unggahannya, Djarot mengucapkan selamat ulang tahun kepada Megawati tepat pada 23 Januari 2022. 

"Selamat ulang tahun Ibu kita semua, ibu Megawati Soekarnoputri. Doa terbaik dari kami semua anak-anakmu kader PDI Perjuangan dan rakyat Indonesia. Kiranya selalu diberi kesehatan dan umur panjang," doa Djarot untuk Megawati. 

Lantas, siapa sosok Megawati Soekarnoputri

Melansir dari laman kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id, Dyah Permata Megawati Soekarnoputri atau yang dikenal sebagai Megawati Soekarnoputri merupakan Presiden RI ke-5. 

Ia lahir di Yogyakarta pada 23 Januari 1947.

Sebelum dilantik menjadi Presiden, Megawati menjabat sebagai Wakil Presiden RI ke-8 di bawah pemerintahan Abdurrahman Wahid.

Putri sulung Presiden RI pertama, Ir Soekarno ini awalnya menikah dengan pilot Letnan Satu Penerbang TNI AU, Surendro dan dikaruniai dua anak lelaki bernama Mohammad Prananda dan Mohammad Rizki Pratama.

Nahas, Surendro bersama pesawat militrnya hilang dalam tugas militer pada 1970.

Tiga tahun kemudian, Mega menikah dengan pria bernama Taufik Kiemas, pria asal Ogan Komiring Ulu, Palembang.

Megawati dan Taufik Kiemas dikaruniai seorang putri bernama Puan Maharani. 

Kehidupan masa kecil Megawati dilewatkan di Istana Negara.

Sejak masa kanak-kanak, Megawati sudah lincah dan suka main bola bersama saudaranya Guntur.

Saat gadis, Megawati mempunyai hobi menari dan sering ditunjukkan di hadapan tamu-tamu negara yang berkunjung ke Istana.

Pendidikan

Sejak SD hingga SMA, Megawati bersekolah di Perguruan Cikini, Jakarta.

Ia juga pernah belajar di dua Universitas, yaitu Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung (1965-1967) dan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (1970-1972).

Lahir dari keluarga politisi, mulanya Megawati bisa dibilang tak piawai dalam dunia politik.

Bahkan, Megawati sempat dipandang sebelah mata oleh teman dan lawan politiknya.

Beliau bahkan dianggap sebagai pendatang baru dalam kancah politik, yakni baru pada tahun 1987.

Saat itu Partai Demokrasi Indonesia (PDI) menempatkannya sebagai salah seorang calon legislatif dari daerah pemilihan Jawa Tengah, untuk mendongkrak suara.

Masuknya Megawati ke kancah politik, berarti Megawati telah mengingkari kesepakatan keluarganya untuk tidak terjun ke dunia politik.

Namun, Megawati akhirnya tampil dalam kampanye PDI.

Sukses, itulah deskripsi untuk usaha Megawati kala itu.

Suara untuk PDI naik. Dan Megawati pun terpilih menjadi anggota DPR/MPR. Pada tahun itu, Megawati terpilih sebagai Ketua DPC PDI Jakarta Pusat.

Tetapi, kehadiran Mega di gedung DPR/MPR sepertinya tidak terasa. Tampaknya, Megawati tahu bahwa Megawati masih di bawah tekanan.

Selain memang sifatnya pendiam, Megawati pun memilih untuk tidak menonjol mengingat kondisi politik saat itu.

Maka Megawati memilih lebih banyak melakukan lobi-lobi politik di luar gedung wakil rakyat tersebut.

Lobi politiknya, yang silent operation, itu secara langsung atau tidak langsung, telah memunculkan terbitnya bintang Mega dalam dunia politik.

Pada tahun 1993, ia terpilih menjadi Ketua Umum DPP PDI. 

Ketika itu, Konggres PDI di Medan berakhir tanpa menghasilkan keputusan apa-apa. Pemerintah mendukung Budi Hardjono menggantikan Soerjadi.

Lantas, dilanjutkan dengan menyelenggarakan Kongres Luar Biasa di Surabaya.

Pada kongres ini, nama Mega muncul dan secara telak mengungguli Budi Hardjono, kandidat yang didukung oleh pemerintah itu.

Mega terpilih sebagai Ketua Umum PDI. Kemudian status Mega sebagai Ketua Umum PDI dikuatkan lagi oleh Musyawarah Nasional PDI di Jakarta.

Namun pemerintah menolak dan menganggapnya tidak sah. Karena itu, dalam perjalanan berikutnya, pemerintah mendukung kekuatan mendongkel Mega sebagai Ketua Umum PDI. Fatimah Ahmad cs, atas dukungan pemerintah, menyelenggarakan Kongres PDI di Medan pada tahun 1996, untuk menaikkan kembali Soerjadi.

Tetapi Mega tidak mudah ditaklukkan. Karena Mega dengan tegas menyatakan tidak mengakui Kongres Medan.

Mega teguh menyatakan dirinya sebagai Ketua Umum PDI yang sah.

Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, sebagai simbol keberadaan DPP yang sah, dikuasai oleh pihak Mega.

Para pendukung Mega tidak mau surut satu langkah pun.

Mereka tetap berusaha mempertahankan kantor itu.

Soerjadi yang didukung pemerintah pun memberi ancaman akan merebut secara paksa kantor DPP PDI itu. Ancaman itu kemudian menjadi kenyataan.

Pagi, tanggal 27 Juli 1996 kelompok Soerjadi benar-benar merebut kantor DPP PDI dari pendukung Mega.

Namun, hal itu tidak menyurutkan langkah Mega.

Malah, dia makin memantap langkah mengibarkan perlawanan. Tekanan politik yang amat telanjang terhadap Mega itu, menundang empati dan simpati dari masyarakat luas.

Mega terus berjuang. PDI pun menjadi dua. Yakni, PDI pimpinan Megawati dan PDI pimpinan Soerjadi.

Massa PDI lebih berpihak dan mengakui Mega. Tetapi, pemerintah mengakui Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI yang sah.

Akibatnya, PDI pimpinan Mega tidak bisa ikut Pemilu 1997. Setelah rezim Orde Baru tumbang, PDI Mega berubah nama menjadi PDI Perjuangan.

Partai politik berlambang banteng gemuk dan bermulut putih itu berhasil memenangkan Pemilu 1999 dengan meraih lebih tiga puluh persen suara.

Kemenangan PDIP itu menempatkan Mega pada posisi paling patut menjadi presiden dibanding kader partai lainnya. Tetapi ternyata pada SU-MPR 1999, Mega kalah.

Tetapi, posisi kedua tersebut rupanya sebuah tahapan untuk kemudian pada waktunya memantapkan Mega pada posisi sebagai orang nomor satu di negeri ini.

Sebab kurang dari dua tahun, tepatnya tanggal 23 Juli 2001 anggota MPR secara aklamasi menempatkan Megawati duduk sebagai Presiden RI ke-5 menggantikan KH Abdurrahman Wahid.

Megawati menjadi presiden hingga 20 Oktober 2003.

Setelah habis masa jabatannya, Megawati kembali mencalonkan diri sebagai presiden dalam pemilihan presiden langsung tahun 2004.

Namun, Megawati gagal untuk kembali menjadi presiden setelah kalah dari Susilo Bambang Yudhoyono yang akhirnya menjadi Presiden RI ke-6. 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved